Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun menjabat presiden, Susilo Bambang Yudhoyono baru sebulan terakhir terlihat lebih intim dengan wartawan yang bertugas di Istana: entah mengajak guyon atau diskusi, entah sekadar bertanya isu-isu terbaru. Jumat pekan lalu, misalnya, Yudhoyono meninggalkan Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam di ruang kerjanya dan menghampiri puluhan wartawan di depan pintu. Kepada mereka, Presiden bertanya tentang situasi selepas pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Pertemuan di rumah Mega di Jalan TeuÂku Umar, Jakarta Pusat, itu terjadi sehari setelah Aburizal berjumpa dengan Yudhoyono di Istana dan membahas poros baru. Alih-alih menjawab, para pewarta balik bertanya tentang nasib pemenang konvensi calon presiden Partai Demokrat. Juga kelanjutan poros baru yang dirintis Demokrat-Golkar. Ketua Umum Partai Demokrat itu menjawab pendek, "Demokrat tahu dirilah. Dengan 10 persen suara nasional, kami tak bisa berbuat banyak."
Menjelang tenggat penutupan pendaftaran calon presiden yang berlangsung Selasa pekan ini, Yudhoyono tak lagi punya banyak pilihan: dia harus mengusung calon presiden sendiri melalui poros baru atau bergabung dengan koalisi yang sudah dibentuk. Posisi sulit itu diakuinya ketika dia berpidato di kantor partainya pada Jumat pekan lalu. Acara yang seharusnya mengumumkan pemenang konvensi itu berubah menjadi pidato penjelasan Yudhoyono.
Menurut Yudhoyono, modal suara nasional Demokrat yang hanya 10,9 persen memaksa partai ini tak bisa mengusung calon presiden sendiri. Dahlan Iskan, si pemenang konvensi, elektabilitasnya hanya 2,9 persen—jauh dari potensi keterpilihan Joko Widodo dengan 45 persen, Prabowo Subianto 35 persen, dan Aburizal Bakrie 9 persen. "Saya bangga, tapi ini pahit karena elektabilitas tak setinggi capres papan atas," kata Yudhoyono.
Kondisi itu cukup menyulitkan Demokrat. Selain tak bisa mencalonkan diri, partai ini kerepotan menyorongkan nama peserta konvensi sebagai calon wakil presiden. Lagi pula banyak partai sudah menyokong dua koalisi besar: Jokowi, yang didukung PDIP, NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa, dan Prabowo, yang disokong Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Koalisi ini juga akan menyorongkan Hatta Rajasa—besan Yudhoyono yang juga Ketua Umum PAN—sebagai calon wakil presiden.
Itulah mengapa Yudhoyono melontarkan gagasan poros baru kepada petinggi Golkar saat mereka bertemu di Istana pada Rabu pekan lalu. Pertemuan satu setengah jam itu, menurut Aburizal Bakrie, hanya penjajakan awal kemungkinan opsi poros ketiga—tanpa nama tokoh yang diajukan. "Ibarat sepak bola, dengan masa injury time, kami ingin mencetak gol," ucap Ical—panggilan Aburizal.
Walhasil, menurut Wakil Ketua Umum Golkar M.S. Hidayat, pertemuan itu hanya menyepakati pembentukan tim kecil untuk membahas format koalisi. Tiga utusan Golkar, yaitu M.S. Hidayat, Sharif Cicip, dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham, bertemu hari itu juga dengan tiga petinggi Demokrat: Ketua Harian Demokrat Syariefuddin Hasan, Sekretaris Majelis Tinggi Jero Wacik, dan Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas.
Tim enam menggelar rapat maraton di rumah Hidayat dan berpindah ke sejumlah tempat hingga Sabtu pekan lalu. Konsep tim enam akan diajukan ke rapat pimpinan nasional tiap partai, yang akan berlangsung Ahad. "Tugas kami merumuskan konsep penjajakan koalisi," kata Hidayat.
April lalu, desakan membuat poros baru sebetulnya sudah dilontarkan banyak pihak kepada Yudhoyono, tapi ia tak merespons. Termasuk dari sejumlah politikus Sekretariat Gabungan, koalisi yang dibentuk Yudhoyono pada awal pemerintahan. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa—dia ketua tim sukses Yudhoyono pada 2009—mengaku menjajaki PKB, Golkar, dan PKS.
Hatta mengatakan kepada Tempo bahwa ia sempat dua kali menunda rapat kerja nasional untuk menjajaki kemungkinan pembicaraan poros baru. Namun pembicaraan buntu ketika menyangkut calon presiden yang akan diusung. "Akibatnya, banyak partai tak sabar dan membuat mereka bergerak ke poros yang ada," ujar Hidayat.
Sigi elektabilitas peserta konvensi oleh tim survei pada 7 Mei lalu mencerminkan hasil yang tak akan banyak mengubah peta. "Tak beda jauh dengan survei terakhir," kata orang dekat Yudhoyono ini.
Walhasil, banyak yang bertanya mengapa keputusan konvensi baru diumumkan sepekan kemudian. Yudhoyono, menurut satu orang dekatnya, agaknya sengaja mengulur waktu demi mendekati kubu Jokowi. Beragam cara dijajal untuk mencairkan hubungan Yudhoyono-Megawati, yang membeku selama 10 tahun terakhir. Mega bergeming. "Jika mereka bertemu, saya tidak serepot ini," ujar Hatta.
Itulah sebabnya Yudhoyono sempat menutup pintu bagi Gerindra. Pintu baru terbuka setelah Hatta menyampaikan keinginan partainya: berpasangan dengan Prabowo Subianto. Karena itu, menurut orang dekat Yudhoyono, opsi-opsi poros baru muncul kembali dengan menyorongkan nama-nama baru, antara lain Soekarwo dan Hatta. Nama Gubernur Jawa Timur itu diajukan kelompok Brighten Institute, kawan lama Yudhoyono.
Dianggap kader Demokrat yang berhasil, Soekarwo sempat diusulkan menjadi pendamping Aburizal Bakrie. Diduetkan dengan Hatta, Soekarwo dianggap bisa menyaingi Jokowi. Upaya ini gagal karena Hatta dan PAN sudah telanjur ke kubu Prabowo. Soekarwo sendiri menolak berbicara wacana duet itu. "Enggak ada itu. Pak Hatta sudah dengan Gerindra," ujarnya.
Nama lain adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ketua Harian Demokrat Syarief Hasan mengatakan nama Sultan dibahas dalam rapat Majelis Tinggi di Puri Cikeas, Bogor, pada Selasa pekan lalu. Sultan dipilih karena elektabilitasnya dipandang bisa menyaingi Prabowo dan Jokowi—menurut sigi Lingkaran Survei Indonesia.
Salah seorang anggota Majelis Tinggi menyebutkan Yudhoyono sempat menyatakan permintaan itu saat dia bertemu dengan Sultan Yogya pada 8 Mei lalu. Bahkan Yudhoyono, menurut sumber yang sama, sudah menyampaikannya kepada Aburizal Bakrie. Aburizal disebut-sebut bisa menerima, tapi tak bisa menjamin apakah nama itu bakal sukses disokong kader internal Golkar. "Sultan dianggap sudah lama tak mengurusi Golkar," katanya.
Dia menambahkan, nama Sultan diajukan karena dianggap efektif membetot Golkar yang mati angin menjadi mitra koalisi Demokrat sekaligus meraup suara Jokowi di Pulau Jawa. Maka salah satu politikus Demokrat diutus membujuk Sultan untuk menerima tawaran Demokrat dan Golkar. Sultan membantah. Ia mengaku tak membahas apa pun soal ini dengan Yudhoyono. "Urusan kayak begitu harus ada pembahasan detail," ujar Sultan.
Jadi siapa tokoh yang solid dari poros baru? Tim enam alot bersidang membahas sejumlah opsi, termasuk duet Aburizal BaÂkrie dengan Pramono Edhie Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat, ipar YuÂdhoyono. Duet itu dibawa ke rapat pimÂpinan nasional kedua partai pada 18 Mei ini.
Aburizal Bakrie mencatat segala opsi belum terkunci hingga menit terakhir pada Selasa pekan ini. Bisa jadi keputusan rumit poros baru bakal diambil dengan sederhana. Seperti menebak jumlah kancing kemeja.
Agustina Widiarsi, Fransisco Rosarians, Reza Aditya, Pito Agustin Rudiana, Agita Sukma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo