SETELAH sukses membidani lahirnya ICMI (1990), Haji Alamsjah Ratu Perwiranegara, 69 tahun, kini sibuk menunggu lahirnya "bayi" baru: Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI), yang melulu bersandar pada paham kebangsaan. Sementara suara di "luaran" beranggapan, inilah rekayasa baru dari politikus ulung yang pernah menjadi orang dekat Presiden Soeharto di setengah pertama masa Orde Baru. Benarkah? Selepas joging pagi, Alamsyah menerima Fikri Jufri, Amran Nasution, dan Agus Basri dari TEMPO untuk wawancara khusus di rumahnya yang tiga hektare di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Sabtu lalu. Beberapa petikan: Mengapa setelah Anda turut aktif melahirkan ICMI, sekarang merasa begitu perlu mendirikan ICKI? Saudara perlu tahu, kebutuhan untuk mendirikan ICKI bukan datang dari saya. Tapi datang dari grassroot, dari akar bawah. Siapa yang Anda maksudkan? Ya, mereka itu terdiri dari kaum sarjana, dan orang-orang pintar, yang merasa belum tertampung dalam organisasi cendekiawan yang sudah ada. Mereka, awalnya, omong-omong tentang itu di rumah saya, sewaktu Lebaran lalu. Saya minta agar mereka menunda pembicaraan tentang itu. Lebih baik kita makan ketupat dululah. Lalu? Rupanya, mereka itu serius. Maka, diadakan pertemuan beberapa kali. Puncaknya adalah sarasehan di Universitas Krisnadwipayana (Unkris) pada tanggal 29 April lalu. Di situ saya membawakan makalah berjudul "Kemungkinan Pembentukan Ikatan Cendekiawan Kebangsaan". Sejak itu, dibentuk tim perumus AD dan ART, yang dipimpin oleh Rektor Unkris, Pak Muhono. Siapa saja mereka, kalau boleh tahu? Nggak usah saya sebutlah. Yang penting, mereka terdiri dari berbagai latar belakang. Ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, sampai yang Hindu. Di antara mereka ada yang sudah jadi anggota organisasi cendekiawan yang ada, PIKI misalnya. Ada juga yang belum masuk organisasi cendekiawan mana pun. Pendek kata, sebagai orang tua yang didatangi, yang dipercaya oleh mereka, saya tentu bersedia membantu. Kata "kebangsaan" tampaknya dipersoalkan. Seperti kata Menteri Habibie, organisasi cendekiawan yang sudah ada juga berwawasan kebangsaan. Menteri Hankam Edi Sudradjat juga beranggapan nama ICI lebih pas ketimbang ICKI. Anda keberatan? Sama sekali tidak. Yang penting, jangan sampai membuat orang lain tersinggung atau curiga, begitu. Tapi itu nanti sebenarnya terserah pada floor, mau diganti apa namanya. Apa ada yang merasa tersinggung atau curiga? Saya dari dulu kan biasa dicurigai orang. Ha...ha...ha.... Mengapa tidak dinamakan ICNI, yang memakai kata "nasional"? Itu kan lebih bagus daripada ICI, yang mirip nama cat.... Nama nasional itu bisa menimbulkan anggapan yang salah, seolah-olah itu organisasinya PNI dulu. Di beberapa koran, Anda kelihatan dipotret berangkulan dengan Habibie. Apa memang pernah timbul konflik? Itu kan ulah para wartawan saat berlangsung Sarasehan Nasional oleh Golkar. Ketika itu, Habibie dipertemukan dengan saya. Kami diminta bersalaman, lalu diminta saling merangkul. Ya, saya mau saja. Kesan tidak bersahabat itu barangkali timbul karena ucapan Anda sendiri. Misalnya, dalam wawancara khusus dengan majalah Forum Keadilan (edisi 8 Juli 1993), ketika ditanya tentang Pak Habibie, Anda menjawab, "Modalnya hanya dua. Pertama, jual nama Pak Harto. Kedua, mempergunakan ICMI...." Ah, yang bilang begitu adalah wartawan Forum itu sendiri. Dalam suatu kesempatan, dia bertanya kepada saya tanpa tape recorder, dan tanpa mencatat. Kalimat-kalimat yang dimuat adalah ucapan-ucapannya sendiri, yang kemudian dicocok-cocokkan seakan-akan saya yang bicara begitu. Beberapa kali saya minta si wartawan itu datang ke saya untuk menjelaskan apa yang dia tulis, tapi dia tidak bersedia datang. (Pemimpin Redaksi Forum Keadilan, Karni Ilyas, yang dihubungi TEMPO, malam Minggu lalu, mengatakan seluruh wawancara itu terekam dalam kaset, dan on the record -- Red.) Kapan ICKI diresmikan, Pak? Ya, rencana semula sih pada tanggal 20 Mei ini, bertepatan dengan peringatan Kebangkitan Nasional. Tapi tim perumus akan bertemu lagi hari Senin (pekan ini -- Red.) untuk, antara lain, membicarakan hal itu. Apa pula persyaratan calon ketua umumnya? Persyaratannya sudah ada, antara lain orangnya harus berwawasan luas dan bertitel doktor atau S-3. Dia juga harus memangku jabatan menteri dalam kabinet sekarang. Wah, kalau begitu, tertutup kemungkinan bagi seorang cendekiawan sekaliber Abdurrahman Wahid, misalnya, untuk menjadi ketuanya. Para cendekiawan yang tidak menyandang gelar doktor bisa saja menjadi anggota pengurus, atau penasihat, misalnya. Adapun persyaratan gelar doktor bagi ketua umum, karena figur seperti itu dianggap sudah berbobot, dan merupakan pakar, paling tidak dalam bidang ilmunya. Ini kami anggap perlu ditonjolkan. Tapi mengapa harus seorang menteri? Ini dianggap perlu karena tokoh tersebut dekat dengan Presiden sebagai mandataris. Jadi, singkatnya, agar sejalan dengan mandataris. Ada yang bilang, Dr. Saleh Afiff termasuk calon yang kuat untuk menjadi ketua umumnya. Betulkah? Dia salah satu yang dicalonkan. Sedikitnya ada lima calon. Siapa yang akan terpilih, itu terserah pada floor nanti. Anda sudah melapor tentang akan adanya ICKI kepada Presiden? Ya, terang dong, dia kan mandataris. Jadi, saya harus melapor. Tapi, kapan saya akan diterima beliau, itu terserah Pak Harto juga, kan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini