UNIVERSITAS Sulawesi Tenggara, siapa yang punya? Itulah tema utama demonstrasi mahasiswa di kampus itu selama dua pekan ini. Sebagian mahasiswa setuju perguruan tinggi itu milik Gubernur (yang sekarang) Sulawesi Tenggara, La Ode Kaimuddin. Tapi segolongan lain mendukung bekas Gubernur Alalalah yang empunya. Lihat saja perang spanduk kedua kelompok mahasiswa yang berunjuk rasa. "La Ode Kaimuddin, jangan jadikan Unsultra sebagai arena balas dendam", ini bunyi spanduk pendukung Alala. Dan pendukung Kaimuddin menggelar, "Kembalikan Ketua Yayasan kepada Gubernur ex officio". Mahasiswa dan keluarga kampus pun terbagi menjadi tiga kelompok, yakni pendukung Alala, suporter Kaimuddin, dan kelompok netral. Untung, suasana panas yang bisa meletus menjadi bentrokan itu masih dapat diredakan setelah Komandan Kodim Kendari turun tangan. Setahun ini kampus itu memang ricuh melulu. Mulanya, Gubernur Alala, sebelum diganti November 1992, mengalihkan status universitas menjadi swasta penuh. Dalam SK itu juga ditetapkan bahwa ketua Yayasan Unsultra adalah Alala sendiri. Padahal, universitas yang didirikan tahun 1986 itu semula milik pemerintah daerah. Bahkan, selama Alala menjadi gubernur, pemerintah daerah memberikan sekitar Rp 10 juta setahun. Bantuan lewat APBD sejak 1986 tak kurang dari Rp 400 juta. Dan aset universitas yang diklaim sumbangan pemerintah daerah antara lain berupa gedung Islamic Centre (Rp 250 juta), areal kampus di Lepo-lepo 95 hektare, tempat praktek pertanian di Desa Labuan 50 hektare. "Jadi, hampir seluruh kekayaan Unsultra adalah aset pemerintah daerah," kata Syenso Z. Sabara, Kepala Biro Humas Provinsi SulawesiTenggara. Belakangan, sejumlah mahasiswa yang tak setuju Alala melancarkan protes. Katanya, perkuliahan tersendat. Dimotori La Ode Kardini, Komandan Batalion Menwa, mereka meminta agar Kaimuddin mengembalikan status universitas itu menjadi milik Provinsi Sulawesi Tenggara. Maka, Mei tahun silam, Kaimuddin menerbitkan surat keputusan mengalihkan kepemimpinan yayasan dari Alala ke Gubernur Kaimuddin. Alasannya, secara historis Unsultra memang milik pemerintah daerah. Pihak Alala tentu tak diam. Mereka merujuk ketentuan Departemen P dan K bahwa pejabat resmi tak boleh memimpin sebuah yayasan swasta. Dan soal dirinya yang ketika masih gubernur menjadi ketua yayasan, katanya, itu untuk melicinkan pengatrolan status akademis dari "izin operasional" menjadi "terdaftar". Apalagi, Alala termasuk pendirinya. Maka, ia kemudian menggugat Gubernur Kaimuddin di PTUN Ujungpandang. Dan awal Desember lalu, keluar putusan PTUN yang membatalkan surat keputusan Kaimuddin. Pengalihan status universitas kembali menjadi milik pemerintah daerah dan pengangkatan Kaimuddin sebagai ketua yayasan mesti batal. Putusan PTUN itulah yang kemudian menyulut unjuk rasa, seperti disebut di atas. Kaimuddin sendiri, kecuali naik banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, juga mengangkat Sangkala Manomang, bekas Bupati Buton, sebagai rektor. Padahal, saat ini sudah ada rektor, yakni Sunardi. Kalau kalah di tingkat banding? "Aset pemerintah daerah di sana akan saya tarik," kata Kaimuddin. Dan Alala pun menolak anggapan bahwa bantuan yang diterimanya menjadi aset pemerintah daerah. Sebab, bantuan yang diberikan tak bersifat tetap dan diambil dari pos anggaran untuk pengembangan pendidikan.Nunik Iswardhani (Jakarta) dan Waspada Santing (Kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini