Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Setelah ripangi balik dari mekah

Seminar rifaiyah diselenggarakan di yogyakarta. ajaran ini juga disebut islam tarajumah. salah satu pembaruannya adalah dibolehkannya umat islam mempelajari islam langsung dari quran dan hadis.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, seorang modin (penghulu ~tingkat desa) meminta K.H. Ahmad ~Rifai memperbarui keimanannya. Sang Kiai murka. Ia perintahkan murid-muridnya memandikan modin tersebut di kolam pesantren, agar tubuh modin yang dianggapnya terkena najis itu bersih. Setelah itu, karena modin itu mengabdi kepada pemerintah Belanda, tubuhnya harus dipukuli dengan rumput alang-alang sampai berdarah. Peristiwa itu, konon, benar terjadi pada abad ke-19, di Pesantren R~ifaiyah, di daerah pantai utara Jawa Tengah, dan dikisahkan dalam Serat Cebolek yang pertama kali ditulis pada 1892. Cerita yang tak menguntungkan citra Rifaiyah itu, yang disinggung oleh Kuntowijoyo, doktor sejarah dari Fakultas Sastra UGM, dalam tulisannya di jurnal Ulumul Qur'an edisi ke-5, mendapat tanggapan para pengikut Rifaiyah. Dari situlah, sebuah seminar tentang Rifaiyah direncanakan diselenggarakan Rabu dan Kamis pekan ini, di Yogyakarta oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, bekerja sama dengan Yayasan Rifaiyah Tarajumah, Jurnal Ulumul Qur'an, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Tujuan seminar dua hari ini antara lain, untuk memperoleh kebenaran tentang Rifaiyah. Seminar yang hampir bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah itu diperkirakan menelan biaya Rp 20 juta, dan seluruhnya ditanggung oleh pihak Yayasan Rifaiyah Tarajumah. Direncanakan hadir sekitar 250 pengikut Rifaiyah di Jawa, 300 undangan dari jurusan sejarah di universitas di seluruh Indonesia, dan pengikut Rifaiyah yang ada di Maluku. Memang sebuah seminar besar. Rifaiyah? Jauh kalah populer dengan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama atau Serikat Islam. Tapi, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo - salah seorang pembicara dalam seminar tentang Rifaiyah sebenarnya Rifaiyah lebih radikal. Tapi karena sifatnya yang tradisional, dan caranya yang kurang taktis, mengundang reaksi keras pihak penjajah Belanda, hingga Rifaiyah, meski bertahan hidup, tak sampai meluas. Sebelum berkembang pesat, pemimpinnya ditangkap dan diasingkan ke Maluku - itu sebabnya di Maluku pun ada pengikutnya. Munculnya Rifaiyah pada awal abad ke-19 memang berkaitan erat dengan suasana Islam di Jawa Tengah kala itu. Dalam sejumlah studi, misalnya seperti yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, waktu itu Islam di Jawa dinilai mundur, tenggelam dalam suasana muram dan beku, dan banyak menyimpang dari Quran dan hadis. Maka, ketika Ahmad Rifai - anak bungsu dari delapan bersaudara dari seorang penghulu Kendal, Jawa Tengah, yang nama aslinya Ahmad Ripangi - kembali dari belajar delapan tahun di Mekah, ia begitu prihatin. Ia, yang lahir pada 1786, kemudian mendirikan pesantren, dan mengajarkan Islam yang berdisiplin ketat pada Quran dan hadis. Tentu saja, sikap keislaman Rifai dan pesantrennya yang kemudian dikenal dengan nama Rifaiyah justru dianggap menyebal oleh kalangan Islam umumnya waktu itu. Menurut Adaby Draban - salah seorang pembicara dalam seminar yang pernah meneliti Rifaiyah empat tahun lalu - salah satu pembaruan yang dilakukan Ahmad Rifai adalah dibolehkannya umat Islam siapa saja dia, untuk mempelajari Islam langsung dari sumbernya, yakni Quran dan hadis. Ini jelas suatu kebijaksanaan yang mengundang banyak musuh, mengingat waktu itu tabu hukumnya bagi orang Islam yang awam mempelajari Islam langsung dari sumbernya. Hanya para ulamalah yang punya hak mempelajari Islam secara langsung. Waktu itu disadari benar oleh kiai yang terpengaruh wahabi yang berkembang di Arab Saudi itu, kebanyakan umat Islam tak bisa membaca dan berbahasa Arab. Maka, ia pun menggunakan waktunya menerjemahkan Quran dan hadis ke dalam bahasa Jawa. Selain menyajikan terjemahan yang bisa dipelajari oleh siapa saja, hingga orang tak hanya mengikut secara buta pada para ulama, buku-buku terjemahan Rifai menjadi semacam propaganda bagi mereka yang tertarik untuk bergabung dengan Rifaiyah. Murid-muridnya yang sudah dipercayalah yang menyalin karya terjemahan Rifaiyah yang ditulis dalam huruf Arab itu, dan kemudian menyebarluaskannya. Karena ini, ajaran Rifaiyah juga disebut Islam Tarajumah - nama yang kini menjadi nama yayasan yang mengelola organisasi Rifaiyah. Sudah barang tentu para ulama yang sudah terlebih dahulu punya pengaruh tak senang dengan kehadiran kiai radikal ini. Para ulama setempatlah yang mula-mula menentangnya. Bila kemudian para ulama penentang ini begitu kuat, karena kemudian para pejabat dan penjajah Belanda mendukung penentangan itu. Memang, K.H. Ahmad Rifai tak tedeng alin~g-alin~g. Ia tak cuma bergerak di "dalam" agama, tapi kemudian juga memberi komentar terhadap masalah sosial. Sebab, K.H. Ahmad Rifai pun melihat masalah kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Jawa, yang menurut pikirannya disebabkan oleh penjajah Belanda. Mungkin ini dikarenakan pengaruh radikal wahabi yang waktu itu sedang gencar melawan penjajah Turki. Itulah, kitab-kitabnya tak hanya berisi ajaran agama, tapi di sana-sini juga diselipkan tulisan tentang pemimpin yang alim dan adil. Ahmad Rifai, tanpa memperhitungkan akibatnya bagi diri dan pesantrennya, menilai pelaksanaan hukum Islam, yang dilakukan oleh orang-orang yang diragukan keislamannya, sebagai tindakan haram. Maka, pernikahan yang dilakukan oleh penghulu adalah haram karena para penghulu dinilainya tidak alim dan tidak adil. Sebab, mereka mendapat gaji dari penjajah yang kafir. Masjid-masjid pemerintahan yang dibiayai oleh Belanda dan kaki tangannya dicapnya haram. Walhasil, tanpa disadari, Rifaiyah bersinggungan dengan dunia politik. Gerakan ini, dalam penilaian Sartono Kartodirdjo menjadi potensial untuk menyulut perlawanan terhadap penjajah, yakni Belanda. Dan memang kemudian, pihak Belanda melihat K.H. Ahmad Rifai sebagai penentang ketenteraman umum. Makin banyak pengikutnya, itu berarti makin banyak orang yang tidak taat pada peraturan pemerintah kolonial. Memang yang pertama-tam bereaksi adalah kaum ulama, yang merasa hak istimewanya dicampakkan. Haji Pinang, penghulu Batang, kota 12 km di timur Pekalongan, mengusulkan diadakan perdebatan terbuka untuk menjernihkan ajaran Islam yang "dicemari" oleh Kiai Ahmad Rifai. Langsung, gagasan ini disetujui oleh Bupati Pekalongan Raden Tumenggung Wirjadinegoro, yang juga merasa tak tenteram dengan ulah anak Kendal itu. Maka, di suatu malam Jumat, di serambi Kabupaten Pekalongan, pada abad ke-19 sebuah diskusi keagamaan yang keras berlangsung. Dalam perdebatan yang disaksikan oleh para khatib, modin, santri, dan para priayi, Ahmad Rifai ditantang untuk menjelaskan, mengapa ia menilai salat Jumat di masjid Pekalongan, atau masjid pemerintah lainnya, haram. Ulama pembaru ini didesak terus, karena alasan-alasan keagamaannya dianggap tak memuaskan. Maka, Kiai Ahmad Rifai pun akhirnya menjelaskan, karena imam dan khotib masjid-masjid itu digaji oleh Belanda, kaum kafir, maka salat di situ tak sah. Jawaban ini dianggap lucu oleh sebagian besar hadirin. Haji Pinang dan pengunjung tertawa dengan riuhnya. Diskusi ini sekaligus merupakan pengadilan terhadap Haji Rifai, karena acara itu dipimpin oleh ketua Landraad (pengadilan negeri) Pekalongan. Mu~syawarah memutuskan, antara lain, Haji Rifai diharuskan memperbarui kembali keimanannya den~gan mengucapkan syahadat. Dan ia harus melakukan salat Jumat di masjid Pekalongan. Terakhir, ia harus mengajukan permohonan ampunan dari pemerintah Belanda. Tak jelas, adakah Kiai Haji Ahmad Rifai menjalani hukuman itu. Yang pasti, Residen Pekalongan merasa tak cukup dengan hukuman tersebut. Ia lalu minta pada A.J. Duymaer van Twist Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1851-1856, agar mengasingkan Haji Ahmad Rifai. Tapi permintaan ini ditolak oleh Duymaer van Twist, dengan alasan tuduhan tarhadap Ahmad Rifai tidak cukup kuat. Permintaan seperti ini dilakukan berulang kali oleh Residen Pekalongan dan juga Bupati Batang. Baru, pada masa Gubernur Pahud pada 1859, dengan alasan bahwa Ahmad Rifai tidak taat lagi pada kepala pribumi yang diangkat atas nama raja Belanda, dan ini dianggap sebagai "bahaya politik", kiai pembaru itu ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Meski K.H. Ahmad Rifai, yang sudah sempat menyelesaikan 53 buah kitab terjemahan, tak sempat lagi menengok pesantrennya, ia tetap berhubungan dengan para pengikutnya di Jawa Tengah. Ia meneruskan ajarannya, berdiskusi lewat surat dengan santri-santrinya. Sementara itu, melihat kerasnya reaksi terhadap Rifaiyah, para santri pesantrennya menyurutkan sikap sosial-politik Rifaiyah hanya menjadi gerakan pendidikan Islam (pada 1959 pesantren Rifaiyah membuka madrasahnya yang pertama). Dengan cara itulah tampaknya, meski Rifaiyah tak berkembang, tetap bisa bertahan hidup. Sifat itu, berkompromi dengan lingkungan, melekat terus sampai sekarang. Itu pula yang menyebabkan kelompok-kelompok Rifaiyah, meski tetap menganut ajaran pendirinya, bersifat berbeda-beda. Di daerah-daerah yang Nahdlatul Ulamanya kuat, misalnya, Rifaiyah bergabung dengan NU itu. Demikian pula bila di situ Muhammadiyah yang kuat. Tak heran, ketika pada awal 1970-an Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang besar, banyak kelompok Rifaiyah bergabung dengan Golkar. Menurut Ahmad Syadzairin Amin, pimpinan pondok pesantren Insap - pondok di Dukuh Paesan, Pekalongan, yang meneruskan ajaran Rifaiyah - pengikut Rifaiyah sekarang sekitar tiga juta, tersebar hampir di tiga ratus desa di Jawa. Sekilas para Rifaiyah tak berbeda dengan para pengikut pesantren-pesantren yang lain: laki-lakinya bercelana panjang dan berpeci, sedangkan wanitanya berjilbab dan memakai rok panjang. Tapi di rumah-rumah mereka ada satu hal yang mencolok. Yakni, di rumah itu tidak satu pun gambar atau foto menghiasi dinding, kecuali hiasan kaligrafi Arab berupa ayat-ayat Quran. Adapun ajaran khasnya, antara lain soal jumlah malaikat. Umumnya Islam di Jawa mempercayai adanya 10 malaikat. K.H. Ahmad Rifai menambahkan dua malaikat. Yakni Malaikat Sayyiah dan Malaikat Hasanah. Sang Kiai juga memperinci, bahwa kitab keagamaan yang diturunkan Tuhan lebih dari empat. Dalam ajaran K.H. Ahmad Rifai, Tuhan menurunkan 104 kitab kepada delapan nabi. Soal malaikat dan kitab itu memang ta~k menimbulkan pertentangan tajam dengan ulama lain. Yang dulu menjadi masalah gawat antara K.H. Rifai dan ulama lain karena ajarannya yang menambahkan rukun iman yang lain selain rukun iman yang enam. Bila kini muncul kesadaran dalam diri umat Islam bahwa perbedaan yang tak prinsip dilupakan, agar persatuan umat terpelihara, tampaknya Rifaiyah akan kembali disebut-sebut. Julizar Kasiri, R. Fadjri, Bandelan Amaruddin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus