Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menceritakan pengalamannya menjadi mediator di berbagai konflik besar di Indonesia. JK memaparkan beberapa kiat agar sukses menengahi konflik, seperti independen dan memiliki wawasan mengenai perseteruan yang ditangani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mediator harus independen. Sebelum jadi mediator harus memahami masalahnya dengan betul,” kata JK di acara Semiloka Nasional bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM di Jakarta, kemarin, 12 Desember 2019. Ia menyebut independensi adalah hal yang penting sebagai mediator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mencontohkan konflik horizontal di Poso dan Ambon yang ditangani. Menurut JK, konflik itu terjadi antara masyarakat di kedua pihak. “Walau pun dari luar selalu dibayangkan konflik antara agama, sebabnya bukan agama.”
Mediator sama sekali tak boleh condong ke salah satu pihak saja. Ia mengenali satu per satu orang-orang dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Proses mediasi pun, kata dia, dilakukan di daerah yang netral. Saat konflik Poso, ia berinisiatif mengajak kedua belah pihak untuk berunding di Makassar. Selama di Makassar itu, JK menyebut ia memfasilitasi kedua belah pihak dengan sama, tak membeda-bedakan. “Kalau yang satu (menginap) di hotel bintang tiga, pihak satunya juga. Saya juga sama-sama beri akomodasi dua mobil.”
Selain itu, kata JK, seorang mediator harus mempelajari betul-betul karakteristik dan sejarah wilayah konflik. Karena pada saat proses mediasi, diperlukan wawasan yang cukup untuk menjawab argumen dari kedua pihak.
Mediator harus paham betul dengan kondisi pihak-pihak yang berkonflik dan harus punya informasi dengan bagus untuk menjawab semua pertanyaan. “Jadi, berunding dua hari, saya bisa jawab,” kata JK.