Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sumitro setelah 5 tahun

Wawancara tempo dengan jendral sumitro dengan gagasan ingin menyumbangkan fikiran abri harus tetap sebagai naungan seluruh bangsa, parpol & golkar, berfungsi saling membutuhkan. (nas)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITEMUI TEMPO di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta, pekan lalu, Jenderal (Purn.) Sumitro, 54 tahun, tampak lebih langsing, 70 kg. Turun 10 kg dari beratnya yang dulu. Uban tampak di kumisnya. Suara bariton jenderal yang dulu pernah dianggap orang nomor 2 di Indonesia ini tetap bersemangat, dengan nada dan tekanan retorik, dengan "charm" Jawa-Timur yang juga ada pada logat Bung Karno. Beberapa petikan dari wawancara itu: Sudah lama diam, tiba-tiba muncul dengan tulisan. Kenapa, pak? Lima tahun saya berusaha mengendap. Selain saya memberikan pengertian saya sepenuhnya kepada pemerintah, saya menyesuaikan dengan iklim yang dibutuhkan waktu itu, setelah Peristiwa 15 Januari. Tidak ketemu orang. Kalau main golf ya di tempat yang agak singitan (tersembunyi -- red). Hanya dalam saat-saat kritis saya ikut cawe-cawe (mengulurkan tangan), karena saya tidak ingin timbul bentrokan. Kapan misalnya saat kritis itu? Waktu menghadapi pemilu, sidang MPR .... Ya, di sana-sini saya tidak dimengerti. Ada golongan partai politik yang tersinggung perasaannya. Tapi saya tak sempat bicara. Saya tak punya fasilitas untuk bicara. Dan saya tak pernah mengambil inisiatif untuk bertemu. Nanti ada anggapan keliru. Saya kenal diri saya sendiri waktu masih jadi Pangkopkamtib kecenderungan untuk lekas curiga itu besar. Dan sekarang waktunya membuka untuk berdialog. Mengapa sekarang, pak? Sebab selama lima tahun ini saya mempelajari diri saya sendiri, kekurangan-kekurangan saya sendiri. Apakah menurut Pak Mitro ada yang salah atau kurang? Kalau orang sedang menjabat, bekerja tau berkuasa, sukar melihat dirinya sendiri Sukar. Dan jangan lupa masyarakat kita ini masih masyarakat feodal. Saya juga salah satu produk dari feodalisme. Sukar untuk melihat diri saya sendiri. Bahkan di sana-sini saya kurang dapat mengerti perasaan dan pendapat orang lain. Dalam menghadapi mahasiswa, misalnya, dulu saya sinis. Saya menganggap mereka ditunggangi. Karena itu saya mencoba memperbaiki diri, untuk berani berdialog. Di tahun 1973 saya berusaha mengadakan dialog. Saya belajar sabar waktu itu. Belajar sabar, juga mengoreksi diri. Setelah dari luar (pemerintahan), lebih mudah saya untuk melihat kelemahan sebagai pejabat dan organisasi yang saya pimpin. Saya merasa gagal, karena (dengan adanya Peristiwa 15 Janauari) saya tak bisa menjamin tidak terulangnya keadaan seperti di Bandung (peristiwa pengrusakan Agustus 1973 . . . ). Waktu terjadi peristiwa Bandung, saya marah kepada anak buah saya. Ketika Peristiwa 15 Januari terjadi, saya juga harus berlaku sama terhadap diri saya sendiri. Kita tidak usah malu karena salah, asal jangan salah karena sengajaan. Salah atau gagal itu wajar. Pemerintah yang gagal bukan suatu kejahatan. Tapi kegagalan menghendaki tanggungjawab, dan tanggungjawab itu suatu aspek ethis. Rasa ethis itu selain mengandung pengendalian-diri, juga rasa malu terhadap diri sendiri. Pak Mitro kini menganggap saatnya untuk membuka dialog. Apakah itu berarti Pak Mitro akan terus menulis dan menyatakan pendapat? Terus. Tidak akan berhenti. Dan saya tak mau dihentikan. Saya ingin melihat bangsa kita suatu bangsa yang hangat di antara keluarga sendiri. Dan kini setelah satu tahun Kabinet Pembangunan II, sudah saatnya untuk itu. Suasana tenang sekarang suasana dewasa. Tidak ekstrim-ekstriman. Saya ingin bermanfaat. Hitung-hitung untuk membayar hutang. Pertama, kepada keluarga saya sendiri. Setidaknya saya bisa berkata kepada anak cucu saya, bahwa Mitro itu tidak jahat. Kedua, kepada masyarakat. Apalagi dalam masa proses regenerasi ini, saya ingin menyumbangkan fikiran. Dan mudah-mudahan sikap saya ini lalu menggugah kawan-kawan yang lain yang tertidur oleh kondisi. Karena saya yakin orang lebih pandai dari saya itu banyak -- sakjagat. Saya ingin mereka itu hidup kembali, gairah kembali. Gairah bukan untuk tawur (bentrokan ramai-ramai -- red), tapi untuk memberikan fikiran mereka yang sehat. Dengan tak usah terselip fikiran mau berontak. 'Kan hangat, kalau keluarga ini saling mengingatkan: "Lur, keliru kamu, jangan begitu." Tapi tidak ada niat jahat. Tidak ada niat menempeleng, tidak ada niat mendepak. Hanya mengingatkan. 'Kan enak. Jangan masyarakat ini diberi umpan untuk meledak. Belum tentu ada jaminan setelah meledak keadaan akan membaik. Jadi saya ingin orang seperti pak Nas itu (Jend. Nasution) jangan terus-menerus tertekan hidupnya. Jangan ia menyendiri. Kasihan. Ia punya jasa. Berikan kembali gairah hidup, kepada dia. Supaya minimal cucunya kalau melihat kepada eyangnya itu senang, karena saya tahu dia punya cucu. Dia 'kan kolega perjuangan. Tapi harus ada spelregels-tatahidup baru. Dan pada pak Nas, jangan ada fikiran mau berontak, untuk nggosok orang lain. Yang kita minta sama-sama dari kita: jual fikiran kita, kita abdikan fikiran dan pengalaman kita ini. Walaupun kita akui bahwa fikiran kita belum tentu benar. Dalam proses regenerasi sekarang, kita sebenarnya sudah bukan bekerja untuk diri kita sendiri. Percayalah. Siapapun yang akan menggantikan kita, tidak akan berbuat jahat kepada kita, asal yang tua aanpaken-nya (mengusahakannya) tidak keliru. Bangsa kita bukan bangsa penjahat. Bangsa kita bangsa yang berbudaya: itu tercermin dari perlakuan pimpinan Orde Baru terhadap almarhum Bung Karno. Kita tidak seperti Zia ul Haq terhadap Bhutto. Tidak usah kawatir kita ini. Pak Mitro telah berbicara tentang masalah suksesi, atau pergantian kepemimpinan, tentang bagaimana menyiapkannya dalam sistim demokrasi kita. Apakah ABRI dalam dirinya punya mekanisme untuk pencalonan kepemimpinan? Mengingat ABRI sangat menentukan dalam memutuskan siapa yang dipilih? Sepanjang ingatan saya, ABRI tak pernah memikirkan untuk menentukan bahwa pemimpin atau presiden harus selalu ABRI. Yang jelas, presiden itu bangsa Indonesia yang terhormat. Mekanisme itu kita bangun bersama. Jangan sampai ada penggunaan yang keliru dari angkatan bersenjata. Tempat pencalonan kepemimpinan adalah di Golkar dan parpol. Saya rasa kewajiban kita bersama di masa datang mengembalikan harga diri Golkar dan parpol. Mereka bisa dcwasa, bisa. Asalkan mereka diberi kesempatan mengurus rumahtangganya sendiri, dan hands-off orang luar. Sebab ABRI sendiri tidak suka kalau orang luar campur tangan ke dalam tubuhnya. Jadi berikan kesempatan. Mumpung masih jauh pemilu. Cukup waktu. Asal dimanfaatkan dengan baik. Lalu bagaimana dengan peran sosial-politik ABRI? Dwifungsi ABRI tetap. Hanya implementasi dan intensitasnya yang berbeda. Apakah sekarang sudah waktunya misalnya mengurangi intensitas itu ? O, iya! Saya kembali kepada pemikiran asal: dalam hal pelaksanaan, Golkar tidak perlu ketemu Hankam, tidak usah selalu Panglima. Nanti sebagai kekuatan sosial-politik tidak akan pernah dewasa dia. Dia hanya menjagakan kekuatan bersenjata. Lalu mana tempat bagi parpol yang ingin berlindung di bawah ABRl-nya. Karena sejarah ABRI itu adalah naungan pada seluruh bangsa, seluruh kekuatan sosial-politik. ABRI tetap mempunyai aspirasi politik. Tapi jangan diartikan itu dalam arti ingin jabatan. Fikiran itu fikiran feodal. Bagaimana dengan angkatan muda ABRI kelak ? Di ABRI yang dipakai bukan istilah "angkatan muda", tapi junioren. Tentang mereka, dugaan saya dalam sistim pendidikan ABRI, output-nya akan terbatas untuk menangani organisasi ABRI sendiri. Apalagi melihat perkembangan militer yang akan datang yang makin sophisticated. Tidak akan cukup tenaga untuk menempatkan kader di mana-mana. Mau tak mau kita harus lebih menampilkan kader-kader sipil. Tapi dalam memilih kader-kader sipil, sistim pengedropan tidak mendidik. Itu tidak akan menjadikan mereka pemimpin yang berjuang dari bawah, yang akhirnya jadi tangguh dan kuat. Apakah itu harapan pak Mitro terhadap kader-kader di Golkar? Bukan hanya Golkar. Tapi Golkar memang perlu punya kader yang baik, yang tumbuh dari bawah dan merebut kepercayaan dari bawah. Golkar juga harus selalu punya ikatan yang jelas buat anggotanya, yang menimbulkan spirit untuk bergerak. Dan ketiga Golkar harus punya fikiran yang progresif untuk memecahkan masalah-masalah bangsa, dan harus lincah di tengah rakyat. Itu akan membuat sebuah Golkar yang benar-benar kuat. Tidak berarti menang mutlak. Saya tidak senang melihat kemenangan mutlak. Kita harus membikin supaya ada kondisi saling membutuhkan Ada ucapan yang pernah dikutip Letjen Sudirman dalam bahasa Inggeris: "Domination tends to corruption" (adanya dominasi cenderung menimbulkan korupsi). Kalau kelak partai-partai tidak ada, kita akan merasa unheimisch. Kita akan merasa monoton. Hilang sportnya sudah. Sebab saya setuju deng ucapan Presiden Soeharto bahwa politik itu suatu sport. Maksud Pak Mitro? Pengertian itu sebenarnya pengertian yang lama, yang harus kita persegar kembali. Ada beberapa hal yang positif dari sport. Pertama, rasa bersaing. Seorang sportman yang baik akan senang bila berhadapan dengan saingan yang berat-berat. Persaingan itu menjamin suatu prestasi yang tinggi. Jelas, dalam sport tidak ada itu "main sendiri". Itu nanti jadi menange dhewe, menangnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus