PUKUL 14.00 tepat, kotak suara itu dibuka. Wajah-wajah penuh ingin tahu segera berkerumun di TPS VIII itu. Dari jarak puluhan meter, penghitungan bisa diikuti lewat pengeras suara. Dengan gaya seorang,reporter pertandingan olah raga, pelapor penghitungan tersebut mengumumkan hasil pilihan para warga itu. Akhirnya, tiba surat suara yang terakhir. "Ya, kartu akan dibuka. Perhatikan baik-baik. Ya .... Belum. Sedang dibuka ... Sabar. Siapa yang akan dapat . . . Kita lihat. Ternyata . . .PDI." Keplok bergema. Hasil perhitungan: PDI unggul dengan 201 suara. Disusul Golkar dengan 197 dan PPP dengan 152. Menarik untuk diketahui, TPS VIII ini terletak hanya beberapa meter dari masjid Assa'adah, tempat ibadat yang tiga tahun lalu meletuskan peristiwa Tanjungpriok. "Pada pemilu lalu PPP menang di sini dan PDI cuma dapat belasan suara," kata seorang pemuda setempat. PDI ternyata tidak hanya menang di satu tempat pemungutan suara ini. Di banyak TPS di Tanjungpriok, PDI berhasil mengungguli kedua kontestan lainnya. Bahkan untuk tingkat Jakarta, secara amat meyakinkan PDI melangkahi PPP yang makinmerosot pamornya itu. Telah terjadikah perubahan berarti dalam masyarakat kita dalam lima tahun terakhir ini? Hasil Pemilu 1987 memang di luar dugaan hampir semua orang. Hasil perhitungan sementara hingga Selasa siang lalu menunjukkan perolehan suara: dari 85.776.884 suara yang masuk (91,28%), Golkar memperoleh 62.600.866 suara (72,98%), PPP mendapat 13.731.884 (16,01%), dan PDI 9.444.094 suara (11,01%). Perolehan suara itu mengakibatkan perubahan besar dalam komposisi kursi di DPR. Menurut Mendagri Soepardjo Rustam, dari 400 kursi DPR yang diperebutkan (yang 100 disediakan untuk ABRI), Golkar akan mendapat 299 kursi, PPP 63, dan PDI 38. Bandingkan dengan hasil Pemilu 1982 (yang memperebutkan 360 kursi DPR) yang menghasilkan perolehan Golkar 242 kursi PPP 94, dan PDI 24. Bukan cuma hasil pemilu saja yang berubah. Cukup banyak alasan dan faktor yang menjurus ke kesimpulan: Pemilu 1987 adalah pemilu yang paling menjanjikan perubahan dibanding tiga pemilu sebelumnya di zaman Orba. Paling mencolok dari semua perubahan itu ialah dicapainya ketertiban dan keamanan dalam masa kampanye, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "Inilah kampanye yang teraman yang pernah saya alami," kata seorang perwira menengah yang bertugas dalam semua pemilu sejak Orde Baru. Sulit mendapatkan pendapat yang berbeda dengan yang dikemukakan oleh perwira ini. Yang bisa diperoleh ialah perbedaan dalam menafsirkan sebab ketertiban yang melegakan itu. Ada yang menekankan apatisme orang banyak terhadap pemilu yang menyebabkan keberingasan menghilang. "Rakyat akhirnya tahu bahwa percuma ngotot. Yang menang itu-itu juga," kata seorang yang tampaknya apatis. Tapi kegiatan kampanye yang amat meriah pada saat-saat terakhir dan jumlah suara yang masuk ternyata membantah pendapat kaum apatis ini. Memang, jumlah suara yang "hilang" dan tidak sah - yang bisa menjadi indikasi banyaknya golput--sampai jutaan, tapi secara keseluruhan bisa dinilai pemilu yang baru berakhir pekan lalu itu bisa dibilang berhasil. Masih ada korban, memang, tapi sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas selama kampanye. Kecuali seorang di Jawa Tengah yang tewas karena, seperti yang diumumkan Mabes ABRI, meneoba merebut senjata petugas, tak ada lagi korban yang diakibatkan "keberingasan". Mengapa keberingasan melenyap? Orang pun menunjuk asas tunggal sebagai penangkar keberingasan. Karena semua sudah Pancasilais, tentu tidak ada alasan beringas, begitu logika mereka yang menggunakan penjelasan ini. Dan karena semua berasas sama, ideologi pun ditinggalkan. Lepas dari apakah ini sumber hilangnya keberingasan, yang patut dicatat adalah: Pemilu 1987 ini adalah pemilu pertama yang mencoba meninggalkan pola pengkotakan ideologis (pola aliran menurut istilah Antropolog Clifford Geertz) yang mewarnai perpolitikan Indonesia seJak zaman kolonial. Yang paling merasakan akibat hilangnya pengkotakan tersebut jelaslah PPP. Meninggalkan tanda gambar Ka'bah, PPP harus tampil dalam pemllu bukan sebagai partal Islam. Karena itu, tidak perlu orang harus secara fanatik membela kontestan yang dianggap memperjuangkan agamanya. Perubahan drastis tentu tidak. Ternyata masih ada juga jurkam PPP yang menyebut partainya bukan partai Islam tapi "partainya orang Islam". Ayat-ayat Al Quran kadang dipakai juga menunjukkan kesinambungan dengan warna lama. Bahkan beberap kiai ada juga dikerahkan. Tapi entah karena kesadaran rakyat sudah cukup tinggi - artinya: tahu bahwa kini sudah berlaku asas tunggal - atau karena hlkmat penggembosan yang dengan gencar dilakukan oleh NU, orang banyak akhirnya tidak terlalu tertarik untuk membela PPP sebagai partai orang Islam. Mungkin sekali ini juga salah satu faktor yang menyebabkan lebih tertibnya pemilu. Sikap ABRI, yang tampak netral terhadap ketiga kontestan, juga memainkan peranan pentin dalam menciptakan pemilu yang bebas dari keberingasan Inilah pemilu yang paling menghasilkan pujian tertinggi kepada ABRI. Sikap ABRI yang mendapat pujian semua orang-dari Presiden Soeharto sampai mereka yang tidak begitu antusias terhadap pemilu - dinilai oleh Harry Tjan Silalahi dari CSIS bisa "memancing partisipasi politik masyarakat." Ini tentu saja tidak lepas dari asas tunggal itu tadi. Yang paling dikhawatirkan ABRI - berdasarkan pengalaman panjang mereka dengan berbagai pemberontakan ialah keselamatan Pancasila. Kalau ancaman itu sudah dianggap tidak besar lagi, sikap tegang bisa dikendurkan, meski kewaspadaan terus dijaga. Lagi pula, di DPR dan MPR nanti ABRI masih akan tetap punya suara yang cukup besar untuk mencegah terjadinya penyelewengan. Mungkin karena inilah maka seorang perwira tinggi berkata, "Kami beranggapan ketiga kontestan sudah saatnya mandiri. Kalau ada kesulitan kami bantu. Tapi tidak untuk menambah suara." Sikap netral ABRI bukan berarti penyelenggaraan pemilu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Masih ada keluhan dari dua kontestan yang mengaku masih sering mendapat ganjalan dari pihak birokrasi. Dari Aceh, misalnya, datang protes PPP yang merasa dicurangi oleh pihak birokrasi. Keluhan yang sama juga datang dari Sumatera Utara dan Jawa Tengah. "Kami sulit mencari saksi. Saksi yang ada dipersulit," begitu umumnya keluhan yang terdengar. "Kalau saja birokrasi sudah bersikap sebagai ABRI, semua ganjalan bisa dipastikan hilang," kata seorang tokoh PPP di Jakarta pekan silam. Protes juga muncul dari kubu PDI. Pekan silam, misalnya, sempat terjadi debat kecil antara Soerjadi, Ketua Umum PDI, dan David Napitupulu dari Golkar. Pasalnya mengenai soal anak-anak sekolah yang, kata Soerjadi, ditekan untuk memilih Golkar di sekolah mereka. David membantah, dan cerita berhenti di situ saja. Dari PDI juga ada kisah tentang hambatan mendapatkan saksi-saksi dan dipersulitnya sejumlah orang PDI untuk memberikan suaranya. Tapi mungkin karena PDI cukup gemblra dengan kemajuannya yang mencolok, terutama di Jakarta dan Jawa Barat, protesnya tidak segalak rekan-rekannya dari PPP yang memang merosot di mana-mana. "Sampai sekarang saya masih belum melihat terjadinya kecurangan pada pemilu ini," begitu kesimpulan Duddy Singadilaga, salah seorang pimpinan PDI, menjelaskan kepada TEMPO. Setelah hasil pemilu diumumkan - dengan Golkar jauh melampaui target, dan PDI memperlihatkan kemajuan, sementara PPP merosot--orang lebih banyak mencoba mengerti bagaimana semua itu terjadi dan apa pula artinya. Mengapa PPP kalah? Ada jawaban umum, banyak pula jawaban yang berlaku setempat. Jawaban umum: "PPP belum siap dengan konsep sebagai partai yang tldak lagi membawa aspirasi umat Islam," kata para pengamat. Ini terlihat pada program PPP yang kelihatan amat mencari-cari. "Siapa yang percaya PPP bisa menghapuskan SPP. Itu cuma mimpi," kata Anwar Nurris, Sekjen NU. Di Jawa Barat PPP berkampanye antipengiriman TKW ke Arab Saudi. "Terang ditinggalkan orang, sebab dan Jawa Barat ada dua juta orang yang menikmati hidup dari kcluargdnya yang jadi TKW," kata Ridwan Saidi, bekas tokoh PPP yang disingkirkan Naro. Kata Ridwan pula, "PPP berkampanye anti-Porkas, padahal di DPR mereka setuju Porkas. Ini jelas kacau." Menurut Haji Aziz Purwo, salah seorang pimpinan PPP Jawa Timur, kekalahan PPP disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, "Penggembosan yang dilakukan oleh NU. Faktor inilah yang cukup telak kami rasakan." Penggembosan ini memerosotkan perolehan suara PPP di Jawa Timur sebesar 17 persen. Yang tidak kurang merugikan PPP adalah perang simultan yang dilancarkan partai ini. "Ada perang dengan NU, ada perang melawan Soedardji. Semua ini merugikan kami. Karena itu, para pemilih baru lebih banyak memberikan suara ke PDI," kata Azis pula. Di Jakarta, baik Abdurrahman Wahid maupun Anwar Nurris membantah adanya penggembosan PPP oleh NU. "Kami hanya menjelaskan soal khittah," kata mereka. Tapi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sampai pada minggu tenang, aksi penggembosan berjalan terus dalam bentuk pengajian ataupun perayaan Isra' Mikraj. Setelah melihat kerontokan PPP Hanafi Muslim, Ke tua Ansor Jawa Timur, pekan lalu dengan bangga mengakui, "Saya puas dengan kerja saya menggembosi PPP selam tiga bulan." Ternyata, tidak semuanya berhasil gembos. Di Sampang, Madura, para kiayai NU menolak penggembosan, dan PPP berhasil mempertahankan kemenangan yang diraihnya pada pemilu sebelumnya. "Itu karena calon-calon untuk daerah itu semua orang NU," kata seorang pengamat di Surabaya. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Tengah. Sebagian calon PPP di Jawa Tengah masih grang NU, maka yang digemboskan hanya daerah yang wakilnya bukan orang NU. Bahkan di pesantren Krapyak, pimpinan Kiai Ali Ma'sum, bekas rais am NU, para santri pada umumnya tetap memilih PPP. Mirip dengan pengalaman pondok Krapyak adalah pengalaman Kiai Amin Mubarak di Desa Sliyer, Indramayu Kiai Alnin, yang NU ini, tahun silam berikrar di depan Menteri Ginandjar untuk masuk Golkar bersama 14 ribu pengikutnya. Hasil pemilu menunjukkan bahwa pengikut Kiai Amin tetap mencoblos PPP. Masih di Indramayu, Golkar di Desa Mangantara, Kecamatan Kertayasa, tadinya berharap menampung orang-orang bekas PPP. Ternyata, dugaan dan harapan itu meleset." Anak-anak muda itu memilih PDI karena bosan ditekan untuk masuk Golkar," kata seorang kiai di desa tersebut Akibatnya, Golkar tidak mencapai target di sana. Kekalahan paling pahit bagi PPP, tidak syak lagi, terjadi di Aceh. Baik PPP maupun Golkar, tidak terkecuali para pengamat, semuanya meramalkan kemenangan tanda gambar bintang di Aceh. Kampanye PPP jauh lebih banyak menarik massa ketimbang kampanye Golkar. Tapi Golkar bekerja keras dengan membina rakyat di pedesaan. Dalam hal ini peranan Gubernur Ibrahim Hasan amat besar. "Kemenangan Golkar di Aceh 75 persen disebabkan oleh kerja keras Ibrahim Hasan," kata Zainuddin Hamid, pimpinan Kadin Aceh. Ibrahim memang berhasil menarik hati orang sekampungnya, sedemikian rupa sehingga di Aceh jauh sebelum pemilu sudah muncul ucapan "Golkar no, Ibrahim Hasan yes. Ibrahim tidak sendirian memenangkan Golkar di Serambi Mekah. Selain Bustanil Arifin, yang rajin datang dan selalu membawa "oleh-oleh", juga Abdul Rahman Ramly, Dirut Pertamina, sibuk mempersiapkan rakvatAceh untuk memilih Golkar. Para perantau Aceh yang sukses juga dimanfaatkan untuk inl. "Sukarelawan" Aceh ini datang dari Mcdan dan kota-kota lainnya di Indonesia. Dari Yogyakarta, misalnya, Teuku Prof.Dr. Ibrahim Alfian, Dekan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Muda, juga tampil membantu Ibrahim Hasan. Kerja keras ini tentulah tidak akan membawakan hasil jika masyarakat Aceh sendiri belum siap untuk mencoblos Beringin. Aceh memang. sedang berubah. "Aceh makin mengambil tempatnya sebaai salah satu bagian Indonesia," kata Prof. Liddledari Ohio State University, AS, yang mengamati pemilu dari Banda Aceh. Bagi Taufik Abdullah, sejarawan dari LIPI, Golkar menang di Aceh karena orang Aceh sudah mulai percaya pusat. "Mereka melihat Bustanil dan Ramly sebagai dutaduta Aceh di pusat." Dan jika kepercayaan mereka ini tidak dikhianati seperti yang mereka alami dulu, kata Taufik pula, Golkar akan mereka pilih lagi pada pemilu berikut. Salah satu faktor penting lain dari pemilu tahun ini adalah munculnya belasan juta pemilih baru. Anak-anak muda yang memilih untuk pertama kalinya ini memberi warna menarik. Kehadiran mereka dalam gelanggang politik jelas meninggalkan bekas. Para pemilih muda ini berangkat dewasa bersama Orde Baru. Mereka tampaknya tidak tahu banyak - atau tidak begitu peduli - beda antara Orde Lama dan Orde Baru. Secara mencolok dan mengagetkan mereka mengerek gambar Bung Karno seakan almarhum itu idola mereka. Tampaknya, mereka tidak mengenal betul Soekarno, hingga muncul berbagai teori tentang pemuaan ini (lihat Bung Karno: Antara Mitos dan The Beatles). Pandangan mereka berbeda dengan yang mengalami kepahitan hidup di zaman Demokrasi Terpimpin. "Soekarno mereka tampilkan sebagai satu cara mengejek orang yang berkuasa. Khas anak muda," kata seorang pengamat. "Yang kita takutkan ialah jika gambar Soekarno nanti diikuti juga oleh ajaran Soekarno," kata seorang ahli ekonomi dari Universitas Indonesia yang mengalami morat-maritnya ekonomi pada masa Soekarno. Ada lagi hal menarik yang bisa dicatat. Tidak munculnya Sri Sultan danJenderal (pur) M. Jusuf, bekas Menhankam/Pangab, dalam kampanvmenarik perhatian banyak pengamat. Ketika muncul kembali di depan umum pada hari pemilu, Sultan menjelaskan ketidakhadirannya sebagai akibat gangguan kesehatan. "Saya sudah kirim surat penjelasan ke Pak Dharmono disertai surat keterangan dokter tentang kesehatan saya yang tidak memungkinkan kampanye," kata Sultan di Yogyakarta. Tentang Jenderal M. Jusuf, yang mestinya berkampanye di Sulawesi Selatan, kampung halamannya, sampai kini belum ada penjelasan. Fenomena lain: melejitnya kepopuleran PDI di kalangan anak muda. Memang ketiga kontestan merangkul dan menarik banyak anak-anak muda - yang punya hak pilih maupun yang cuma ingin ikut keramaian. Tapi pengamatan menunjukkan, kontestan yang pahng banyak menarlk anak muda adalah PDI. "Anak muda suka yang modern. PPP masih tetap seperti dulu, sementara Golkar di mata anak muda adalah partainya para pegawai. Karena itu, mereka pilih saja PDI." Begitu seorang tokoh PDI Sumatera Utara menjelasklan gejala dukungan anak muda tcrha dap PDI. Hasil pemantauan para wartawan TEMPO di kota-kota besar Indonesia memang menunjukkan bahwa anak-anak muda ini - umumnya datang dari kelas menengah - kebanyakan memang membcrikan suara mereka ke PDI. Dari sini pulalah munculnya satu gejala menarik Pemilu 1987 ml. Pengamatan menunjukkan, yang memberikan suara pada PDI - selain pemilih tradisional - adalah anak-anak muda tadi itu dan orang-orang dari kelas bawah seperti yang di Tanjungpriok serta daerah miskin lainnya. Adakah ini manifestasi solidaritas anak-anak muda kepada kaum bawah? Ini yang sulit dijawab, sebab tidak ada bukti bahwa anak-anak muda ini memilih PDI karena paham program partai tersebut. Dalam evaluasi kampanye pemilu yang dilakukan oleh ketiga kontestan, semuanya sepakat bahwa massa tidak memberi perhatian, bahkan tidak tertarik mendengarkan uraian mengenal program para kontestan. Jika memang demikian halnya, ada perbedaan alasan untuk memilih PDI antara anak-anak muda yang kelas menengah dan kaum bawah yang tertarik oleh program kerakyatan PDI. "Anak muda itu kebanyakan ikut hura-huranya saja. Kesempatan seperti ini cuma sekali dalam lima tahun. Mereka manfaatkanlah," kata seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia. Karena itulah banyak cerita tentang anakanak muda yang ikut kampanye untuk ketiga kontestan. Pokoknya, asyik. Begitu asyik hingga ada anak dari keluarga Golkar dan PPP yang berkampanye untuk PDI. Pengamatan TEMPO menunjukkan bahwa bekas pendukung PPP dari kalangan kelas menengah perkotaan pada umumnya mendukung PDI, sedang yang kelas bawah cenderung memilih Golkar. Keadaan seperti tidak terlalu salah jika dilihat sebagai bukti bahwa pilihan kali ini belum lagi didasarkan .ada program. Orang harus memilih. Karena tidak senang dengan nomor satu dan nomor dua, tentu saja nomor tigalah yang dicoblos. Seperti biasa selalu ada segi positif dan negatif dari setiap hal. Segi negatif dari voting behavior anak muda dan kelas menengah bekas PPP ini adalah itu tadi, memilih partai tanpa memperhitungkan program. Segi positifnya mereka telah meninggalkan mental pejah gesang mengikut satu golongan. Ini suatu modal bagi suatu cara berpolitik berdasarkan program. Artinya, mereka yang memilih PDI sekarang belum pasti akan memilih PDI lima tahun mendatang. Anak-anak muda yang sekarang memilih PDI, misalnya, sulit dibayangkan akan tetap mendukung PDI jika nanti mereka memasuki kehidupan kepegawaian atau terlibat bisnis. Jika pada saat itu nanti mereka lebih diuntungkan oleh Golkar, tentu mereka akan mencoblos Beringin. Sebaliknya juga terjadi pada para bekas Marhaenis (PNI) yang masuk Golkar karena mereka.Korpri. Setelah pensiun, tidak ada lagi kewajiban bagi mereka untuk memilih Golkar. Banyak di antara pensiunan ini yang kini secara terbuka menunjukkan simpati bahkan memberikan bantuan pada PDI. Berkumpulnya orang kelas atas dan bakah dalam PDI tidak pula berarti partai itu anya sekadar tempat orang-orang bosanan. Bagaimana mendapatkan titik temu kepentingan antara orang Tanjungpriok dan anak-anak Menteng-Kebayoran dan orang kelas penengah bekas PPP? Itulah pertanyaan yang tampaknya bakal jadi pekerjaan yang menanti Soerjadi dan teman-temannya. Pertanyaan seperti ini jelas tidak bisa dijawab dengan mengarak gambar Soekarno atau mendorong putri presiden pertama Indonesia itu ke podium. Dan sementara PPP masih harus membenahi diri, jawaban PDI terhadap tantangannya itu akan banyak menentukan hari depan partai politik di Indonesia kelak. Adakah PDI hanya akan jadi terminal mereka yang lolos dari jaring Golkar dan PPP buat sementara? Atau PDI memang bisa jadi sebuah kubu bagi sejumlah gagasan yang dibutuhkan oleh orang banyak dalam proses melangkah dari era ideologi ke aman program? Jawab atas pertanyaan ini masih harus ditunggu. Yang dampaknya akan lebih ingin segera dirasakan adalah kemenangan Golkar yang jauh melampau target. Yang menarik adalah bahwa kemenangan besar ini dicapai justru dalam keadaan ABRI bersikap netral, meski birokrasi - sebagai salah satu pilar Golkar masih berandil besar bagi kemenangan ini. Dapatkah Golkar juga meyakinkan pemerintah bahwa keterbukaan yang lebih besar sudah tiba waktunya. Bukankah mayoritas penduduk sudah memperlihatkan pengertian dan dukungan pada gagasan yang selama ini dijadikan landasan bagi pemerintah untuk membangun negeri ini? Jawabannya pertanyaan ini akan tampak kelak lewat tingkah laku politik pemerintah. "Kemenangan ini adalah beban berat bagi kami," kata Sudharmono. Tidak bisa lain. Kalau beban itu tampil dalam bentuk mencari dukungan rakyat, maka beban sekarang ialah meyakinkan pemerintah untuk mempercayai Golkar sebagai wadah yang telah mendapatkan dukungan mayoritas. Salim Said, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini