Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Surat dari

Pemred buletin ar risalah irfan suryahardy, 23, di adili dengan tuduhan subversi. terjadi kegaduhan ketika ia membacakan eksepsinya, a.l, ketika ia membacakan doa yang diprotes oleh hakim. (nas)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG pengadilan Senin 21 Oktober - itu penuh kegaduhan. Berulang kali hakim terpaksa mengetukkan palu untuk menenangkan hadirin. Seorang pengunjung akhirnya malah diusir keluar, dan tiga lainnya diperiksa identitas mereka oleh petugas karena dianggap membuat keributan. Tim jaksa turut memberi warna dengan memprotes, meminta hakim menghentikan terdakwa membacakan eksepsinya. Terakhir, sang hakim sendiri memprotes tatkala terdakwa membacakan sebuah doa, tapi akhirnya meluluskannya. Si terdakwa yang disidangkan itu adalah Irfan Suryahardy, 23. Sejak awal Oktober bekas pemimpin redaksi buletin Ar Risalah ini diadili di Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta, dengan tuduhan melakukan serangkaian perbuatan yang dinilai memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan idiologi negara Pancasila atau haluan negara. Caranya, lewat keanggotaan-nya dalam Komando Jihad, serta lewat tulisan-tulisannya dalam Ar Risalah yang dipimpinnya. Dalam sidang ketiga, pekan lalu, Irfan telah menimbulkan heboh. Sebelum sidang dimulai, petugas memergoki salah seorang dari empat wanita berjilbab yang menjenguk memberikan surat berbungkus sapu tangan kepada Irfan. Irfan sempat merobek surat itu, tapi para petugas akhirnya bisa menyusunnya kembali. Ternyata, pengirimnya seorang yang bernama Utsman dengan alamat "Bumi Allah". Isinya, antara lain, memberi tahu Irfan bahwa seorang pengacara telah sanggup mencegah hadirnya beberapa saksi dari pihak pengadilan. Dua kali sidang tertunda sebelumnya karena Irfan menolak didampingi pembela, padahal menurut ketentuan ia harus didampingi pembela karena diancam hukuman mati. Baru setelah majelis hakim menetapkan tim pembela, jaksa bisa membacakan dakwaannya. "Apa artinya pembelaan manusia bagi saya. Saya akan membela dengan akidah saya. Allah yang akan membela saya," kata Irfan pada TEMPO pekan lalu. Ar Risalah, buletin bulanan berbentuk tabloid yang diterbitkan Badan Komunikasi Pemuda Masjid (BKPM) Yogyakarta itu berhenti terbit sejak digerebek 4 Oktober 1983. Buletin dakwah dengan oplah 10 ribu eksemplar yang terbit sejak 1981 ini, menurut Irfan, selain sebagai media dakwah dan komunikasi antarpemuda masjid, "juga media perjuangan atau jihad". Namun, menurut Jaksa Wisnu Subroto melalui Ar Risalah tersebut, terdakwa, "Secara sistematis dan terarah dipergunakan untuk mencapai tujuan perjuangan menegakkan syariat Islam di Indonesia menuju berdirinya "Negara Islam Indonesia". Sebagai bukti ia menunjukkan sejumlah tulisan dalam buletin itu. Misalnya wejangan Khomeini yang pokok isinya "mengobarkan semangat revolusi umat Islam untuk menghancurkan pemerintahan yang tidak didasarkan pada Islam". Buletin itu juga pernah menokohkan Daud Beureueh dan Kartosuwiryo sebagai pendiri NII. Misalnya, dinyatakan bahwa "Proklamasi NII itu telah disahkan oleh PBB. Dan hingga kini bendera NII masih tetap berkibar." Kegaduhan sidang Senin pekan ini terjadi selama Irfan membacakan eksepsinya. Dalam eksepsi 30 halaman ketik itu, Irfan sering menyindir dan mengecam jaksa, hakim, serta pelaksanaan hukum di Indonesia. Irfan, yang telah ditahan sekitar 20 bulan, misalnya menyindir, "Seorang hakim tidak boleh menghukum atas dasar pendapat pribadi, apalagi berdasarkan pesan telepon." Irfan juga menanyakan batasan dan kepastian istilah subversi. Orang, katanya, gampang memberikan stempel subversi terhadap apa pun yang berbeda dengan pandangan penguasa. Seorang siswa membaca puisi tentang korupsi dianggap subversif. Membuat angket seks hanya karena tidak seizin sekolah, subversif. "Lalu, apa yang tidak subversif?" tanyanya. Ia menilai tuduhan subversif pada dirinya "hanya lamunan romantis dan mengada-ada". "Kami," ucap Irfan, "sama sekali tidak punya andil dalam menambah keresahan yang tampak di masyarakat kini. Bahkan kami berusaha membantu menyembuhkan kanker di masyarakat dengan terapi ayat-ayat Allah. Dengan alasan apa Anda menuduh kegiatan semacam ini sebagai tindak pidana subversi?" Persoalannya, katanya, tidak lebih dari sekadar delik pers. Eksepsi itu ditutup dengan doa, yang semula diprotes hakim, karena banyak hadirin yang mengucapkan "Amin" saat Irfan membaca doa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus