ORANG hidup berebut tanah dengan orang mati. Ini sekarang yang terjadi di Shenhu, sebuah kota di Negeri Cina. Seperti disiarkan kantor berita Cina, Xinhua, dan dikutip Reuters, akhir Agustus lampau, dalam lima tahun ini di situ sudah 60 ribu kuburan digusur, sebagai upaya memperluas tanah untuk lahan pertanian. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, kota itu nyaris menjadi panorama kuburan yang sarat dengan pernik-pernik. Sebab, petaninya menjadi lebih makmur setelah adanya kebijaksanaan pasar bebas. Mereka kaya raya, dan tetap ingin menikmati hartanya itu sekalipun setelah mati. Kalangan petani tua setempat rupanya sudah menetapkan cara penguburan serta luas kapling makamnya. Sehingga, banyak lahan pertanian tersita. Akibatnya, banyak sekali tanah menjadi tidak produktif. ''Sejak zaman dulu, keperluan ruang bagi yang hidup dan yang mati seakan terus berkejaran,'' kata Yang Chengcan, administrator Kota Shenhu. Memang, selama berabad-abad sudah jadi semacam adat di kalangan kaum tani setempat untuk dimakamkan dengan upacara serba-wah. Tak peduli keluarga yang ditinggal bakal dililit utang. Tradisi inilah yang kini digedor. Caranya, sebuah gedung berlantai delapan dibangun di pantai timur kota itu, terletak di kawasan pertamanan. Di gedung itu disediakan fasilitas kremasi dan penyimpanan abu si mati. Biaya kremasi dan penguburan di situ adalah sekitar 100 dolar AS atau Rp 200.000. Ini jauh lebih irit dibandingkan dengan ongkos upacara tradisional, yang mencapai Rp 50 juta lebih. ''Kalau mau selangkah lebih dekat ke surga, dengan ongkos murah pula, kremasikan jenazah Anda dan berkubur di gedung ini,'' begitu lebih-kurang promosi yang kini tengah dilansir di sana. Belum dilaporkan apa tanggapan warga kota setempat. Sentana tawarannya bukan sekadar ke dekat surga, tentu banyak yang tergiur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini