SEBUAH gereja yang sedang dibikin, di daerah Demak, dihentikan
pembangunannya di tengah proses. Kecil saja gereja itu: cuma 8 x
15 meter. Dalam dua bulan, sudah didirikan tembok keliling satu
batu setinggi satu meter -- dengan biaya, menurut keterangan
isteri pendeta di situ, Rp 700.000.
Tapi penghentian pembangunan itu bukanlah karena biaya. Tanggal
18 Mei lalu, datang surat resmi dari. Bupati Demak
ditandatangani oleh Sekwildanya Sudjarwo BA: menyuruh
pembangunan dihentikan dengan alasan di daerah tersebut akan
dibangun kompleks perumahan. "Tidak jelas perumahan apa," kata
Pendeta J. Latuperisa kepada Metese Mulyono dari TEMPO, "entah
perumahan karyawan Pemda entah perumahan rakyat atau
gedung-gedung dinas." Padahal tanah bangunan tersebut sudah ada
sertifikatnya -- "atas nama saya," ucap Pendeta, "dan izin
pembangunan juga sudah saya ajukan, tanggal 21 Maret 1978."
Maka pendeta asal Ambon itu, yang mengepalai jemaat Pantekosta
yang baru atau baru dibenahi, tak habis heran. Tak mungkin
kiranya pemberhentian disebabkan oleh lokasi yang "rawan" --
misalnya karena terletak di daerah muslimin atau umat agama lain
yang kenyataannya tak membutuhkan gereja Pantekosta.
Sebab tempat itu terletak di Jalan Pemuda, sekitar 500 meter
dari Pasar Bintoro, dan tak kurang 1 km dari Mesjid Besar Demak.
Lagi pula pada jalur jalan itu juga terdapat satu gereja Bethel
Indonesia -- di samping Kantor Pengadilan Negeri, hanya 30 meter
dari calon gereja, yang sekarang sedang terhenti pembangunannya.
Jadi kira-kira itu "daerah bebas".
Benar Dibutuhkan?
Lebih dari itu, tanah di mana sedang dibangun gereja itu
sebetulnya tadinya sebuah rumah -- ya rumah si pendeta -- dan
rumah itu sudah lima tahun dipakai buat kebaktian. Tak ada yang
melarang. Juga tidak tetangga. "Para tetangga setuju," kata
Pendeta -- bahkan juga kata Kepala Desa. Sebuah papan nama
terpancang di pinggir halaman, berbunyi: 'Gereja Pantekosta
Demak'. Bahkan pada perayaan natalan tahun-tahun lalu, beberapa
penjabat Tritunggal Kabupaten juga ada menghadiri undangan di
situ.
Jadi rupanya bapa pendeta menganggap soalnya sebetulnya sudah
sama-sama diketahui. Sudah dipakai sebagai gereja, dan kalau
akan dibikin permanen kan tinggal kirim surat permintaan izin
sebagai pemenuhan peraturan formil. Surat izin itu pun sudah
diketahui Kepala Desa maupun Carik.
"Masalah larangan Pak Bupati itu kami sendiri kurang tahu,
karena kami tidak diberi pemberitahuan atau tindasannya," kata
Eddy Sanuri yang berstatus sebagai Pj. Kepala Desa tadi. Karena
itu walaupun larangan sudah tiba, jemaat di situ, menurut
Pendeta Latuperisa, menyarankan supaya pembangunan diteruskan.
Sebab mereka memang butuh.
Sudah tentu yang seperti itu tak akan disetujui Pemerintah.
"Memang permintaan sudah dikirim," kata Sekwilda, "tapi belum
mendapat izin. Karena itu Pak Bupati perintahkan penghentian."
Tapi Sekwilda tak menerangkan buat kompleks perumahan apa tempat
itu menurut rencana. Dan di mana Pak Bupati? Beliau sakit --
dirawat di RS Bethesda Semarang, waktu itu sudah 10 hari.
Menurut Kepala Desa lagi, sepengetahuannya rumah itu memang
rumahtangga biasa. "Maka kalau akan dibangun gereja betul-betul
ya mustinya ada izin resmi, walaupun penduduk sekitar memang
sudah setuju." Ia sendiri menceritakan pernah mendapat surat
dari Kantor Agama Kabupaten Demak. Isinya permintaan agar
dikirimi data-data tentang adanya gereja atau kebaktian
Pantekosta di situ, siapa-siapa anggotanya, datang dari luar
atau penduduk situ sendiri.
Mungkin maksudnya untuk mencari bukti, apakah sebuah gereja atau
sebuah mesjid misalnya memang terletak di daerah yang
benar-benar membutuhkan. Mungkin juga surat itu sedang diproses
-- Kepala Desa sendiri tak menerangkan tanggal berapa ia kirim
data-data yang sudah dikumpulkannya untuk memenuhi permintaan
tersebut.
Adakah kasus serupa itu terjadi juga di daerah lain? Mungkin ya,
beberapa -- dan letak kuncinya belum tentu pada pihak ini atau
itu. Di daerah permukiman baru di Depok, Bogor, misalnya, yang
terjadi sebetulnya hanya sepele. Sudah beribu-ribu kepala
keluarga pindah ke kompleks Perumnas yang direncanakan untuk
5.000 dan kemudian diperluas menjadi 10.000 KK itu. Tapi
pembangunan rumah ibadat jelas terlambat. Memang sudah ada tiga
biji mushalla (pihak Perumnas sendiri menjanjikan 10 buah untuk
5.000 KK, walaupun menurut penduduk itu sangat kurang -- sebab
sebuah mushalla dipakai untuk keperluan setiap hari) Maka ada
yang "terpaksa" mematok tanah lebih dahulu -- baru mendapat
izin. Dan ini ternyata tidak hanya dari Islam. Juga sebuah
gereja Batak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini