JAKARTA punya gubernur baru. Rabu ini R. Suprapto dilantik
menggantikan Tjokropranolo. Banyak yang, karena melihat
"kelambanan" gubernur lama, yang gembira. Tapi tak sedikit yang
lemas. Terutama tukang becak yang, di bawah Tjokropranolo,
menikmati keleluasaan beroperasi "Pak Tjokro diganti? Waduh,
gimana nasih kita nanti, kalau gubernur baru enggak memperhatiin
tukang becak?" tanya seorang Sarwo.
Sarwo, bapak dari tiga orang anak ini mulai menarik becak sejak
1971. "Penghasilan saya lebih banyak waktu Pak Tjokro jadi
gubernur. Satu hari bisa dapat Rp 3.000 atau Rp 3.500. Waktu
zamannya Bang Ali, paling dapat cuma Rp 2.000," kata Sarwo (yang
tak tahu arti inflasi) yang sehari-hari mendayung becak di
kawasan Bungur, Kepu dan Kali Baru Timur, Jakarta Pusat.
Tapi pergantian gubernur bukan cuma masalah Sarwo. Terutama
adalah masalah Suprapto. Gubernur haru akan berhadapan dengan
ribuan masalah, kepusingan dan tantangan.
Sebagai pengelola sekitar 6,5 juta penduduk Jakarta, Suprapto
diharapkan akan mampu memimpin mereka dan menangani serta
memecahkan berbagai permasalahannya. Dan ia akan disorot.
Masyarakat Indonesia akan mengikuti langkahnya -- karena Jakarta
adalah sang ibukota.
Suprapto juga akan selalu dibandingkan dengan para gubernur
terdahulu. Bayangan Ali Sadikin dan Tjokropranolo akan terus
mengikutinya selama 5 tahun masa jabatannya.
Tampaknya Suprapto menyadari ini. Itu terlihat pada
kehati-hatiannya tatkala diwawancarai TEMPO pekan lalu. (Lihat:
Wawancara). Berkali-kali ia menekankan bahwa yang dikemukakannya
adalah pokok-pokok pikiran yang mungkin akan dilakukannya dalam
menjalankan tugas, yang masih harus diuji. "Dan belum semua hal
dikaji dengan pihak ang akan saya masuki," katanya.
Ada satu keuntungan Suprapto. Sebagai Sekjen Depdagri selama 6
tahun terakhir, ia dapat memanfaatkan kekayaan pengalamannya
mengikuti semua masalah yang ditangani departemen tersebut,
termasuk bidang perkembangan perkotaan.
Suprapto dikenal sebagai seorang administrator. Dari dia mungkin
sekali tidak akan muncul kejutan atau ledakan gaya Ali Sadikin.
Ia menjanjikan tidak akan membongkar atau mengobrak-abrik aparat
Pemda DKI, sekalipun 'yang bengkok akan diluruskan". Prinsip
yang dipegangnya: siapa pun bisa dipakai. Meski alatnya tidak
baik, tapi kalau menggunakannya secara benar, lama-lama kan baik
juga," ujarnya. Kemudian ditambahkannya, "Tidak ada prajurit
yang jelek, yang jelek adalah pimpinannya".
Ia juga mengaku tidak melihat kesulitan dalam menangani masalah
Jakarta. "Semuanya sederhana, sepanjang kita berpikir logis,
menangkap masalahnya jalan kemudian memecahkannya". Masalah
Jakarta, menurut Suprapto, sudah diketahui. "Peraturan sudah
ada, sarana juga ada. Sekarang tinggal bagaimana menggunakan
sarana itu," ucapnya pekan lalu.
Buat sementara orang permasalahan yang dihadapi Jakarta mungkin
sepele atau sederhana. Namun sebaglan besar agaknya menilainya
ruwet dan menggunung, karena pertumbuhan Jakarta yang begitu
cepat.
Masalah tenaga kerja misalnya. Dalam 10 tahun tcrakhir ini
angkatan kerja naik lebih 2% tiap tahun dan pada 1980 mencapa.
hampir 1,6 juta. Sebagian besar dari mereka tidak bersekolah
(17%), tidak tamat Sekolah Dasar (17%) atau hanya tamatan SD
(24%). Sebagian besar pendapatan mereka kurang dari Rp 25.000
per bulan (42%), sedang yang di atas Rp 100.000 cuma 6%.
Bagaimana cara mengangkat nasib mereka yang berpenghasilan
rendah ini agar jurang kekayaan bisa dipersempit?
Di bidang transportasi, pertambahan jalan yang cuma 4% setahun
tidak bisa mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan yang 15%.
Pengoperasian bis kota Patas (cepat terbatas) yang diharapkan
akan bisa menyedot mereka yang berkendaraan pribadi, belum
kelihatan berhasil.
Masalah sampah juga tetap memunkan. Dari produksi sampah
penduauk Jakarta yang ditaksir sekitar 17 ribu m3 tiap hari,
hanya 13.500 m3 yang bisa diangkut Dinas Kebersihan.
Penyerobotan tanah secara liar menunjukkan kecenderungan
meningkat. ada 1980 hanya hampir 170 kasus ang dilaporkan.
Pada 1981 meningkat menjadi lebih dua kali lipat, dan pada 7
bulan pertama 1982 tercatat hampir 50 pengaduan. Penyerobotan
ini merupakan 70% dari sengketa tanah yang tercatat, sedang 10%
sengketa akibat pembebasan tanah untuk pembangunan.
Gangguan keamanan di Jakarta juga mencemaskan. Pada 1973
tercatat hampir 18 ribu kejahatan yang dilaporkan ke Kodak
Metro Jaya. Angka ini pada 191 naik dengan 22% menjadi lebih 23
ribu.
Toh semua itu tidak bisa dianggap kesalahan Tjokropranolo. Di
zaman dia Jakarta tidak berarti tanpa kemajuan. Tjokro ternyata
mendapat tempat di kaki tangan rakyat kecil Jakarta. "Pak Tjokro
lain sama Bang Ali. Dia lebih memperhatikan nasib kita-kita ini
pedagang kecil. Dia ngasih kita kesempatan buat jualan dengan
tenang," kata Soleh, penjual rokok di depan bioskop Senen.
Pembinaan industri kecil di Jakarta memperoleh perhatian khusus
Tjokropranolo. Ia mendirikan Perkampungan Industri Kecil di
Pulogadung yang menampung 2.000 unit serta Sarana Usaha Industri
Kecil (SUIK)--juga di Pulogadung yang menampung 100 unit
kegiatan usaha kecil. Ia bahkan membangun flat di Tebet, dengan
bantuan dana dari Presiden, yang bisa digunakan 64 unit usaha.
Bantuan mesin untuk industri kecil mencapai ratusan buah, sedang
yang berupa modal mencapai Rp 1 milyar. Di zaman Gubernur
Tjokropranolo juga keluar peraturan bahwa swasta yang membangun
perpasaran atau pertokoan harus menyediakan 20% ruangannya untuk
pengusaha pribumi dan golongan ekonomi lemah yang diatur
pemerintah DKI.
Mungkin karena itu banyak yang menganggap Tjokropranolo terlalu
memanjakan pedagang kaki-lima. Dalam masa Jabatannya ia memang
menetapkan 425 lokasi yang menampung lebih 46 ribu pedagang.
Pembinaan yang telah dilakukan pada mereka adalah dengan memberi
penyuluhan pada 3.000 pedagang. Sekitar 1.000 pedagang telah
menerima sekitar Rp 132 juta pinjaman modal.
Simpati Tjokropranolo pada pedagang kecil jelas terlihat dalam
pembangunan Pasar Tanah Abang. Ada hampir 1.000 kios yang
disediakan buat mereka, termasuk yang ditampung di pelataran
gang-gang pasar tersebut. Cukup banyak yang kemudian mengkritik
kebijaksanaan itu: persyaratan keamanan pasar, misalnya dari
bahaya kebakaran, tidak terpenuhi.
Kritik lain: Tjokropranolo dianggap kurang tegas dalam
melaksanakan peraturan daerah yang mengatur pedagang kaki-lima,
hingga mereka meluap ke luar jalur yang ditentukan, malah
terkadang menyita sebagian jalan. Sedang aparat keamanan
membiarkan mereka, bahkan konon berkongkalikong dengan
memberitahu rencana razia, dengan imbalan tertentu tentunya.
Akibatnya: kesemrawutan dan kemacetan lalu-lintas.
Hingga timbul penilaian: Tjokropranolo kurang berhasil
memecahkan masalah-masalah Jakarta yang besar dan mendasar,
seperti pemukiman, transportasi, ketertiban, dan kesempatan
kerja. "Dia hanya menangani yang kecil-kecil. Selama 5 tahun,
beliau hanya berliku-liku di situ," kata Parulian Silalahi, yang
selama 11 tahun menjadi anggota DPRD DKI Jaya, dan kini "naik"
sebagai anggota DPR dari fraksi PDI.
Mau tidak mau, orang membandingkan "kelambanan" dan "kerakyatan"
Tjokropranolo dengan "ketegasan" Ali Sadikin. "Disiplin unsur
Pemda dan masyarakat Jakarta sendiri mengendur, tidakieperti
kepemimpinan sebelumnya," seorang karyawan Pemda DKI mengakui.
Bang Nolly juga dinilai kurang konsisten dalam pelaksanaan Perda
No. 3/1972 tentang ketertiban umum misalnya. Dalam peraturan ini
antara lain ditegaskan adanya denda Rp 50.000 terhadap mereka
yang membuang sampah seenaknya. "Waktu pertama digalakkan
kembali tahun lalu, kami mengerahkan 2.600 orang pengawas. Kini
cuma ada 5 orang tenaga pengawas di tiap kecamatan," cerita
seorang pejabat DKI. Suatu penurunan yang drastis, mengingat di
Jakarta ada 30 kecamatan.
Ada juga yang menunjuk Siapda (sisa anggaran pembangunan daerah)
DKI Jaya yang terus membengkak sebagai bukti lain "kelambanan"
Gubernur Tjokropranolo. Pada 1977/1978 angka Siapda 14,5%, pada
1980/1981 angka itu jadi hampir 20% dan naik pula menjadi 24%
pada 1981/1982.
Namun ada yang membantah anggapan itu. Alasannya: SIAP adalah
anggaran yang tak terserap kemudian dimasukkan dalam anggaran
berikutnya dan itu suatu hal yang wajar. "SIAP bukan suatu yang
haram atau dosa besar karena merupakan suatu sistem transisi
dalam anggaran," kata seorang pejabat teras DKI yang tak
bersedia disebut namanya. Pak Tjokro, orang yang dikenal "suka
sosial" itu, memang bukannya tanpa pembela.
Bagaimana dengan langkah Gubernur Suprato? Kebijaksanaan dasar
yang akan dipegangnya: keterbukaan, refungsionalisasi aparatur,
ketegasan bila memang diperlukan, menumbuhkan kembali disiplin
aparatur dan masyarakat tampaknya menjanjikan suatu harapan
baik.
Dalam refungsionalisasi aparatur misalnya, Suprapto ingin
menghidupkan kembali Muspida yang di Jakarta memang lama tak
terdengar kegiatannya. "Memang masing-masing bergerak, tapi
masalahnya adalah: bagaimana koordinasinya, hingga masing-masing
melihat dari kacamata yang sama dan mencari pemecahan yang
sinkron," katanya.
Banyak gagasan Suprapto yang tampaknya sederhana. Dalam masalah
anggaran dan usaha peningkatan pendapatan pemda, ia merencanakan
untuk mengintensifkan pungutan pajak. "Kalau kita makan di
restoran, pajaknya jelas. Tapi bagaimana kalau kita misalnya
makan sop di pinggir jalan?" tanyanya.
Begitu juga di bidang pungutan parkir kendaraan. Intensifikasi
pajak ini, menurut dia, perlu dibarengi dengan usaha
mendisiplinkan masyarakat dan menumbuhkan kesadaran mereka.
Tentu saja gagasan ini baik, dan sudah dicoba juga oleh para
gubernur sebelumnya, walau belum begitu berhasil.
Suprapto juga bertekad mengakhiri sistem "katabelece" yang masih
subur dalam lingkungan Pemda DKI. "Semua harus sesuai dengan
aturan. Para kontraktor otomatis akan diseleksi. Kontraktor yang
aktentas pasti akan terbentur sendiri, " tegasnya pada TEMPO.
Di bidang budaya, Suprapto yang mengaku jarang mengunjungi TIM
(Taman Ismail Marzuki), menganggap pusat kesenian seperti itu
perlu dibantu dan dibina. Pertanyaannya tentang lenong "Mengapa
temanya selalu begitu-begitu: cekcok soal perempuan, atau adegan
nongkrong di warung? Bagaimana mengembangkannya, hingga ada
kreasi baru? ".
Semua warga Jakarta kini menunggu langkah gubernur baru. Ada
yang dag-dig-dug, banyak yang penuh harapan. "Doa saya cuma agar
gubernur baru nanti juga memperhatikan nasib kita seperti Pak
Tjokro," kata Sarmin, pengrajin kompor dari Kemayoran dengan
tulus.
Mereka yang mengenal Suprapto, dan mengikuti karirnya, tampaknya
percaya dia akan bisa menjalankan tugasnya dengan efektif. Bekas
Gubernur Ali Sadikin kabarnya, dalam suatu percakapan pribadi,
menganggap, "Dia orang baik".
Suprapto sendiri mengambil sikap rendah. Figur yang dicontohnya
rupanya Semar. "Saya tidak akan bisa melaksanakan sendiri semua
tugas. Itu tergantung pada seberapa jauh pola kebijaksanaan saya
nanti bisa dicerna dan dilaksanakan aparatur yang ada dan
keikutsertaan masyarakat ujarnya.
Mungkin kerendahan hati ini juga yang membuatnya was-was pekan
lalu Hampir tengah malam Rabu pekan lalu seisi rumahnya yang
terletak di jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, kaget tatkala
mendengar suara gemuruh dari arah jalan. Ketika ditengok,
ternyata belum pada anggota DLLAJR DKI Jaya terlihat merobohkan
halte bis yang terletak muka rumah. Rupanya para petugas itu
atas prakarsa sendiri, merasa tak pantas bila ada halte bis
berdiri di depan rumah gubernur.
Suprapto dan Nyonya malahan mera sa khawatir. "Jangan-jangan
orang mengira halte itu dipindah atas permintaan saya, lalu
mereka akan menganggap kamu sok," katanya.
Apakah ia akan memerintahkan halte itu didirikan lagi? "Wong
sudah telanjur ya sudahlah," jawab Suprapto tenang. Tapi
nampaknya ia tak mau ada perla kuan istimewa bagi dirinya, alias
penjilatan. Dan itu modal yang tak sepele. Selamat bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini