KINI tak ada lagi orang yang kena cekal cegah-tangkal. Begitu penjelasan Kapuspen ABRI, Brigjen Syarwan Hamid, pekan lalu. Semula ada 41 orang yang dikenai cekal. Belakangan, setelah dievaluasi, tinggal 11 orang. ''Mereka kini bebas bepergian ke luar negeri, ke mana saja yang mereka mau,'' ujar Syarwan. Kesebelas orang itu adalah Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santosa, Aziz Saleh, Suyitno Sukirno, Anwar Haryono, Chris Siner Key Timu, Radjab Ranggasoli, Wachdiat (semua anggota kelompok kerja Petisi 50), Adnan Buyung Nasution, Deliar Noer, dan H.J.C. Princen. Cekal semula merupakan ketentuan tak tertulis yang mencegah seseorang pergi ke luar negeri dengan alasan ''menjelek- jelekkan pemerintah di forum internasional''. Selain itu, juga sebagai usaha menangkal orang masuk ke dalam negeri karena alasan tertentu. Yang populer ialah cekal politik menyangkut 11 orang tersebut. Keputusan cekal itu bisa datang dari Pangab, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, atau Menteri Keuangan. Mereka pula yang kemudian mengevaluasi. Cekal dari Menteri Kehakiman, misalnya, dievaluasi tiga kali tiap enam bulan, sedangkan cekal dari Pangab dievaluasi empat kali tiap enam bulan. Usai evaluasi diputuskan cekal dicairkan atau diteruskan. ''Ini berdasarkan UU Imigrasi baru. Tapi menurut UU lama, terutama untuk cekal politik, bisa terus-menerus,'' kata Dirjen Imigrasi Sinuraya kepada Robby D. Lubis dari TEMPO. Yang jadi masalah agaknya memang ketidakjelasan cekal itu, terutama sebelum diundangkannya UU Nomor 9/1992. Orang mendengar isu bahwa seseorang terkena cekal, tapi yang bersangkutan tak tahu-menahu. Belakangan yang bersangkutan tahu dirinya dicekal atau bebas dari cekal tapi tak selembar surat pun diterimanya. Pengacara senior Adnan Buyung Nasution memang gembira mendengar dirinya bebas cekal. Tapi ia menyayangkan tak ada pemberitahuan resmi, baik ketika dicekal maupun kini setelah bebas. ''Ini kan kesewenang-wenangan tanpa menganggap perlu bahwa yang jadi korban harus mengetahui persoalan. Itu juga berarti mereka melanggar hukum,'' katanya. Bekas Gubernur DKI, Ali Sadikin, juga berang. ''Saya heran, masalah yang sangat mendasar ini hanya diumumkan di surat kabar, tidak disampaikan ke yang bersangkutan,'' ujarnya. Ia tak bisa menerima alasan pemberitahuan itu tak perlu karena keputusan pencekalan juga dilakukan tidak tertulis. Cara itu, tambahnya, tidak etis. Betapapun, keputusan ini layak disyukuri. Sebab, seperti kata Kapuspen ABRI, ini semua merupakan penjabaran dari keterbukaan dalam proses pendewasaan demokrasi. ''Kesadaran politik masyarakat sudah berkembang, mereka tak mudah dihasut, dan ketahanan nasional semakin mantap. Jadi, kita berani membukanya,'' katanya. Diakui secara terus-terang atau tidak, ini semua merupakan imbas dari suasana globalisasi dan salah satu upaya kita memperoleh nilai dalam masalah hak asasi manusia. Namun, kata Brigjen Syarwan, tak berarti cekal sudah hapus sama sekali. Tergantung persoalannya, dan karena pertimbangan keamanan, cekal bisa berlaku lagi. Maka, secara prinsip Buyung mempersoalkan cekal tersebut. Kecenderungan mengarah ke demokratisasi itu dinilainya kurang tuntas. ''Kalau memang demokratisasi dan menghormati hak asasi, peraturan cekal itu harus dicabut atau setidaknya direvisi,'' katanya. Karena itu, kita masih harus menunggu tindak lanjutnya. BSH, G. Sugrahetty D.K., dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini