Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sketsa sederhana sebuah kota

Pergantian Gubernur Dki. Jakarta, dari Tjokropranolo ke R. Soeprapto. (nas)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA punya gubernur baru. Rabu ini R. Suprapto dilantik menggantikan Tjokropranolo. Banyak yang, karena melihat "kelambanan" gubernur lama, yang gembira. Tapi tak sedikit yang lemas. Terutama tukang becak yang, di bawah Tjokropranolo, menikmati keleluasaan beroperasi "Pak Tjokro diganti? Waduh, gimana nasih kita nanti, kalau gubernur baru enggak memperhatiin tukang becak?" tanya seorang Sarwo. Sarwo, bapak dari tiga orang anak ini mulai menarik becak sejak 1971. "Penghasilan saya lebih banyak waktu Pak Tjokro jadi gubernur. Satu hari bisa dapat Rp 3.000 atau Rp 3.500. Waktu zamannya Bang Ali, paling dapat cuma Rp 2.000," kata Sarwo (yang tak tahu arti inflasi) yang sehari-hari mendayung becak di kawasan Bungur, Kepu dan Kali Baru Timur, Jakarta Pusat. Tapi pergantian gubernur bukan cuma masalah Sarwo. Terutama adalah masalah Suprapto. Gubernur haru akan berhadapan dengan ribuan masalah, kepusingan dan tantangan. Sebagai pengelola sekitar 6,5 juta penduduk Jakarta, Suprapto diharapkan akan mampu memimpin mereka dan menangani serta memecahkan berbagai permasalahannya. Dan ia akan disorot. Masyarakat Indonesia akan mengikuti langkahnya -- karena Jakarta adalah sang ibukota. Suprapto juga akan selalu dibandingkan dengan para gubernur terdahulu. Bayangan Ali Sadikin dan Tjokropranolo akan terus mengikutinya selama 5 tahun masa jabatannya. Tampaknya Suprapto menyadari ini. Itu terlihat pada kehati-hatiannya tatkala diwawancarai TEMPO pekan lalu. (Lihat: Wawancara). Berkali-kali ia menekankan bahwa yang dikemukakannya adalah pokok-pokok pikiran yang mungkin akan dilakukannya dalam menjalankan tugas, yang masih harus diuji. "Dan belum semua hal dikaji dengan pihak ang akan saya masuki," katanya. Ada satu keuntungan Suprapto. Sebagai Sekjen Depdagri selama 6 tahun terakhir, ia dapat memanfaatkan kekayaan pengalamannya mengikuti semua masalah yang ditangani departemen tersebut, termasuk bidang perkembangan perkotaan. Suprapto dikenal sebagai seorang administrator. Dari dia mungkin sekali tidak akan muncul kejutan atau ledakan gaya Ali Sadikin. Ia menjanjikan tidak akan membongkar atau mengobrak-abrik aparat Pemda DKI, sekalipun 'yang bengkok akan diluruskan". Prinsip yang dipegangnya: siapa pun bisa dipakai. Meski alatnya tidak baik, tapi kalau menggunakannya secara benar, lama-lama kan baik juga," ujarnya. Kemudian ditambahkannya, "Tidak ada prajurit yang jelek, yang jelek adalah pimpinannya". Ia juga mengaku tidak melihat kesulitan dalam menangani masalah Jakarta. "Semuanya sederhana, sepanjang kita berpikir logis, menangkap masalahnya jalan kemudian memecahkannya". Masalah Jakarta, menurut Suprapto, sudah diketahui. "Peraturan sudah ada, sarana juga ada. Sekarang tinggal bagaimana menggunakan sarana itu," ucapnya pekan lalu. Buat sementara orang permasalahan yang dihadapi Jakarta mungkin sepele atau sederhana. Namun sebaglan besar agaknya menilainya ruwet dan menggunung, karena pertumbuhan Jakarta yang begitu cepat. Masalah tenaga kerja misalnya. Dalam 10 tahun tcrakhir ini angkatan kerja naik lebih 2% tiap tahun dan pada 1980 mencapa. hampir 1,6 juta. Sebagian besar dari mereka tidak bersekolah (17%), tidak tamat Sekolah Dasar (17%) atau hanya tamatan SD (24%). Sebagian besar pendapatan mereka kurang dari Rp 25.000 per bulan (42%), sedang yang di atas Rp 100.000 cuma 6%. Bagaimana cara mengangkat nasib mereka yang berpenghasilan rendah ini agar jurang kekayaan bisa dipersempit? Di bidang transportasi, pertambahan jalan yang cuma 4% setahun tidak bisa mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan yang 15%. Pengoperasian bis kota Patas (cepat terbatas) yang diharapkan akan bisa menyedot mereka yang berkendaraan pribadi, belum kelihatan berhasil. Masalah sampah juga tetap memunkan. Dari produksi sampah penduauk Jakarta yang ditaksir sekitar 17 ribu m3 tiap hari, hanya 13.500 m3 yang bisa diangkut Dinas Kebersihan. Penyerobotan tanah secara liar menunjukkan kecenderungan meningkat. ada 1980 hanya hampir 170 kasus ang dilaporkan. Pada 1981 meningkat menjadi lebih dua kali lipat, dan pada 7 bulan pertama 1982 tercatat hampir 50 pengaduan. Penyerobotan ini merupakan 70% dari sengketa tanah yang tercatat, sedang 10% sengketa akibat pembebasan tanah untuk pembangunan. Gangguan keamanan di Jakarta juga mencemaskan. Pada 1973 tercatat hampir 18 ribu kejahatan yang dilaporkan ke Kodak Metro Jaya. Angka ini pada 191 naik dengan 22% menjadi lebih 23 ribu. Toh semua itu tidak bisa dianggap kesalahan Tjokropranolo. Di zaman dia Jakarta tidak berarti tanpa kemajuan. Tjokro ternyata mendapat tempat di kaki tangan rakyat kecil Jakarta. "Pak Tjokro lain sama Bang Ali. Dia lebih memperhatikan nasib kita-kita ini pedagang kecil. Dia ngasih kita kesempatan buat jualan dengan tenang," kata Soleh, penjual rokok di depan bioskop Senen. Pembinaan industri kecil di Jakarta memperoleh perhatian khusus Tjokropranolo. Ia mendirikan Perkampungan Industri Kecil di Pulogadung yang menampung 2.000 unit serta Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK)--juga di Pulogadung yang menampung 100 unit kegiatan usaha kecil. Ia bahkan membangun flat di Tebet, dengan bantuan dana dari Presiden, yang bisa digunakan 64 unit usaha. Bantuan mesin untuk industri kecil mencapai ratusan buah, sedang yang berupa modal mencapai Rp 1 milyar. Di zaman Gubernur Tjokropranolo juga keluar peraturan bahwa swasta yang membangun perpasaran atau pertokoan harus menyediakan 20% ruangannya untuk pengusaha pribumi dan golongan ekonomi lemah yang diatur pemerintah DKI. Mungkin karena itu banyak yang menganggap Tjokropranolo terlalu memanjakan pedagang kaki-lima. Dalam masa Jabatannya ia memang menetapkan 425 lokasi yang menampung lebih 46 ribu pedagang. Pembinaan yang telah dilakukan pada mereka adalah dengan memberi penyuluhan pada 3.000 pedagang. Sekitar 1.000 pedagang telah menerima sekitar Rp 132 juta pinjaman modal. Simpati Tjokropranolo pada pedagang kecil jelas terlihat dalam pembangunan Pasar Tanah Abang. Ada hampir 1.000 kios yang disediakan buat mereka, termasuk yang ditampung di pelataran gang-gang pasar tersebut. Cukup banyak yang kemudian mengkritik kebijaksanaan itu: persyaratan keamanan pasar, misalnya dari bahaya kebakaran, tidak terpenuhi. Kritik lain: Tjokropranolo dianggap kurang tegas dalam melaksanakan peraturan daerah yang mengatur pedagang kaki-lima, hingga mereka meluap ke luar jalur yang ditentukan, malah terkadang menyita sebagian jalan. Sedang aparat keamanan membiarkan mereka, bahkan konon berkongkalikong dengan memberitahu rencana razia, dengan imbalan tertentu tentunya. Akibatnya: kesemrawutan dan kemacetan lalu-lintas. Hingga timbul penilaian: Tjokropranolo kurang berhasil memecahkan masalah-masalah Jakarta yang besar dan mendasar, seperti pemukiman, transportasi, ketertiban, dan kesempatan kerja. "Dia hanya menangani yang kecil-kecil. Selama 5 tahun, beliau hanya berliku-liku di situ," kata Parulian Silalahi, yang selama 11 tahun menjadi anggota DPRD DKI Jaya, dan kini "naik" sebagai anggota DPR dari fraksi PDI. Mau tidak mau, orang membandingkan "kelambanan" dan "kerakyatan" Tjokropranolo dengan "ketegasan" Ali Sadikin. "Disiplin unsur Pemda dan masyarakat Jakarta sendiri mengendur, tidakieperti kepemimpinan sebelumnya," seorang karyawan Pemda DKI mengakui. Bang Nolly juga dinilai kurang konsisten dalam pelaksanaan Perda No. 3/1972 tentang ketertiban umum misalnya. Dalam peraturan ini antara lain ditegaskan adanya denda Rp 50.000 terhadap mereka yang membuang sampah seenaknya. "Waktu pertama digalakkan kembali tahun lalu, kami mengerahkan 2.600 orang pengawas. Kini cuma ada 5 orang tenaga pengawas di tiap kecamatan," cerita seorang pejabat DKI. Suatu penurunan yang drastis, mengingat di Jakarta ada 30 kecamatan. Ada juga yang menunjuk Siapda (sisa anggaran pembangunan daerah) DKI Jaya yang terus membengkak sebagai bukti lain "kelambanan" Gubernur Tjokropranolo. Pada 1977/1978 angka Siapda 14,5%, pada 1980/1981 angka itu jadi hampir 20% dan naik pula menjadi 24% pada 1981/1982. Namun ada yang membantah anggapan itu. Alasannya: SIAP adalah anggaran yang tak terserap kemudian dimasukkan dalam anggaran berikutnya dan itu suatu hal yang wajar. "SIAP bukan suatu yang haram atau dosa besar karena merupakan suatu sistem transisi dalam anggaran," kata seorang pejabat teras DKI yang tak bersedia disebut namanya. Pak Tjokro, orang yang dikenal "suka sosial" itu, memang bukannya tanpa pembela. Bagaimana dengan langkah Gubernur Suprato? Kebijaksanaan dasar yang akan dipegangnya: keterbukaan, refungsionalisasi aparatur, ketegasan bila memang diperlukan, menumbuhkan kembali disiplin aparatur dan masyarakat tampaknya menjanjikan suatu harapan baik. Dalam refungsionalisasi aparatur misalnya, Suprapto ingin menghidupkan kembali Muspida yang di Jakarta memang lama tak terdengar kegiatannya. "Memang masing-masing bergerak, tapi masalahnya adalah: bagaimana koordinasinya, hingga masing-masing melihat dari kacamata yang sama dan mencari pemecahan yang sinkron," katanya. Banyak gagasan Suprapto yang tampaknya sederhana. Dalam masalah anggaran dan usaha peningkatan pendapatan pemda, ia merencanakan untuk mengintensifkan pungutan pajak. "Kalau kita makan di restoran, pajaknya jelas. Tapi bagaimana kalau kita misalnya makan sop di pinggir jalan?" tanyanya. Begitu juga di bidang pungutan parkir kendaraan. Intensifikasi pajak ini, menurut dia, perlu dibarengi dengan usaha mendisiplinkan masyarakat dan menumbuhkan kesadaran mereka. Tentu saja gagasan ini baik, dan sudah dicoba juga oleh para gubernur sebelumnya, walau belum begitu berhasil. Suprapto juga bertekad mengakhiri sistem "katabelece" yang masih subur dalam lingkungan Pemda DKI. "Semua harus sesuai dengan aturan. Para kontraktor otomatis akan diseleksi. Kontraktor yang aktentas pasti akan terbentur sendiri, " tegasnya pada TEMPO. Di bidang budaya, Suprapto yang mengaku jarang mengunjungi TIM (Taman Ismail Marzuki), menganggap pusat kesenian seperti itu perlu dibantu dan dibina. Pertanyaannya tentang lenong "Mengapa temanya selalu begitu-begitu: cekcok soal perempuan, atau adegan nongkrong di warung? Bagaimana mengembangkannya, hingga ada kreasi baru? ". Semua warga Jakarta kini menunggu langkah gubernur baru. Ada yang dag-dig-dug, banyak yang penuh harapan. "Doa saya cuma agar gubernur baru nanti juga memperhatikan nasib kita seperti Pak Tjokro," kata Sarmin, pengrajin kompor dari Kemayoran dengan tulus. Mereka yang mengenal Suprapto, dan mengikuti karirnya, tampaknya percaya dia akan bisa menjalankan tugasnya dengan efektif. Bekas Gubernur Ali Sadikin kabarnya, dalam suatu percakapan pribadi, menganggap, "Dia orang baik". Suprapto sendiri mengambil sikap rendah. Figur yang dicontohnya rupanya Semar. "Saya tidak akan bisa melaksanakan sendiri semua tugas. Itu tergantung pada seberapa jauh pola kebijaksanaan saya nanti bisa dicerna dan dilaksanakan aparatur yang ada dan keikutsertaan masyarakat ujarnya. Mungkin kerendahan hati ini juga yang membuatnya was-was pekan lalu Hampir tengah malam Rabu pekan lalu seisi rumahnya yang terletak di jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, kaget tatkala mendengar suara gemuruh dari arah jalan. Ketika ditengok, ternyata belum pada anggota DLLAJR DKI Jaya terlihat merobohkan halte bis yang terletak muka rumah. Rupanya para petugas itu atas prakarsa sendiri, merasa tak pantas bila ada halte bis berdiri di depan rumah gubernur. Suprapto dan Nyonya malahan mera sa khawatir. "Jangan-jangan orang mengira halte itu dipindah atas permintaan saya, lalu mereka akan menganggap kamu sok," katanya. Apakah ia akan memerintahkan halte itu didirikan lagi? "Wong sudah telanjur ya sudahlah," jawab Suprapto tenang. Tapi nampaknya ia tak mau ada perla kuan istimewa bagi dirinya, alias penjilatan. Dan itu modal yang tak sepele. Selamat bekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus