INILAH undang-undang yang dilaksanakan berdasar kebijaksanaan regional. Lihat saja penerapan pidana UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULAJ) 1992, yang antara satu daerah dan daerah lainnya berbeda-beda, bergantung pada keputusan forum Pengadilan Negeri-Kejaksaan-Kepolisian setempat. Keputusan itu lalu disusun dalam tabel uang titipan pelanggaran lalu lintas berisi denda yang harus dibayar pelanggar ke BRI ditandatangani Ketua Pengadilan Tinggi masing-masing. Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Suhadi, misalnya, menetapkan uang titipan antara Rp 5.000 dan Rp 60.000. Angka itu jauh lebih besar ketimbang yang ditetapkan di Yogyakarta, yang cuma menurunkan angka Rp 3.000 sampai Rp 20.000. Di Surabaya, denda tilang dari Rp 8.000 hingga Rp 30.000. Daerah lain tampaknya belum selesai menyusun tabel uang titipan. Bandung, misalnya, forum aparat hukum itu baru menetapkannya Senin pekan ini. Besarnya sanksi denda itu berbeda-beda karena, menurut kalangan pemerintah, disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi setiap daerah. Dibandingkan dengan tabel serupa yang dipatok pada masa uji coba tilang gaya baru, selama dua bulan terakhir, pola tabel uang titipan ini tak beda jauh. Memang ada kenaikan angka dendanya hingga 600% dari denda maksimum pada masa uji coba yang sebesar Rp 10.000 (sesuai dengan UU lama) itu. Tapi, angka tersebut tetap masih terlalu kecil ketimbang denda maksimum jutaan rupiah, seperti tercantum dalam UULAJ 1992. Nantinya besarnya ancaman denda itu akan dinaikkan secara bertahap, dimulai dari yang ringan hingga selanjutnya sampailah angka ancaman hukuman seperti yang tertera di UU bisa dijatuhkan. Isi tabel, termasuk jumlah dan pembagian jenis pelanggarannya, ternyata di setiap daerah bisa berbeda-beda. Para pelanggar lalu lintas dibedakan dendanya berdasarkan jenis kendaraan dan kualifikasi pelanggarannya. Apakah dia itu pejalan kaki, pengendara ojek, sopir mobil pribadi, bus, atau truk gandengan, lalu apakah pelanggarannya masuk kategori ringan, sedang, atau berat, semua ada daftar dendanya di tabel itu. Untuk Jakarta, misalnya, pelanggar yang kena ganjaran paling berat adalah sopir truk gandengan yang tak punya SIM. Ia bisa didenda Rp 60.000. Pelanggar yang paling ringan hukumannya, antara lain, pejalan kaki yang menyeberang tidak pada tempat yang ditentukan, pengemudi yang melanggar markah jalan. Banyak juga orang yang mempermasalahkan penetapan tabel uang titipan itu. Direktur Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Abdul Hakim Garuda Nusantara, melihat parameter penetapan besarnya uang titipan sampai saat ini tidak jelas dan transparan. Misalnya, parameter tingkat penghasilan masyarakat mesti dibuat indeks yang jelas dulu, sebagaimana menetapkan upah buruh minimum. Bila denda di Denpasar lebih besar dari Surabaya, apa itu berarti masyarakat Denpasar lebih makmur ketimbang arek Surabaya. Prof. J.E. Sahetapy, ahli hukum Universitas Airlangga, Surabaya, juga merisaukan soal tabel uang titipan ini. ''Aspek hukumnya jadi rumit. Kenapa hukuman kepada pelanggar mesti dipatok-patok begitu,'' ujarnya. Ia menyarankan agar wewenang menetapkan hukuman itu diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang menangani perkara pelanggaran lalu lintas. ''Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hakim diberi kekuasaan untuk menggali nilai-nilai sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara,'' katanya lebih lanjut. Anggota tim penyusun KUHP ini mengkhawatirkan, pengadilan bakal hilang kemandiriannya gara-gara ikut terlibat dalam forum yang menentukan patokan jumlah ancaman denda. Pemilahan ancaman hukuman, tuturnya, justru menandakan tidak konsekuennya aparat hukum pada UU itu. Ia menilai, pemilahan semacam itu tidak berdasar dan tidak masuk akal. Contohnya, si A yang tinggal di Jakarta bisa jadi jauh lebih miskin dari si B yang hidup di Pacitan, tapi tabel menunjuk Jakarta dendanya lebih besar. Padahal, kata Sahetapy, asas hukum sudah menentukan bahwa hukum berlaku sama pada semua orang. Maka, Melani, Direktur LBH Bandung, menyebut pematokan ancaman denda itu menimbulkan diskriminasi. ''Semestinya hukum itu berlaku universal, umum, berlaku secara nasional,'' katanya. Ahli Sosiologi Hukum, Satjipto Rahardjo, justru mendukung penyesuaian denda dengan kondisi daerah itu. Secara sosiologis, ujar guru besar Universitas Diponegoro Semarang ini, praktek hukum bisa tidak sama di tiap daerah, dan itu tidak lantas berarti melanggar asas hukum berlaku umum. ''Soal judi, misalnya, di Aceh tak bisa ditolerir. Di daerah lain, beda lagi,'' begitu analoginya. Satjipto menambahkan, hakim harus tetap punya kebebasan untuk mendekatkan ancaman hukuman dengan realitas yang ada. Pernik-pernik lain mungkin bakal banyak timbul dalam penerapan tabel uang titipan. Seperti digambarkan M. Buang, Wakil Ketua Komisi V DPR, bila hakim menjatuhkan denda tilang sama besarnya dengan sejumlah uang titipan yang disetorkan pelanggar ke bank, apa itu tidak berarti hakim mengikuti apa yang sudah ditetapkan di tabel? Itu berarti hakim tak bebas lagi dalam menjatuhkan vonisnya. Lalu bila hakim memutuskan denda yang berselisih dengan uang titipan, bagaimana pelanggar mengambil atau menomboki selisih itu? Sebetulnya, kelompok yang menolak tabel uang titipan itu masih punya pilihan. Seandainya mereka tertangkap dalam razia, misalnya, mereka bisa memilih hadir sendiri di persidangan tilang. Di situ mereka bisa menyangkal dakwaan jaksa, melakukan pembelaan, kalau perlu membawa saksi-saksi dalam acara pemeriksaan cepat itu meski nantinya putusan hakim bisa jadi sama dengan di tabel uang titipan itu. Ardian T. Gesuri, Jalil Hakim, Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini