DITEMUI TEMPO di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta, pekan
lalu, Jenderal (Purn.) Sumitro, 54 tahun, tampak lebih
langsing, 70 kg. Turun 10 kg dari beratnya yang dulu. Uban
tampak di kumisnya. Suara bariton jenderal yang dulu pernah
dianggap orang nomor 2 di Indonesia ini tetap bersemangat,
dengan nada dan tekanan retorik, dengan "charm" Jawa-Timur yang
juga ada pada logat Bung Karno. Beberapa petikan dari wawancara
itu:
Sudah lama diam, tiba-tiba muncul dengan tulisan. Kenapa, pak?
Lima tahun saya berusaha mengendap. Selain saya memberikan
pengertian saya sepenuhnya kepada pemerintah, saya menyesuaikan
dengan iklim yang dibutuhkan waktu itu, setelah Peristiwa 15
Januari. Tidak ketemu orang. Kalau main golf ya di tempat yang
agak singitan (tersembunyi -- red). Hanya dalam saat-saat
kritis saya ikut cawe-cawe (mengulurkan tangan), karena saya
tidak ingin timbul bentrokan.
Kapan misalnya saat kritis itu?
Waktu menghadapi pemilu, sidang MPR .... Ya, di sana-sini saya
tidak dimengerti. Ada golongan partai politik yang tersinggung
perasaannya. Tapi saya tak sempat bicara. Saya tak punya
fasilitas untuk bicara. Dan saya tak pernah mengambil inisiatif
untuk bertemu. Nanti ada anggapan keliru. Saya kenal diri saya
sendiri waktu masih jadi Pangkopkamtib kecenderungan untuk
lekas curiga itu besar.
Dan sekarang waktunya membuka untuk berdialog.
Mengapa sekarang, pak?
Sebab selama lima tahun ini saya mempelajari diri saya sendiri,
kekurangan-kekurangan saya sendiri.
Apakah menurut Pak Mitro ada yang salah atau kurang?
Kalau orang sedang menjabat, bekerja tau berkuasa, sukar melihat
dirinya sendiri Sukar. Dan jangan lupa masyarakat kita ini
masih masyarakat feodal. Saya juga salah satu produk dari
feodalisme. Sukar untuk melihat diri saya sendiri. Bahkan di
sana-sini saya kurang dapat mengerti perasaan dan pendapat orang
lain. Dalam menghadapi mahasiswa, misalnya, dulu saya sinis.
Saya menganggap mereka ditunggangi. Karena itu saya mencoba
memperbaiki diri, untuk berani berdialog. Di tahun 1973 saya
berusaha mengadakan dialog. Saya belajar sabar waktu itu.
Belajar sabar, juga mengoreksi diri. Setelah dari luar
(pemerintahan), lebih mudah saya untuk melihat kelemahan sebagai
pejabat dan organisasi yang saya pimpin.
Saya merasa gagal, karena (dengan adanya Peristiwa 15 Janauari)
saya tak bisa menjamin tidak terulangnya keadaan seperti di
Bandung (peristiwa pengrusakan Agustus 1973 . . . ). Waktu
terjadi peristiwa Bandung, saya marah kepada anak buah saya.
Ketika Peristiwa 15 Januari terjadi, saya juga harus berlaku
sama terhadap diri saya sendiri.
Kita tidak usah malu karena salah, asal jangan salah karena
sengajaan. Salah atau gagal itu wajar. Pemerintah yang gagal
bukan suatu kejahatan. Tapi kegagalan menghendaki tanggungjawab,
dan tanggungjawab itu suatu aspek ethis. Rasa ethis itu selain
mengandung pengendalian-diri, juga rasa malu terhadap diri
sendiri.
Pak Mitro kini menganggap saatnya untuk membuka dialog. Apakah
itu berarti Pak Mitro akan terus menulis dan menyatakan
pendapat?
Terus. Tidak akan berhenti. Dan saya tak mau dihentikan. Saya
ingin melihat bangsa kita suatu bangsa yang hangat di antara
keluarga sendiri.
Dan kini setelah satu tahun Kabinet Pembangunan II, sudah
saatnya untuk itu. Suasana tenang sekarang suasana dewasa. Tidak
ekstrim-ekstriman.
Saya ingin bermanfaat. Hitung-hitung untuk membayar hutang.
Pertama, kepada keluarga saya sendiri. Setidaknya saya bisa
berkata kepada anak cucu saya, bahwa Mitro itu tidak jahat.
Kedua, kepada masyarakat. Apalagi dalam masa proses regenerasi
ini, saya ingin menyumbangkan fikiran. Dan mudah-mudahan sikap
saya ini lalu menggugah kawan-kawan yang lain yang tertidur oleh
kondisi. Karena saya yakin orang lebih pandai dari saya itu
banyak -- sakjagat.
Saya ingin mereka itu hidup kembali, gairah kembali. Gairah
bukan untuk tawur (bentrokan ramai-ramai -- red), tapi untuk
memberikan fikiran mereka yang sehat. Dengan tak usah terselip
fikiran mau berontak.
'Kan hangat, kalau keluarga ini saling mengingatkan: "Lur,
keliru kamu, jangan begitu." Tapi tidak ada niat jahat. Tidak
ada niat menempeleng, tidak ada niat mendepak. Hanya
mengingatkan. 'Kan enak. Jangan masyarakat ini diberi umpan
untuk meledak. Belum tentu ada jaminan setelah meledak keadaan
akan membaik.
Jadi saya ingin orang seperti pak Nas itu (Jend. Nasution)
jangan terus-menerus tertekan hidupnya. Jangan ia menyendiri.
Kasihan. Ia punya jasa. Berikan kembali gairah hidup, kepada
dia. Supaya minimal cucunya kalau melihat kepada eyangnya itu
senang, karena saya tahu dia punya cucu. Dia 'kan kolega
perjuangan. Tapi harus ada spelregels-tatahidup baru. Dan pada
pak Nas, jangan ada fikiran mau berontak, untuk nggosok orang
lain. Yang kita minta sama-sama dari kita: jual fikiran kita,
kita abdikan fikiran dan pengalaman kita ini. Walaupun kita akui
bahwa fikiran kita belum tentu benar.
Dalam proses regenerasi sekarang, kita sebenarnya sudah bukan
bekerja untuk diri kita sendiri. Percayalah. Siapapun yang akan
menggantikan kita, tidak akan berbuat jahat kepada kita, asal
yang tua aanpaken-nya (mengusahakannya) tidak keliru. Bangsa
kita bukan bangsa penjahat. Bangsa kita bangsa yang berbudaya:
itu tercermin dari perlakuan pimpinan Orde Baru terhadap
almarhum Bung Karno. Kita tidak seperti Zia ul Haq terhadap
Bhutto. Tidak usah kawatir kita ini.
Pak Mitro telah berbicara tentang masalah suksesi, atau
pergantian kepemimpinan, tentang bagaimana menyiapkannya dalam
sistim demokrasi kita. Apakah ABRI dalam dirinya punya mekanisme
untuk pencalonan kepemimpinan? Mengingat ABRI sangat menentukan
dalam memutuskan siapa yang dipilih?
Sepanjang ingatan saya, ABRI tak pernah memikirkan untuk
menentukan bahwa pemimpin atau presiden harus selalu ABRI. Yang
jelas, presiden itu bangsa Indonesia yang terhormat. Mekanisme
itu kita bangun bersama.
Jangan sampai ada penggunaan yang keliru dari angkatan
bersenjata. Tempat pencalonan kepemimpinan adalah di Golkar dan
parpol. Saya rasa kewajiban kita bersama di masa datang
mengembalikan harga diri Golkar dan parpol. Mereka bisa dcwasa,
bisa. Asalkan mereka diberi kesempatan mengurus rumahtangganya
sendiri, dan hands-off orang luar. Sebab ABRI sendiri tidak suka
kalau orang luar campur tangan ke dalam tubuhnya. Jadi berikan
kesempatan. Mumpung masih jauh pemilu. Cukup waktu. Asal
dimanfaatkan dengan baik.
Lalu bagaimana dengan peran sosial-politik ABRI?
Dwifungsi ABRI tetap. Hanya implementasi dan intensitasnya yang
berbeda.
Apakah sekarang sudah waktunya misalnya mengurangi intensitas
itu ?
O, iya! Saya kembali kepada pemikiran asal: dalam hal
pelaksanaan, Golkar tidak perlu ketemu Hankam, tidak usah selalu
Panglima. Nanti sebagai kekuatan sosial-politik tidak akan
pernah dewasa dia. Dia hanya menjagakan kekuatan bersenjata.
Lalu mana tempat bagi parpol yang ingin berlindung di bawah
ABRl-nya. Karena sejarah ABRI itu adalah naungan pada seluruh
bangsa, seluruh kekuatan sosial-politik.
ABRI tetap mempunyai aspirasi politik. Tapi jangan diartikan itu
dalam arti ingin jabatan. Fikiran itu fikiran feodal.
Bagaimana dengan angkatan muda ABRI kelak ?
Di ABRI yang dipakai bukan istilah "angkatan muda", tapi
junioren. Tentang mereka, dugaan saya dalam sistim pendidikan
ABRI, output-nya akan terbatas untuk menangani organisasi ABRI
sendiri. Apalagi melihat perkembangan militer yang akan datang
yang makin sophisticated. Tidak akan cukup tenaga untuk
menempatkan kader di mana-mana. Mau tak mau kita harus lebih
menampilkan kader-kader sipil.
Tapi dalam memilih kader-kader sipil, sistim pengedropan tidak
mendidik. Itu tidak akan menjadikan mereka pemimpin yang
berjuang dari bawah, yang akhirnya jadi tangguh dan kuat.
Apakah itu harapan pak Mitro terhadap kader-kader di Golkar?
Bukan hanya Golkar. Tapi Golkar memang perlu punya kader yang
baik, yang tumbuh dari bawah dan merebut kepercayaan dari bawah.
Golkar juga harus selalu punya ikatan yang jelas buat
anggotanya, yang menimbulkan spirit untuk bergerak. Dan ketiga
Golkar harus punya fikiran yang progresif untuk memecahkan
masalah-masalah bangsa, dan harus lincah di tengah rakyat.
Itu akan membuat sebuah Golkar yang benar-benar kuat. Tidak
berarti menang mutlak. Saya tidak senang melihat kemenangan
mutlak. Kita harus membikin supaya ada kondisi saling
membutuhkan Ada ucapan yang pernah dikutip Letjen Sudirman dalam
bahasa Inggeris: "Domination tends to corruption" (adanya
dominasi cenderung menimbulkan korupsi).
Kalau kelak partai-partai tidak ada, kita akan merasa
unheimisch. Kita akan merasa monoton. Hilang sportnya sudah.
Sebab saya setuju deng ucapan Presiden Soeharto bahwa politik
itu suatu sport.
Maksud Pak Mitro?
Pengertian itu sebenarnya pengertian yang lama, yang harus kita
persegar kembali. Ada beberapa hal yang positif dari sport.
Pertama, rasa bersaing. Seorang sportman yang baik akan senang
bila berhadapan dengan saingan yang berat-berat. Persaingan itu
menjamin suatu prestasi yang tinggi. Jelas, dalam sport tidak
ada itu "main sendiri". Itu nanti jadi menange dhewe, menangnya
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini