Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mendadak menemui Presiden Joko Widodo pada Kamis pagi, 19 September 2019. Dalam pertemuan itu, Syafii menyampaikan pandangannya terkait revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syafii Maarif menyampaikan bahwa cara yang dilakukan DPR dengan mengebut pengesahan merupakan langkah sembrono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pembahasannya tidak terbuka dan KPK tidak diajak berunding," katanya dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 30 September 2019. Manuver itu justru mengundang kecurigaan dari banyak kalangan, termasuk mahasiswa, bahwa DPR dan pemerintah bersepakat melemahkan KPK.
Syafii juga menyampaikan pendapatnya tentang RKUHP. "Kalau disahkan, ini berbahaya," katanya. Sebab, undang-undang yang akan menjadi tatanan hukum pidana itu akan mengubah tatanan masyarakat. Hal yang berbahaya di antaranya mengekang hak-hak sipil, menerabas privasi warga negara, serta mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Menurut Syafii, Presiden merespons positif masukannya. Presiden meminta Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang ikut dalam pertemuan itu untuk mencatat poin-poin yang disampaikan Syafii. Setelah bertemu Syafii Maarif, keesokan harinya Jokowi menyampaikan bahwa dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan RKUHP.
Kunjungan Syafii Maarif ini bertepatan dengan aksi mahasiswa di depan gedung DPR. Ini adalah aksi pertama yang kemudian diikuti gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota, puncaknya pada Selasa, 24 September 2019.
Mahasiswa menggugat sejumlah hal, di antaranya mendesak Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan UU KPK yang baru dan mengurungkan pengesahan RKUHP.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | MAJALAH TEMPO