TIDAK ada kepentingan yang mendesak dari kunjungan saya ini,"
ucap PM Australia Malcolm Fraser dalam konperensi pers seusai
dua kali pembicaraannya dengan Presiden Soeharto akhir pekan
lalu di Bali. Fraser mampir ke Bali selama 2 malam dalam
perjalanannya kembali ke negerinya setelah menghadiri konperensi
UNCTAD di Manila. "Semula saya kira Presiden Soeharto akan pergi
ke Manila karena PM Jepang Ohira juga hadir di sidang UNCTAD
itu," kata Fraser menjelaskan. Tapi ternyata, seperti dikatakan
seorang pejabat tinggi Indonesia: "Pak Harto memandang tidak
perlu hadir ke Manila." Hingga untuk memenuhi permintaan Fraser
untuk bertemu, Presiden Soeharto menawarkan PM Australia itu
untuk mampir di Bali dalam perjalanannya pulang.
Fraser boleh mengatakan tidak ada masalah yang mendesak dari
kunjungannya. Tapi jelas pertemuannya dengan Soeharto
dianggapnya penting. Lebih lagi, suatu pertemuan tidak resmi
seperti diakuinya lebih bermanfaat. "Banyak hal yang bisa
diselesaikan tanpa banyak kerepotan seperti pada suatu kunjungan
resmi."
Kerjasama Militer
Hubungan Indonesia-Australia beberapa tahun terakhir ini memang
kurang mesra. Timbulnya masalah Timor Timur, simpati yang
diberikan sebagian masyarakat Australia pada Fretilin ditambah
dengan kematian 4 wartawan Australia di Balibo telah mengeruhkan
hubungan ke 2 negara. Baru saja ketegangan ini dipulihkan,
timbul lagi masalah sengketa ASEAN-Australia mengenai tarip
penerbangan murah Australia-Eropa yang memukul para anggota
ASEAN, meski yang paling sakit sebenarnya adalah Singapura.
Semua ini ingin dihilangkan Fraser dalam kunjungannya ini.
Itu tercermin dalam ucapan Fraser: "Sebagian besar rakyat
Australia mengakui kenyataan bahwa Indonesia dan Australia
adalah bertetangga dan masa depan kedua negara berhubungan erat.
Merupakan kepentingan seluruh orang Indonesia dan Australia
untuk adanya hubungan hangat, ramah dan mau bekerjasama di
antara kedua pemerintah dan bangsa."
Tampaknya Australia makin menyadari pentingnya Indonesia sebagai
benteng untuk membendung meluasnya bahaya komunis dari utara.
Apalagi setelah sengketa Indocina terus berkepanjangan, dan
kemungkinan penyelesaian pertentangan Vietnam-RRC saat ini
menurut Fraser "jauh sekali". Kekhawatiran itu tampak dari
ucapan Fraser: "Kami menghargai bahwa Indonesia dapat secara
efektif memperlambat mendaratnya para pengungsi Indocina
langsung di pantai utara Australia." Diakuinya, mendaratnya
langsung para pengungsi di pantai Australia secara mendadak bisa
menimbulkan kekhawatiran Australia. Australia mau menampung
pengungsi yang datang asal saja secara "baik-baik", hingga
tawaran Indonesia untuk membuat pusat pemrosesan dihargai
sekali.
Ganjelan tarip penerbangan murah diharapkan Fraser bisa
diselesaikan dalam pertemuan para menteri ekonomi ASEAN Juni
mendatang di Kualalumpur. "Hingga kita bisa meninggalkan masalah
ini di belakang kita," kata Fraser. Jelas Australia tidak ingin
masalah ini jadi berlarut-larut.
Masalah kerjasama militer antara kedua negara dibicarakan juga.
Mungkin itu sebabnya Menhankam Jenderal Jusuf pekan lalu sempat
bertemu Presiden untuk menyerahkan bahan-bahan untuk dibicarakan
kedua kepala pemerintahan ini. "Kemungkinan kerjasama dalam
bidang militer akan dibicarakan lebih lanjut," kata Mensesneg
Sudharmono. Kerjasama dalam pendidikan militer sudah lama
terjalin. Indonesia juga pernah menerima satu skwadron pesawat
Sabre dari Australia, 3 di antaranya telah hancur karena musibah
kecelakaan.
Secara resmi dinyatakan pertemuan tidak resmi Soeharto-Fraser
"bermanfaat". Apabila ganjelan bisa dihilangkan dan lembaran
baru hubungan baik bisa dibuka, tidak ada hal yang lebih baik
dari itu bagi kedua bangsa dan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini