Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting atau SMRC Sirajuddin Abbas menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebenarnya memiliki intensi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Namun, Sirajuddin menyebut tak mudah bagi Jokowi untuk melawan partai-partai koalisi pendukungnya di parlemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya melihat Pak Jokowi memiliki keinginan menerbitkan perpu, tapi caranya ini yang tak mudah," kata Sirajuddin di kawasan Matraman, Jakarta, Senin, 14 Oktober 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sirajuddin memahami Jokowi tak bisa serta merta menerbitkan Perpu karena harus menghitung reaksi partai-partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Dia pun menilai Jokowi tak akan ngotot melawan arus.
Menurut dia, sikap Presiden yang memaksa justru akan menyulitkan kebijakan di masa mendatang. Meski begitu, Sirajuddin tetap bisa mendapatkan dukungan dari partai-partai di DPR. Syaratnya, Presiden harus bermain 'cantik' dan berstrategi.
"Jangan kita berharap Jokowi bisa menjalankan kekuasaannya dengan vulgar begitu. Harus cantik bermainnya, membuat strategi supaya dia dapat dukungan dari parpol," kata Sirajuddin.
Presiden Jokowi belum juga meneken Perpu KPK kendati didesak oleh banyak tokoh dan masyarakat. Dia sebelumnya memang mengaku khawatir perpu akan ditolak oleh DPR. Padahal, UU KPK hasil revisi akan berlaku 3 hari lagi atau pada 17 Oktober mendatang.
Menurut Sirajuddin, salah satu cara yang bisa dilakukan Jokowi adalah mengelola dukungan dari partai koalisinya dan mencari jalan tengah terkait substansi Perpu KPK. Dia menyebut harus ada kompromi untuk tak sepenuhnya menolak hasil revisi UU KPK yang dilakukan DPR, tetapi juga tak mengabaikan desakan publik.
Terkait dewan pengawas KPK misalnya, Sirajuddin menilai keberadaannya memang berlebihan jika harus menjadi pihak pemberi izin dalam tahapan-tahapan penegakan hukum oleh KPK. "Saya kira enggak ada perdebatan soal itu di antara para pihak yang menolak UU itu," kata dia.
Adapun terkait penghentian penyidikan alias SP3, Sirajuddin menilai poin itu masih boleh diperdebatkan. Hanya saja, jangka waktunya juga harus diatur agar tidak malah menghambat pengungkapan kasus yang sulit.
"Saya kira itu masih terbuka untuk diperdebatkan. Apakah SP3 itu diharamkan di KP, misalnya. Kalau tidak di haramkan apakah dua tahun cukup. Karena kasus-kasus besar membutuhkan proses penyidikan yang jauh lebih lama," ucapnya.