Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ekonomi turun Golkar naik

Wawancara tempo dengan ketua umum golkar sudharmono. golkar mencatat prestasi bagus. target 70% terlampui. golkar mempunyai anggota hampir 25 juta & kader sekitar 9 juta dengan program ekasapta.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini, senyum ada di setiap pojok gedung DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat. Senyum itu juga tersunggmg pada bibir Ketua Umum Golkar Sudharmono, Sabtu pekan silam, saat dilakukan pertemuan dengan para wartawan. Maklum,. Beringin mencatat prestasi bagus. Organisasi peserta pemilu nomor dua ini berhasil meraup hampir tujuh puluh lima persen suara pemilih. "Kami bergembira," ujar Sudharmono. Wartawan TEMPO A. Luqman dan Bambang Harymurti bersama fotografer Maman Samanhudi sempat menemui sang pemenang pemilu tahun ini. Banrak hal seputar Golkar dan pemilu ditanyakan dan dijawab oleh Sudharmono selama hampir satu jam. Berikut petikan wawancara itu: Target 70% Golkar terlampaui. Bapak puas? Kita bilang puas, bagaimana. Tidak puas ya bagaimana. Hasil itu merupakan kerja keras kita semua. Kita gembira dengan hasil-hasil itu. Tapi kita harus terus introspeksi. Ekonomi sedang susah kok perolehan suara Golkar malah naik. Mengapa? Karena kita bisa menjelaskan. Bahwa situasi ekonomi yang sulit itli bukan oleh Golkar. Kalau ekonomi mnurun, itu bukan karena pemerintah tak bekerja keras. Tetapi memang karena situasi. Dan kalau Golkar saja nggak bisa mengatasi, apalagi orang lain. Tapi OPP lain mengatakan hal itu karena kurang jurdil? Kurang jurdil bagaimana? Perhitungan suara 'kan dilakukan terbuka. Ada saksi dari tiap-tiap OPP. Mulai surat suara dibuka, dihitung, disaksikan umum. Bahkan saksi masing-masing membawa salinan hasil perhitungan suara. Masyarakat pun bisa mencatat hasil perhitungan itu. Jadi, membengkaknya perolehan Golkar karena ada limpahan suara? Dari mana? Ya, dari floating mass. Di samping anggota kita yang hampir 25 juta. Dan kader sekitar 9 Juta dengan program ekasapta. Limpahan dari PPP? Ya, mungkin saja. Mungkin itu salah satu faktor. Penyebabnya? Di tempat-tempat tertentu anggota NU memilih Golkar, itu cukup terang. Ada pernyataan-pernyataan. Ada kebulatan tekad. Cuma kita tak tahu persis berapa besar jumlahnya. Di Pasuruan dan Madura, misalnya, pemilih Golkar sekarang bertambah. Kesimpulannya: orang-orang NU yang dulu memilih PPP kini memilih Golkar. Itu bisa saja. Tidak jadi soal. Sebab, setelah kembali ke khittah, NU 'kan membebaskan anggota anggotanya. Jadi, mereka termasuk floating mass. Golkar akan menyalurkan aspirasi politik NU? Merupakan kewajiban moril Golkar untuk solider memperjuangkannya. Kebetulan ini sejalan dengan program perjuangan Golkar yang seimbang lahir-batin, materiil-spirituil. Jadi,bukan sekadar balas jasa. Seandainya nanti terjadi masalah yang crucial semacam UU Perkawinan 1974. Bagaimana sikap Golkar? Itu 'kan masih seandainya. Kita akan usahakan supaya tak terjadi. Kasus riil, Porkas, misalnya. MUI 'kan menyatakan mudharat Porkas lebih besar dari manfaatnya.... Perlu dibuktikan dulu. Penilaian saya? Sampai sekarang kita belum melihat PorLas sudah sampai tingkat membahayakan moral atau keamanan. Yang ada 'kan baru statemen-statemen politik yang belum dicek kebenarannya. Pindahnya sebagian warga NU ke Golkar membuat PPP gembos kali ini. Komentar Bapak? Bagaimana, ya? Dalam organisasi, sikap dan polig dari pimpinan itu tentu faktor. Meski NU sudah membebaskan anggota-anggotanya, secara historis dan secara moril tentunya tetap berada pada yang lama. Lha, kalau tidak itu 'kan, why? Tapi bukankah ada semacam pengarahan dari pimpinan NU untuk memindahkan massanya ke Golkar? Kalau Abdurrahman Wahid sepertinya menganjurkan anggotanya ke Golkar, itu 'kan bukan salah saya. Bila saya mencoba dia untuk mengerti dan bersimpati ke Golkar, itu 'kan hak saya. Golkar kini menguasai hampir tiga perempat kursi DPR. Imbangan parpol 'kan tak lagi bisa berfungsi? Itu kalau sistem voting. Kita 'kan tidak bgitu. Tetapi musyawarah mufakat. Itu yang harus kita dengarkan. Besarnya tambahan perolehan PDI, kabarnya, merupakan keinginan ABRI, agar Golkar mempunyai imbangan.... Wah, susah bikinnya. Bagaimana itu 'ngaturnya .... Tapi bagaimana dengan peran ABRI bila Golkar terlalu kuat? Dalam operasionalnya, ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator 'kan tidak harus selalu memihak Golkar. Selama ini 'kan sering berbeda pandangan. Dalam membahas RUU, misalnya. Meski akhirnya bisa ditemukan. Karena di situ justru musyawarah mufakatnya. Kecenderungan jatah Fraksi ABRI 'kan semakin kecil. Bila Golkar semakin kuat, Fraksi ABRI akan semakin kecil? Nggak. Saya kira UU yang menentukan 20 persen ini agak lama. Sebenarnya jumlah anggota F-ABRI yang seratus orang itu tetap. Dulu 100 dari 460. Kini 100 dari 500. Dari 460 ke 500 itu 'kan perlu 20 tahun. Dan sebenarnya tentara itu tidak mewakili militer, tetapi mewakili rakyat. Yang penting 'kan partisipasi ABRI itu menimbulkan kewajiban moral untuk tanggung jawab menegakkan Pancasila. Artinya, amanlah negara ini. Tak usah pakai gronjalan macam-macam . ABRI sekarang netral. Bagaimana kalau birokrasi juga netral? ABRI netral itu 'kan sebagai kekuatan Hankam. Dari dulu juga netral. Dan memang harus begitu. Birokrasi sekarang juga netral. Mana birokrasi yang tak netral? Korpri? Itu 'kan anggotanya, bukan birokrasinya.. Tapi apakah besarnya Golkar bukan karena dukungan kuat birokrasi? Yang didukung birokrasi itu sebenarnya bukan hanya Golkar. Tapi semua organisasi politik dan kemasyarakatan. PDI bisa terbentuk 'kan juga dibantu pemerintah. Bagaimana, sih, membedakan Pak Dhar sebagai Ketua Golkar dan Mensesneg? Apa kalau Bapak pakai peci itu sedang menjadi Ketua Golkar? (Tertawa). Yaa, kebetulan orangnya memang satu. Kalau sekali dua kali menggunakan itu 'kan bukan menyalahgunakan. Jadi, misalnya kalau saya meresmikan proyek sebagai Mensesneg, saya mengatasnamakan rakyat yang sebagian Golkar berterima kaslh kepada pemerintah. Apa tidak boleh? Sekarang pertanyaan hipotetis. Seandainya PDI menang, apa Korpri juga harus PDI ? Ya, nggak tahu. Kalau perkembangan sejarah, ya kita lihat, dong. Kalau Karakterdes telah kuat, tak sebaiknyakah Korpri dimassaapungkan? Mereka itu 'kan floating mass, tapi sukarela menjadi anggota Golkar. Lalu kita jadikan kader. Kalau begitu, pada satu saat Golkar bisa menjadi parpol? Golkar ini 'kan organisasi politik. Sama dengan parpol yang lain. Namanya saja yang Golongan Karya. Hak dan kewajibannya nggak ada beda. Golkar, seperti organisasi lain, telah mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden. Calon wapres siapa? Ah, belum kita bicarakan. Ada analis yang menyebut Bapak salah satu kandidat jabatan itu. Biar saja. Itu 'kan perkiraan analis. Saya sendiri? Saya nggak ada ambisi menjadi wapres. Bukankah dengan Golkar menang, bargaining position Bapak lebih kuat? Bargaining posiion itu nggak ada. Pokoknya, selama ini saya hanya melaksanakan tugas pengabdian sebaik-baiknya. Ibarat orang mau ujian, mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sampai saat saat terakhir pun. Hasilnya bagaimana, itu terserah waktu ujian nanti. Kalau lulus, ya lulus...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus