Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMESRAAN nyaris kalis di bangsal rumah sakit itu, kendati reuni keluarga tengah berlangsung. Sambutan Nirmala Bonat pada ibu dan pamannya, yang datang ke Rumah Sakit Kuala Lumpur, Rabu pekan lalu itu, memang terkesan dingin. Tangisan Martha Toni hanya direspons Nirmala dengan lenguhan pendek dan gelengan kepala. Ia juga tak bersemangat ketika beberapa juru foto memintanya berpose memeluk sang ibu. "Bosan," katanya sambil berpaling.
Sulit dipahami mengapa Nirmala?pekerja wanita asal Indonesia yang disiksa majikannya di Malaysia itu?bersikap tak acuh pada ibu dan pamannya. Apakah penderitaannya selama delapan bulan penuh siksaan, menjalani perawatan rumah sakit dalam kesendirian di rantau orang, telah memajalkan saraf haru perempuan yang tak sudah dirundung murung itu?
Nirmala lahir pada 27 Agustus 20 tahun lalu sebagai putri tunggal pasangan Daniel Bonat dan Martha Toni. Di keluarga lain, status putri tunggal mungkin sebuah anugerah. Tapi tidak bagi Nirmala. "Keluarganya terlalu miskin untuk memanjakan Nirmala," kata Daniel Bire, pamannya. Menurut Bire, dialah, yang sudah dibebani kewajiban mengurus 13 anak dari dua perkawinannya, yang justru lebih banyak mengurus Nirmala sejak kecil.
Karena itulah, dibanding ayah Nirmala sendiri, Bire mengaku lebih mengenal sang keponakan. Menurut Bire, Nirmala lahir dari hasil hubungan yang tidak diikat pernikahan adat. Ibunya, Martha Toni, dikawini Daniel Bonat, seorang keturunan bangsawan di Desa Tuapangkas, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Daniel itu bangsawan yang gagah, wajar bila banyak wanita terpikat," kata Bire.
Tidak jelas bagaimana hubungan kedua suami-istri itu kemudian. Apalagi, menurut Bire, Bonat kerap tenggelam dalam dunianya: mabuk-mabukan. Yang terang, Martha kemudian bersuamikan Thomas Leo dan melahirkan lagi seorang anak perempuan, Vita Leo. Vita inilah, yang kini duduk di kelas 6 SD, yang kemudian dianggap Nirmala sebagai adik kandung.
Keterbatasan ekonomi yang merundung keluarganya membentuk Nirmala menjadi anak yang mandiri, rajin, dan ulet. "Dia tidak pernah bikin masalah, tidak pernah melawan orang tua," kata Martha Toni. "Ia juga bukan pemalas dan tidak cerewet." Kemiskinan akhirnya memaksa Nirmala menghentikan sekolah dengan hanya mengantongi ijazah SMP, pada tahun 2000.
Didorong cita-cita membantu keluarga, sekitar setahun setelah lulus SMP, Nirmala meninggalkan tanah kelahirannya, Desa Tuapangkas. Ia mencoba peruntungan di Kupang, sekitar 150 kilometer dari kampungnya. Mujur. Tak sempat terlunta-lunta, Nirmala diterima sebagai karyawan di Rumah Makan Abadi, restoran di satu sudut ibu kota NTT itu.
Ketika bekerja di rumah makan itulah, menurut Bire, Nirmala cukup sering mengunjungi keluarganya yang lebih dulu pindah ke Kupang. "Setiap kali ada kesempatan, ia datang," kata lelaki yang masih tampak tegap di usia menginjak 56 tahun itu. Apalagi kemudian Nirmala sangat akrab dengan Femmy Bire, anak sulung Bire dari istri kedua. "Anak saya itu tempat dia curhat," kata Bire.
Selain dengan Femmy, selama di Kupang Nirmala juga akrab dengan temannya sepekerjaan, Anna Tell. Menurut Anna, sekitar tiga bulan sebelum kepergiannya ke Malaysia, mereka sempat ngobrol lama. Ketika itu Nirmala mengatakan ingin bekerja ke Malaysia. "Ia bilang, ada saudaranya bekerja di sana sebagai pembantu rumah tangga dan bergaji lumayan besar," kata Anna.
Akhirnya ia benar-benar berangkat pada 24 Juni 2003. "Waktu itu saya yakin Nirmala akan berhasil, karena ia penurut, santun, dan setia pada majikan," kata Anna. Ternyata santun, setia, dan penurut tidak cukup bagi Yim Pek Ha, yang kemudian menjadi majikan Nirmala. Baru dua bulan bekerja, Nirmala merasakan?awalnya hanya karena memecahkan gelas?betapa apartemen di Villa Putera, Jalan Tun Ismail, itu segera berubah menjadi neraka.
Ia disiram Yim Pek dengan air panas hingga kulitnya melepuh. Setelah itu muncullah rangkaian perlakuan yang tak masuk kamus peradaban, misalnya disetrika sampai jangat terkelupas. Kekejian itu mungkin terus berlangsung jika Nirmala tak mengambil kesempatan membuang sampah, Senin dua pekan lalu, setelah Yim Pek puas menyiksanya hari itu. "Saya lari dengan wajah dan pakaian penuh ceceran darah," kata Nirmala kepada TEMPO.
Karena bingung, ia sempat naik ke lantai 26, sebelum akhirnya menangis panik. Satpam apartemen yang menemukannya segera menelepon polisi. Esoknya, Yim Pek Ha ditahan kepolisian setempat. Sambil berobat dan menunggu pulang, Nirmala kini menyiapkan diri untuk persidangan yang mungkin akan berlangsung hingga akhir Juli mendatang. Namun tampaknya mendung masih menggayut di atas kepalanya.
Pekan lalu, Guang Ming Daily, sebuah koran berbahasa Cina, menurunkan liputan utama tentang kesaksian Fermina Anunu, seorang TKI yang mengaku sepupu Nirmala. Menurut Fermina, yang dikutip koran tersebut, ketika di Indonesia ia sering melihat Nirmala membenturkan kepala ke dinding, agak sakit jiwa, serta tak jarang menyakiti diri sendiri. Benarkah?
"Saya tak tahu siapa dia," kata Bire. Menurut dia, marga Anunu tidak terdapat di Kupang. "Ada juga di Molo, jauh di utara." Pengakuan Fermina memang mencurigakan. Ketika dihubungi TEMPO, ia mengaku sepupu Nirmala, tetapi tak tahu siapa ayah dan ibu Nirmala. Ia juga tak bisa berbahasa daerah Kupang. Yang lebih parah, menurut dia, Kupang itu terletak di Jawa Timur....
Darmawan Sepriyossa, Dody Hidayat (Kuala Lumpur), Faisal Assegaf, dan Jems de Fortuna (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo