Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah Gereja Di Demak

Pembangunan sebuah gereja di Demak dihentikan atas perintah bupati, dengan alasan didaerah tersebut akan di bangun kompleks perumahan. Pendeta mengajukan permohonan, tapi belum mendapat izin pembangunan. (ag)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH gereja yang sedang dibikin, di daerah Demak, dihentikan pembangunannya di tengah proses. Kecil saja gereja itu: cuma 8 x 15 meter. Dalam dua bulan, sudah didirikan tembok keliling satu batu setinggi satu meter -- dengan biaya, menurut keterangan isteri pendeta di situ, Rp 700.000. Tapi penghentian pembangunan itu bukanlah karena biaya. Tanggal 18 Mei lalu, datang surat resmi dari. Bupati Demak ditandatangani oleh Sekwildanya Sudjarwo BA: menyuruh pembangunan dihentikan dengan alasan di daerah tersebut akan dibangun kompleks perumahan. "Tidak jelas perumahan apa," kata Pendeta J. Latuperisa kepada Metese Mulyono dari TEMPO, "entah perumahan karyawan Pemda entah perumahan rakyat atau gedung-gedung dinas." Padahal tanah bangunan tersebut sudah ada sertifikatnya -- "atas nama saya," ucap Pendeta, "dan izin pembangunan juga sudah saya ajukan, tanggal 21 Maret 1978." Maka pendeta asal Ambon itu, yang mengepalai jemaat Pantekosta yang baru atau baru dibenahi, tak habis heran. Tak mungkin kiranya pemberhentian disebabkan oleh lokasi yang "rawan" -- misalnya karena terletak di daerah muslimin atau umat agama lain yang kenyataannya tak membutuhkan gereja Pantekosta. Sebab tempat itu terletak di Jalan Pemuda, sekitar 500 meter dari Pasar Bintoro, dan tak kurang 1 km dari Mesjid Besar Demak. Lagi pula pada jalur jalan itu juga terdapat satu gereja Bethel Indonesia -- di samping Kantor Pengadilan Negeri, hanya 30 meter dari calon gereja, yang sekarang sedang terhenti pembangunannya. Jadi kira-kira itu "daerah bebas". Benar Dibutuhkan? Lebih dari itu, tanah di mana sedang dibangun gereja itu sebetulnya tadinya sebuah rumah -- ya rumah si pendeta -- dan rumah itu sudah lima tahun dipakai buat kebaktian. Tak ada yang melarang. Juga tidak tetangga. "Para tetangga setuju," kata Pendeta -- bahkan juga kata Kepala Desa. Sebuah papan nama terpancang di pinggir halaman, berbunyi: 'Gereja Pantekosta Demak'. Bahkan pada perayaan natalan tahun-tahun lalu, beberapa penjabat Tritunggal Kabupaten juga ada menghadiri undangan di situ. Jadi rupanya bapa pendeta menganggap soalnya sebetulnya sudah sama-sama diketahui. Sudah dipakai sebagai gereja, dan kalau akan dibikin permanen kan tinggal kirim surat permintaan izin sebagai pemenuhan peraturan formil. Surat izin itu pun sudah diketahui Kepala Desa maupun Carik. "Masalah larangan Pak Bupati itu kami sendiri kurang tahu, karena kami tidak diberi pemberitahuan atau tindasannya," kata Eddy Sanuri yang berstatus sebagai Pj. Kepala Desa tadi. Karena itu walaupun larangan sudah tiba, jemaat di situ, menurut Pendeta Latuperisa, menyarankan supaya pembangunan diteruskan. Sebab mereka memang butuh. Sudah tentu yang seperti itu tak akan disetujui Pemerintah. "Memang permintaan sudah dikirim," kata Sekwilda, "tapi belum mendapat izin. Karena itu Pak Bupati perintahkan penghentian." Tapi Sekwilda tak menerangkan buat kompleks perumahan apa tempat itu menurut rencana. Dan di mana Pak Bupati? Beliau sakit -- dirawat di RS Bethesda Semarang, waktu itu sudah 10 hari. Menurut Kepala Desa lagi, sepengetahuannya rumah itu memang rumahtangga biasa. "Maka kalau akan dibangun gereja betul-betul ya mustinya ada izin resmi, walaupun penduduk sekitar memang sudah setuju." Ia sendiri menceritakan pernah mendapat surat dari Kantor Agama Kabupaten Demak. Isinya permintaan agar dikirimi data-data tentang adanya gereja atau kebaktian Pantekosta di situ, siapa-siapa anggotanya, datang dari luar atau penduduk situ sendiri. Mungkin maksudnya untuk mencari bukti, apakah sebuah gereja atau sebuah mesjid misalnya memang terletak di daerah yang benar-benar membutuhkan. Mungkin juga surat itu sedang diproses -- Kepala Desa sendiri tak menerangkan tanggal berapa ia kirim data-data yang sudah dikumpulkannya untuk memenuhi permintaan tersebut. Adakah kasus serupa itu terjadi juga di daerah lain? Mungkin ya, beberapa -- dan letak kuncinya belum tentu pada pihak ini atau itu. Di daerah permukiman baru di Depok, Bogor, misalnya, yang terjadi sebetulnya hanya sepele. Sudah beribu-ribu kepala keluarga pindah ke kompleks Perumnas yang direncanakan untuk 5.000 dan kemudian diperluas menjadi 10.000 KK itu. Tapi pembangunan rumah ibadat jelas terlambat. Memang sudah ada tiga biji mushalla (pihak Perumnas sendiri menjanjikan 10 buah untuk 5.000 KK, walaupun menurut penduduk itu sangat kurang -- sebab sebuah mushalla dipakai untuk keperluan setiap hari) Maka ada yang "terpaksa" mematok tanah lebih dahulu -- baru mendapat izin. Dan ini ternyata tidak hanya dari Islam. Juga sebuah gereja Batak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus