BANYAK kejutan dari Haji Johanes Cornellius Princen, 68 tahun. Mula-mula ia bebas bepergian ke luar negeri, setelah sembilan tahun dicekal pihak keamanan di sini. Justru kemudian ia ditangkal pemerintah Belanda, ketika akhir Agustus lalu, Princen ingin ke Den Haag, kota kelahirannya. Princen dianggap melakukan desersi, lari dari pasukan Belanda, lalu bergabung dengan laskar Indonesia, 1948. Tiba-tiba muncul kejutan lain: Princen bertemu dengan Presiden Portugal Mario Soares di Istana Negara, Lisabon, awal September lalu. Mau apa lagi Princen? Di kantornya yang sempit di Jakarta Timur, Jumat lalu, Princen diwawancarai wartawan TEMPO Nunik Iswardhani. Kutipannya: T: Kok Anda bisa bertemu dengan Presiden Mario Soares? J: Mulanya saya sebagai Ketua Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia ke Jenewa, awal Agustus, atas sponsor dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Di situ saya bertemu dengan Da Silva, utusan Portugal. Saya tanya apa Portugal bersedia menerima tujuh pemuda Timor Timur yang minta suaka politik di Jakarta. Tapi saya bilang, saya perlu jaminan dari pejabat yang berwenang, Menlu atau yang lebih tinggi. Da Silva mengundang saya ke Lisabon. Saya menerimanya, dengan syarat tak ada cap imigrasi Portugal di paspor saya. Saya tiba di Lisabon, 1 September. Lalu bertemu dengan Menlu Durao Barosso. Dari Durao saya mendapat jaminan: tujuh mahasiswa itu diterima di Portugal. Bahkan biayanya akan ditanggung Portugal. Dari pertemuan ini ada konfirmasi bahwa Presiden Soares juga mau bertemu dengan saya. T: Anda berdua bicara soal Timor Timur? J: Melihat kondisinya, saat ini, menurut Soares, hanya ada satu pilihan bebas bagi rakyat Timor Timur. Terserah mereka: mau otonomi sepenuhnya atau sebagian, mau merdeka, atau integrasi dengan Indonesia. Soares menyatakan semua pilihan itu sah asalkan itu kemauan rakyat Timor Timur. T: Caranya bagaimana? P: Itulah. Soares menggunakan istilah referendum. Tapi saya katakan, sebaiknya istilah itu diganti saja dengan pilihan bebas atau act of free choice atau apalah. Pokoknya, seperti Irian Barat dulu. T: Bagaimana kok Soares Anda sebut mau bertemu dengan Pak Harto? P: Ya. Memang saya tanyakan kemungkinan perlunya pertemuan keduanya. Sikap Soares kala itu begitu terbuka, dan agaknya ia tak keberatan. Dia sendiri tak menegaskan bersedia atau tidak, tapi saya menarik kesimpulan bahwa ia tak keberatan. T: Anda sendiri melihat Timor Timur bagaimana? Kalau masih perlu pilihan bebas, berarti Timor Timur belum berintegrasi dengan Indonesia? P: Ya, begitulah. Menurut saya, secara internasional, persoalan Timor Timur belum selesai meskipun secara nasional sudah dinyatakan selesai. T: Hasil kunjungan itu Anda laporkan pada siapa? P: Saya ingin melaporkannya ke Menteri Alatas atau Presiden Soeharto. Untuk yang terakhir, saya sudah kirim surat khusus. T: Soal tuduhan pengkhianat? J: Saya akui, saya akrab dengan Pak Ali Said. Pada peristiwa Purwodadi, 1969, Ali Said membela saya. Ia menegaskan ketika itu bahwa Princen bukan seorang komunis. Tapi sekarang dia menuduh saya pengkhianat. Padahal kalau saya mau kritik dia, bahannya tak kurang. Baik selama ia jadi jaksa agung maupun sebagai Ketua Mahkamah Agung, kondisi hukum kita merosot sekali. Tapi, sudahlah. Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini