HINGGA akhir pekan lalu, api itu belum juga padam. Di berbagai kota masih terjadi aksi protes. Intinya: menuntut agar Arswendo Atmowiloto, 42 tahun, bekas Pemimpin Redaksi Monitor, dihukum mati. Misalnya, yang terjadi Sabtu pekan lalu di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujungpandang. Sejak pagi, kampus itu dipenuhi spanduk atau poster menghantam Monitor dan Arswendo. Lalu, di tengah yel-yel untuk memompa semangat yang diteriakkan para mahasiswa, sekitar pukul 10.00, 30-an di antara mereka berbaris menuju gedung DPRD, berjarak 1 km dari sana. Mereka tak lupa membawa poster dan spanduk. Di hadapan sejumlah pimpinan DPRD, delegasi itu membacakan pernyataan: minta Arswendo dihukum mati. Mereka juga menyatakan solidaritasnya atas aksi-aksi yang terjadi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Sore harinya, para mahasiswa itu membakar setumpuk tabloid Monitor di halaman kampus. Sehari sebelumnya, Jumat pagi, 3.000-an orang (sebagian besar mahasiswa) berkumpul di lapangan basket ITB Bandung. Mereka mengadakan acara syukuran karena pemerintah mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) Monitor. Acara ini diisi dengan pidato-pidato mengutuk Arswendo, antara lain, menuntut agar Arswendo dihukum mati. "Menghina Rudini saja dihukum tiga tahun tiga bulan penjara, apalagi kalau menghina Rasulullah, manusia yang dimuliakan Allah," kata Ali Assegaf, mahasiswa ITB yang mengkoordinasikan acara ini, dalam pidatonya. Massa pun berteriak, "Allahu Akbar." Puluhan spanduk dan poster -- isinya kebanyakan menghujat Arswendo dan perusahaan yang menerbitkan Monitor mereka acung-acungkan. Seorang mahasiswi berjilbab menangis terisak-isak, setelah berpidato berapi-api menyerang Arswendo. Di hari yang sama, pemandangan seperti ini bisa disaksikan di boulevard di depan Gelanggang Mahasiswa UGM di Yogyakarta. Di depan 2.000-an hadirin, siang itu dibacakan sebuah pernyataan (namanya resolusi solidaritas umat Islam Yogyakarta). Isinya mendukung sikap pemerintah yang membredel Monitor, dan meminta Jaksa Agung untuk mengajukan Arswendo ke pengadilan dengan tuntutan hukuman mati. "Tindakan Arswendo sudah mengancam integritas serta kedaulatan bangsa dan negara, karena itu ia bisa dituntut dengan undang-undang anti-subversi yang ancaman hukumannya adalah mati," kata Fauzi A.R., Sekretaris Persaudaraan Dokter Muslim (PDM), yang mensponsori acara ini. PDM adalah organisasi lokal dengan anggota 28 dokter di Yogyakarta. Para dokter ini membantu mengobati masyarakat (muslim) yang tak mampu. Setelah itu dibacakan pula pernyataan dari jemaah Masjid Shalahuddin UGM, yang isinya bukan saja mengutuk Arswendo atau Monitor, tapi juga "mengharapkan agar pemerintah meninjau kebijaksanaannya yang berkaitan dengan isi media cetak dan elektronik, untuk pembangunan mental dan moral bangsa". Mudah ditebak, sasaran pernyataan ini tak lain dari pornografi. Sebagaimana dengan acara serupa di kota-kota lainnya, pengajian akbar ini dipenuhi spanduk, poster, dan caci-maki untuk Arswendo. Berbagai tudingan itu seakan membuat Arswendo Atmowiloto, wartawan dan penulis yang amat produktif itu, menjadi musuh masyarakat nomor satu. Dari bermacam tuntutan yang dilontarkan pada acara-acara unjuk rasa tadi, kelihatan bahwa sasaran tudingan kini tidak hanya Arswendo atau Monitor semata, tapi makin melebar. Hari-hari ini memang hari kelabu buat Arswendo. Ia dan Monitor jadi sorotan di mana-mana. Termasuk oleh para khatib dalam khotbah Jumat pekan lalu, di banyak masjid di sini. "Alhamdulillah. bila selama ini banyak orang tua yang resah karena anak-anaknya membaca Monitor, Allah dengan segala kemudahan dan rencana kemudian mengatur dengan segala caranya, sehingga pemerintah mencabut izin Monitor," kata Yunahar Ilyas dalam khotbahnya di Masjid Mardiyah UGM Yogyakarta, Jumat pekan lalu. Suara ustad ini bernada lega. Para jemaah pun banyak yang mengangguk-angguk tanda setuju. Di Masjid Jalan Sedati Surabaya, Ustad Ridawan Yasin juga mengecam Monitor dalam khotbahnya. "Masa, Nabi Besar junjungan kita ditempatkan di bawah Mbak Tutut," katanya bersemangat. Tapi para jemaah yang kebanyakan orang berusia lanjut tampak kebingungan. "Apa itu Monitor?" tanya seorang tua, berbisik kepada TEMPO. Pemerintah memang telah mencabut SIUPP Monitor mulai Selasa pekan lalu. Alasannya karena memuat hasil angket "Kagum 5 Juta" yang menempatkan Nabi Muhammad saw. pada urutan kesebelas dari 50 tokoh yang dikagumi pembaca Monitor. Hasil angket itu dimuat Monitor edisi 15 Oktober 1990 dengan judul "Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita". Di situ, Nabi Muhammad saw. berada di bawah peringkat Presiden Soeharto, Menristek Habibie, penyanyi Iwan Fals, dan juga di bawah Arswendo Atmowiloto sendiri, yang menempati peringkat ke-10. Akibatnya, banyak yang marah dan merasa terhina. Kecaman dan demonstrasi meletus di mana-mana. Malah Senin pekan lalu, sejumlah mahasiswa merusak kantor tabloid itu, di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat. SK pembatalan SIUPP Monitor itu ditandatangani langsung oleh Menpen Harmoko. Pembatalan SIUPP sebelumnya -- atas nama Sinar Harapan dan Prioritas -- cukup dengan tanda tangan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG). Bagi banyak pihak, keputusan ini agak mengejutkan, selain melegakan. Soalnya, vonis yang mematikan tabloid beroplah 600.000-an ini -- koran mingguan dengan oplah tertinggi di Indonesia -- dijatuhkan cuma lima hari setelah Departemen Penerangan memberikan peringatan keras karena masalah yang sama: kasus "Kagum 5 Juta" itu. Dalam surat peringatan keras yang ditandatangani Dirjen PPG Subrata pada 18 Oktober itu, antara lain, tertera: "Diharapkan agar di waktu yang akan datang SKM Monitor lebih berhati-hati lagi dalam menyeleksi berita atau tulisan-tulisan yang akan dimuat dan mengindahkan peringatan keras ini untuk mencegah jangan sampai pemerintah mengambil tindakan yang tidak kita inginkan bersama". Memang tak ada ketentuan yang menjamin bahwa SIUPP sebuah koran tak akan dicabut karena koran itu telah mendapat surat peringatan keras. Namun, bila pernyataan dalam surat peringatan keras di atas dijadikan patokan, bisa muncul anggapan bahwa sebenarnya Monitor tak akan sampai dibredel, kecuali bila kemudian koran itu mengulangi kesalahan serupa. Padahal, sehari setelah peringatan keras dijatuhkan, Pemred Monitor Arswendo Atmowiloto tampil di TVRI dan minta maaf kepada masyarakat (terutama umat Islam) atas pemuatan "Kagum 5 Juta". Iklan permohonan maaf lalu menyusul di sejumlah koran seperti Kompas, Pos Kota, Pelita, Pikiran Rakyat, dan Monitor sendiri. Kalau begitu, kenapa SIUPP Monitor dicabut? Baik Menteri Penerangan Harmoko maupun Dirjen PPG Subrata tak melihat sesuatu yang ganjil pada proses pembatalan SIUPP Monitor. Sebab, soalnya cuma masalah prosedur dan mekanisme belaka. Dari keterangan Subrata kepada TEMPO, bisa disimpulkan bahwa surat peringatan keras diberikan Deppen kepada Monitor sesuai dengan wewenang yang ada pada instansi itu. Tapi kemudian, Deppen menyerap aspirasi masyarakat yang ternyata menghendaki pemerintah mengambil tindakan yang lebih dari sekadar peringatan. "Pemerintah punya kewajiban moral menyerap aspirasi masyarakat," kata Subrata. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pers (UUPP), Deppen tak bisa mencabut SIUPP itu tanpa lebih dulu mendengar pertimbangan Dewan Pers. "Kalau sampai terjadi pembatalan SIUPP langsung oleh pemerintah sendiri, itu namanya kekeliruan besar," ujar Subrata. Menurut Dirjen ini, sejak surat peringatan keras diberikan ke Monitor, rapat Dewan Pers sudah direncanakan. Tapi rapat itu sendiri baru berlangsung Selasa pekan lalu. "Ternyata hasilnya sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk membatalkan SIUPP itu," kata Menpen Harmoko kepada wartawan TEMPO Wahyu Muryadi. Setelah menerima keputusan sidang Dewan Pers itulah Menpen membatalkan SIUPP Monitor. Namun, tak terelakkan timbulnya kesan bahwa sidang pengurus harian Dewan Pers itu dilaksanakan agak terburu-buru. Misalnya, anggota pengurus harian Dewan Pers Atang Ruswita menerima undangan rapat dari Deppen melalui telepon pada pukul 10.30, di hari Selasa itu. Padahal, saat itu Atang -- Pemimnin Redaksi Pikiran Rakyat -- sedang berada di kantornya di Bandung. Karena mendadaknya undangan, Atang tak berhasil memperoleh tiket pesawat terbang, terpaksa ia bergegas ke Jakarta dengan mobil. Tentu saja ia terlambat. Atang sampai di gedung Deppen, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, kira-kira pukul 14.00, atau satu jam setelah rapat berlangsung. "Ketika saya masuk ruang rapat, semua anggota pelaksana harian Dewan Pers yang hadir sudah sepakat mengusulkan kepada Departemen Penerangan untuk mencabut SIUPP Monitor. Saya baru mengikuti pertemuan secara penuh ketika Dewan Pers melaporkan hasil rapat kepada Menteri Penerangan," kata Atang Ruswita kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Pengurus harian Dewan Pers yang hadir di ruang Dirjen PPG, di lantai tiga gedung Deppen, hari itu, selain Atang ialah Jakob Oetama (Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers), Subrata (sekretaris harian), dan Zulharmans (anggota). Dua anggota lainnya, D.H. Assegaf dan Willie Laluyan, tak hadir. Assegaf sedang ada di luar negeri, sedangkan Willie sedang punya tugas lain. Lalu mereka bersama-sama turun ke lantai dua, ke ruang Menpen untuk melaporkan hasil rapat itu. Akhirnya, Menteri Harmoko dan semua pengurus harian Dewan Pers yang hadir sepakat membatalkan SIUPP Monitor -- termasuk Jakob Oetama, Dirut PT Gema Tanah Air, penerbit Monitor. Maka, sekitar pukul 15.00 sore itu juga, Menpen memutuskan nasib Monitor. Lepas magrib, SK pembatalan SIUPP itu dikirimkan ke berbagai media cetak dan elektronik. TVRI lalu mengumumkan pembredelan itu dalam acara "Dunia Dalam Berita", pukul 21.00 malam itu juga. Kenapa Monitor harus divonis mati? "Kalau tindakan itu tak diambil, dampaknya akan luas. Semua kelompok Gramedia bisa jadi sasaran. Jadi, pencabutan SIUPP itu sah untuk meredam kemarahan kaum muslimin," ujar Atang Ruswita. Anggota Dewan Pers yang lain, Zulharmans, membenarkan pernyataan Atang. "Kemarahan masyarakat semakin menjadi-jadi, dengan membuat resolusi, demonstrasi, dan berbagai pernyataan yang bisa berakibat luas. Karena itulah pemerintah minta pertimbangan Dewan Pers," kata Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Neraca itu. Tak bisa dibantah bahwa saat itu aksi-aksi menyerang Monitor sedang marak-maraknya, setelah Senin pekan lalu sejumlah mahasiswa mengobrak-abrik kantor Monitor. Selasa pekan lalu, misalnya, sebuah demonstrasi cukup besar dengan 5.000-an massa digelar di lapangan parkir utara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Spanduk, poster, dan teriakan menghujat Arswendo mewarnai lapangan yang dipenuhi mahasiswa, pelajar, dan gadis-gadis berjilbab. Setelah Jalaluddin Rakhmat, intelektual muda Islam dan dosen Unpad, berceramah di depan massa yang bergelora itu, serta berbagai pernyataan mengutuk Monitor dibacakan, sebuah patung Arswendo dari kertas koran tabloid Monitor, setinggi 2,5 meter, dibakar. Di Jakarta sendiri aksi-aksi yang mirip terjadi di beberapa tempat. Malah pada tengah hari Selasa itu, ratusan mahasiswa dan pemuda mengunjungi gedung Deppen, berteriak-teriak, menuntut agar Monitor dibredel. Mereka mulai tertib setelah dua utusannya diterima oleh pejabat Deppen. Bila benar pembredelan itu (antara lain) untuk menampung aspirasi atau tuntutan masyarakat, maka ini merupakan peristiwa pertama dalam catatan sejarah pers Orde Baru, yang mengenal sejumlah kasus pembredelan pers. Pencabutan SIUPP Sinar Harapan dan Prioritas -- sebagai contoh terbaru -- sama sekali tanpa tuntutan dari masyarakat. Derita Arswendo masih berlanjut. PWI Jaya pun turut menghantamnya: ia dipecat sebagai anggota, Selasa pekan lalu. Selain itu, organisasi wartawan ini mencabut rekomendasi yang mereka berikan pada Arswendo untuk menjadi Pemimpin Redaksi Monitor dan majalah remaja Hai. Belum cukup, PT Gramedia ikut pula memberhentikan Arswendo dari seluruh jabatannya di perusahaan itu, termasuk sebagai Wakil Direktur Kelompok Majalah Gramedia . "Sebagai pimpinan, harusnya dia tahu persoalan seperti itu .... Masalahnya kan sangat mendasar," kata Jakob Oetama kepada wartawan TEMPO Bambang Sujatmoko, Sabtu pekan lalu. Sekitar 200 eks karyawan Monitor tampaknya akan ditampung oleh PT Gramedia, yang punya banyak cabang usaha itu. Masih ada lagi sodokan terhadap Arswendo. Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain menyatakan bahwa TVRI menyetop pemutaran sinetron yang dibuat Arswendo, Jendela Rumah Kita. Sinetron itu selama ini amat digemari para remaja. Kenapa? Tak ada alasan yang jelas. Sebuah sumber di TVRI berkata, "Orang kan lagi pada marah pada Arswendo, masa, kami tayangkan dia. Yang rasional saja. Kalau sampai Presiden memerintahkan ia harus diseret ke pengadilan, masa, kami mau gagah-gagahan menampilkan dia." Agak aneh memang. Padahal, menurut sumber itu, sebelumnya TVRI yang punya hubungan akrab dengan Arswendo -- sekalipun Monitor tak ada kaitan bisnis sama sekali dengan TVRI -- masih mencoba menyelamatkan Arswendo, dengan meminta Arswendo minta maaf di televisi. Kini tampaknya Arswendo seperti ditinggalkan sendiri. Malah belakangan tersebar pula bisik-bisik bahwa Arswendo akan diusut karena pernah terlibat PKI. "Apakah Arswendo itu PKI atau bukan, kami belum tahu dan belum mengarah ke sana, namun semua hal yang menyangkut ke arah sana akan dicari kemungkinannya," kata Kepala Puspen ABRI, Brigadir Jenderal Nurhadi, kepada wartawan TEMPO Rustam F. Mandayun. Bila diibaratkan, yang menimpa Arswendo kini memang bukan cuma duka, tapi juga nestapa. Bayangkan, selain dicerca di mana-mana, sebagai tersangka ia sekarang juga masih harus menghadapi para juru periksa di Polda Metro Jaya. Lalu Arswendo mesti mempertanggungjawabkan "Kagum 5 Juta" itu di pengadilan. Hal ini menjadi jelas setelah para pimpinan pusat Muhammadiyah menghadap Presiden Soeharto, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu pekan lalu, sehubungan dengan rencana muktamar organisasi Islam itu, Desember mendatang. Seperti diungkapkan Wakil Ketua PP Muhammadiyah Lukman Harun, Presiden Soeharto menilai apa yang dilakukan Monitor adalah perbuatan menyangkut SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang bisa mengganggu stabilitas nasional, karena itu harus dipertanggungjawabkan oleh pemimpin redaksinya di pengadilan. "Pak Harto bilang, selain SIUPP-nya dibatalkan kasus ini juga mesti diselesaikan di pengadilan," kata Lukman Harun kemudian kepada TEMPO. Presiden menyerukan pula agar seluruh lapisan masyarakat, terutama para pemuda muslim, mengendalikan diri, tenang, dan jangan sampai bisa terpancing, sehingga semuanya bisa diselesaikan sesuai dengan hukum dan peraturan. Sejak kantor Monitor diserbu sejumlah pengunjuk rasa, Senin pekan lalu, Arswendo minta perlindungan ke kantor Polres Jakarta Pusat. Sejak itu pula ia mulai diperiksa walaupun belum jelas benar posisinya dalam pemeriksaan itu. Sampai Kadispen Polda Metro Jaya, Latief Rabar, mengatakan bahwa mulai Jumat pekan lalu, Arswendo resmi ditahan polisi dengan status tersangka. Surat perintah penahanan dikeluarkan hari itu setelah lima eks staf dan wartawan Monitor didengar kesaksiannya, dan Polda menganggap sudah cukup bukti untuk melakukan penahanan. Kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah ini disambut oleh banyak pemuka Islam. "Baik Presiden, Wakil Presiden, Menteri Penerangan, maupun Menteri Agama, yang kami temui, menyatakan Pemerintah akan bertindak tegas dalam soal ini,"kata Ketua MUI Hasan Basri, gembira. Lukman Harun, atas nama PP Muhammadiyah, mengucapkan terima kasih atas ketegasan sikap Presiden. Lukman, yang semula mengusulkan Arswendo dituntut di pengadilan, tanpa perlu membredel Monitor, kini menyetujui tindakan Pemerintah karena melihat perkembangan situasi yang mengkhawatirkan. "Pembredelan itu ada undang-undangnya, selain itu, kalau pembredelan itu terlambat satu atau dua hari, akan mengganggu stabilitas. Di mana-mana terjadi demonstrasi. Untuk membela satu Monitor, apakah republik ini dibiarkan kacau?" katanya. Ketua MUI Aceh Ali Hasjimi, yang melihat penghujatan yang dilakukan Monitor terhadap Nabi Muhammad saw. sudah keterlaluan, kini merasa lega. "Kami harapkan Jaksa Agung menggunakan wewenangnya sepenuhnya untuk pemred Monitor yang sudah meresahkan umat beragama itu," katanya. Banyak lagi pendapat senada terdengar di mana-mana, yang melihat pembredelan itu lebih banyak manfaat dari celakanya. "Kalau pemerintah tak bertindak, justru bisa masyarakat yang bertindak mengadili. Ini kan lebih berbahaya," kata Nurcholish Madjid. Cendekiawan Islam itu berpendapat, pembredelan dalam kasus ini merupakan tindakan yang tepat dan proporsional. Meski begitu, ada juga yang melihat tindak pembredelan itu dengan lebih kritis. Ketua PB NU Abdurrahman Wahid, misalnya, menyesalkan pembatalan SIUPP Monitor. Ia menganggap itu terjadi karena Pemerintah ingin membatasi reaksi masyarakat. Maka, masyarakatlah yang disesalinya. "Kenapa mereka sampai mendorong Pemerintah membatalkan SIUPP Monitor? Bukankah Islam itu agama kasih sayang dan perdamaian, kok mereka jadikan agama marah-marah dan kebencian," katanya. Kalangan praktisi hukum seperti bekas Ketua Mahkamah Agung Oemar Senoadji, yang kini jadi pengacara, punya sikap serupa. Penyair dan dramawan W.S. Rendra pun tak setuju Monitor dibredel. Ia khawatir, kasus itu kelak akan jadi preseden, sehingga pers akan gampang dibredel dengan rupa-rupa alasan. Pukulan terhadap Arswendo seperti datang beruntun sejak heboh "Kagum 5 Juta" itu. Arswendo tiba-tiba dikucilkan oleh banyak orang. Ia tidak lagi berkawan. "Berbagai pihak untuk kepentingan politis dan keamanan, kepentingan bisnis yang telah tertanam, untuk menjaga perasaan umat beragama dan berbagai pertimbangan lainnya, cenderung memilih untuk tidak berkawan (lagi) dengan Arswendo," tulis Fachry Ali dalam surat kabar Media Indonesia terbitan 25 Oktober lalu. "Pemecatan terhadap dirinya dari berbagai posisi dan keanggotaan PWI bukan saja merefleksikan betapa kuatnya tekanan Islam terhadap krisis ini. Tetapi juga menungkapkan tindakan kolektif 'tak berkawan' terhadap seseorang yang telah melakukan deviasi dari norma-norma yang berlaku umum." Tak cukup dengan bicara, Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Bandung (KM Unisba) memprotes pembredelan itu dalam bentuk surat yang mereka kirimkan ke Departemen Penerangan. Dalam surat itu mereka meminta agar surat keputusan Menpen mencabut SIUPP Monitor dicabut. "Pembatalan SIUPP itu tak sesuai dengan iklim demokrasi yang sedang kita bangun," begitu antara lain bunyi surat bertanggal 25 Oktober 1990 itu. "Kalau salah, adili saja, jangan main cabut SIUPP. Kan ribuan mulut bisa tak makan," kata salah seorang pengurus KM Unisba, Ahmad Taufik, pada TEMPO. Begitupun, suhu tampaknya mulai mendingin. Tindakan cepat pemerintah rupanya cukup banyak berperan menggemboskan ketegangan yang terjadi. Pernyataan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, Rabu pekan lalu, patut diperhatikan. Jenderal Try mengimbau semua pihak agar dapat mengendalikan diri, jangan sampai menggoyahkan persatuan dan kesatuan nasional yang telah terbentuk. Tentang kekeliruan yang telah dilakukan Monitor, menurut Pangab, itu akan ditangani secara proporsional. "Yang penting kita harus melangkah ke depan, ke arah yang lebih positif," ujar Jenderal Try. Imbauan itu segera memperoleh sambutan. "Kami sendiri sedang sibuk berupaya agar ketenangan tercipta kembali," kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, yang selama ini sibuk berdelegasi ke Kejaksaan Agung dan Polda, menuntut Monitor ditindak. Artinya, mereka kini datang membawa air, bukan lagi bensin yang gampang membakar kemarahan. Amran Nasution, G. Sugrahetty Dyan K., Rustam F. Mandayun, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini