JAKARTA akhirnya menetapkan kembali adanya SMA favorit. Artinya, lulusan SMP tahun ini boleh mencari SMA di luar wilayahnya, tak dibatasi seperti sistem rayonisasi sebelumnya. Mereka bebas memilih sekolah unggulan asalkan nilainya tinggi alias otaknya encer. Untuk tahun ini, Kantor Wilayah Departemen P dan K Jakarta menetapkan SMA 8 sebagai sekolah paling top di Jakarta. Urutan kedua ditempati sekolah favorit tingkat wilayah, yakni SMA 68 (Jakarta Pusat), SMA 70 (Jakarta Selatan), SMA 81 (Jakarta Timur), SMA 78 (Jakarta Barat), dan SMA 13 (Jakarta Utara). Tentu untuk bisa masuk enam SMA unggulan itu tak gampang. SMA 8, yang terletak di kawasan Bukitduri, Jakarta Selatan, misalnya, tahun lalu mensyaratkan calon siswanya mempunyai angka nilai ebtanas murni (NEM) 44 atau rata-rata 7,3 untuk tiap mata pelajaran. Tahun ini, syaratnya akan dinaikkan -- konon, angka NEM mesti lebih dari 45. Lulusan SMP dari wilayah mana pun dapat mendaftar ke SMA favorit tingkat Jakarta itu. Tahun ini SMA 8 akan menerima sekitar 500 siswa baru. "Anak yang pintar memang harus diberi penampungan, bukan dibatasi geraknya dengan wilayah atau rayon," kata seorang pengamat pendidikan. Tampaknya, SMA 8 pantas menyandang gelar sekolah favorit. Prestasi siswanya cukup menonjol. Tahun lalu, misalnya, 70% lulusannya berhasil menembus saringan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Siswa SMA itu juga tiga kali terpilih mewakili Indonesia ke olimpiade matematika internasional. Menurut salah seorang siswa SMA 8, Emal Aditya, ia merasa gurunya dekat dengan para murid. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan dengan baik. "Setiap hari ada pekerjaan rumah. Soalnya juga sulit-sulit. Kami tak kaget kalau ketemu soal yang ruwet," kata siswa kelas II A3 ini kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. SMA 8 memang diunggulkan sebagai sekolah untuk anak yang punya NEM tertinggi. Untuk mereka yang tak tertampung di SMA itu, Kanwil P dan K menyediakan SMA favorit tingkat wilayah seperti tersebut di atas. Syarat angka NEM pun sedikit lebih rendah. Artinya, mereka yang angka NEM-nya berada di "urutan kedua" harus masuk sekolah favorit wilayahnya. Di bawah itu, lulusan SMP yang angka NEM-nya lebih rendah lagi, diarahkan masuk SMA "kelas kecamatan". Menurut Kepala Kantor Wilayah P dan K Jakarta, Tating Karnadinata, penetapan SMA unggulan ini, untuk sementara, dimaksudkan untuk mendidik mereka yang mempunyai kemampuan setingkat dalam satu sekolah. "Dengan dikumpulkannya mereka yang sama speed-nya, diharapkan mereka bakal maju bersama. Tak ada yang tertinggal," katanya. Selama ini, SMA-SMA yang baik memang sudah dimasuki oleh anak-anak yang relatif lebih pintar lewat saringan NEM. Namun, kemampuan mereka ternyata tidak rata karena sekolah itu masih harus mengemban misi rayonisasi -- yang memungkinkan masuknya anak-anak yang kurang pintar. Tampaknya, penetapan sekolah unggulan tahun ini dapat dinilai sebagai kompromi. Anak-anak pintar dikumpulkan di SMA unggulan tingkat ibu kota, yakni SMA 8, sementara anak pintar dengan NEM "urutan kedua" ditampung di sekolah unggulan tingkat wilayah. Kriteria menetapkan sekolah unggulan, menurut Tating, untuk sementara berdasarkan rata-rata NEM lulusannya. Di masa mendatang, katanya, akan dibuat semacam pedoman tentang apa saja yang akan diukur untuk menetapkan sebuah SMA tergolong unggul atau tidak. Karena dasarnya hanya NEM, posisi SMA unggulan yang sekarang ini sewaktu-waktu dapat bergeser. "Sangat bergantung pada mutu lulusannya," katanya. Untuk menghasilkan lulusan dengan NEM tinggi, tentu faktor sarana dan kualitas guru sangat penting. Sebagai contoh SMA 70. Menurut kepala SMA itu, Asrul Chatib, sekolah ini mempunyai laboratorium bahasa dan komputer serta didukung sebuah perpustakaan yang cukup lengkap. Para gurunya juga diberi wadah yang disebut sanggar pemantapan kerja dan musyarawarah guru. Mereka dapat saling menukar pengalaman dan meningkatkan kemampuan. SMA 70, yang mampu menampung 700 siswa baru, mempunyai kegiatan ekstrakurikuler paling banyak di Jakarta. Ada 30 jenis, dari bela diri sampai seni tari. Tahun lalu, untuk bisa masuk SMA itu, calon siswa sedikitnya mempunyai NEM 39. "Dengan masuknya anak-anak pintar, diharapkan tak ada lagi tawuran," kata Asrul. Sebab, menurut beberapa pengamat, yang sering memancing perkelahian pelajar atau perusakan fasilitas umum biasanya para siswa dari "sekolah pinggiran" atau yang kurang mampu mengikuti pelajaran. Lantas bagaimana dengan SMA "pinggiran" yang jauh di bawah SMA unggulan itu? Mereka, kata Tating, akan diberi perlakuan khusus. Yang sudah terpikir, akan didatangkan guru-guru yang cakap dan sarana pendidikan yang memadai. Maksudnya, agar suatu saat nanti "SMA pinggiran" pun dapat menjadi sekolah favorit. Pengelompokan anak-anak pintar di sekolah favorit itu didukung Profesor Utami Munandar. Menurut ahli psikologi pendidikan ini, pengelompokan itu perlu agar anak cerdas mampu mengembangkan kemampuan secara optimal. "Jangan sampai kemampuan mereka disamakan dengan anak yang punya kecerdasan di bawahnya," katanya. "Anak pintar harus mendapat pendidikan yang baik agar lebih terarah.'Gatot Triyanto, Dwi S. Irawanto, dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini