Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiki Verico*
Jika diletakkan dalam bingkai ekonomi kawasan, pendapatan per kapita Indonesia per tahun berada dalam kategori yang sama dengan Filipina, Vietnam, dan Laos. Empat negara ini masuk kategori negara berpendapatan "menengah ke bawah", yaitu antara US$ 1.036 dan US$ 4.085. Di atas kelompok ini, ada kategori negara berpendapatan "menengah ke atas", yaitu Malaysia dan Thailand, serta negara berpendapatan "tinggi", yakni Singapura dan Brunei.
Fakta menarik terlihat ketika membandingkan proporsi jumlah penduduk tiap negara terhadap jumlah penduduk ASEAN dengan proporsi jumlah nilai tambah produk domestik bruto (PDB) tiap negara terhadap total PDB ASEAN. Negara ASEAN yang masuk kategori "berpendapatan tinggi dan berpendapatan menengah ke atas" memiliki proporsi PDB terhadap total PDB ASEAN yang lebih besar dari proporsi jumlah penduduk terhadap total penduduk ASEAN.
Sebaliknya, negara yang "berpendapatan menengah ke bawah dan berpendapatan rendah" memiliki proporsi jumlah penduduk terhadap total penduduk ASEAN yang lebih besar daripada proporsi PDB-nya terhadap total PDB ASEAN. Perbandingan dua angka tersebut biasanya digunakan untuk melihat produktivitas suatu negara.
Thailand dan Indonesia bisa menjadi contoh. Proporsi PDB Thailand terhadap total PDB ASEAN adalah 16 persen, sementara proporsi jumlah penduduk Thailand terhadap total penduduk ASEAN adalah 11 persen. Maka rata-rata produktivitas Thailand di ASEAN, yakni perbandingan proporsi nilai tambah dan proporsi jumlah penduduk, mencapai lebih besar dari satu, yaitu 1,45. Sebaliknya, Indonesia memiliki proporsi jumlah penduduk terhadap total penduduk ASEAN sebesar 41 persen, lebih besar daripada proporsi PDB Indonesia terhadap total PDB ASEAN sebesar 38 persen. Alhasil, rata-rata produktivitas Indonesia di ASEAN lebih kecil dari satu, yaitu 0,93.
Produktivitas negara dalam kawasan di bawah satu tidak selalu identik dengan rendahnya pendapatan per kapita, tapi berpengaruh pada kesenjangan antarnegara anggota. Bila dibandingkan dengan Uni Eropa, kesenjangan ekonomi ASEAN cukup tinggi. Uni Eropa hanya memiliki dua kategori negara, yaitu berpendapatan tinggi dan menengah ke atas. Sedangkan ASEAN memiliki semua kategori negara, dari berpendapatan tinggi, menengah ke atas, menengah ke bawah, hingga berpendapatan rendah.
Dalam menyambut era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, upaya mengurangi kesenjangan ini menjadi sangat penting. Negara yang masih masuk kelompok berpendapatan "menengah ke bawah dan rendah" sebaiknya mencapai postur ekonomi ideal dengan proporsi nilai tambah yang lebih besar daripada proporsi jumlah penduduk. Postur ideal ini juga penting bagi Indonesia karena, secara nominal, Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara baik dari sisi PDB maupun jumlah penduduk.
Maka meningkatkan PDB menjadi penting bagi Indonesia agar produktivitasnya terhadap kawasan ini juga naik. Salah satunya dengan menggenjot ekspor. Menggunakan kombinasi perhitungan selisih nilai ekspor dan impor (net export) dan indeks daya saing (revealed comparative advantage/RCA) pada data perdagangan (harmonized system) diketahui bahwa Indonesia unggul dengan surplus ekspor dan nilai RCA lebih dari satu pada ekspor hasil alam, seperti pertanian, makanan, pertambangan, dan industri padat karya, misalnya tekstil dan pakaian.
Dengan kondisi seperti itu, performa neraca perdagangan Indonesia selalu surplus. Namun, pada 2012, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan. Menurut perhitungan penulis, sektor unggulan yang paling terpukul adalah tekstil dan hampir semua sektor non-unggulan memiliki angka RCA lebih kecil dari satu, seperti industri pengolahan, besi baja, mesin produksi, kimia, farmasi, telekomunikasi, elektronik, transportasi, dan otomotif.
Ihwal defisit ini, Indonesia perlu memikirkan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya saing industri berbasis keunggulan nasional, seperti industri hasil pertanian, pertambangan, industri padat karya, dan industri berbasis potensi input yang langka, misalnya industri manufaktur. Meningkatkan input produksi yang langka adalah langkah awal untuk bisa bersaing dengan produk impor di pasar lokal dan ekspor di pasar global (Rybczynski, 1955).
Ada banyak cara. Yang sudah pasti adalah dengan meningkatkan produktivitas industri dalam negeri. Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2012 menunjukkan 30 persen nilai tambah ekspor dunia berasal dari hasil industri manufaktur, sementara kontribusi ekspor industri manufaktur nasional terhadap total ekspor Indonesia hanya 19 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata dunia. Harus diperhatikan bahwa industri yang dimaksud adalah industri formal. Artinya, Indonesia mesti meningkatkan kontribusi sektor industri terhadap total ekspor.
Data Susenas tahun 2012 triwulan III menunjukkan bahwa proporsi pekerja menurut status pekerjaan masih didominasi sektor informal sebesar 64 persen. Rendahnya kontribusi ekspor hasil industri manufaktur dan tingginya proporsi pekerja sektor informal menunjukkan masih rendahnya daya saing industri nasional dan serapan pekerja sektor industri serta belum optimalnya penerimaan pajak. Kualitas pekerja pun masih didominasi tenaga non-ahli (unskilled labour) dengan 75 persen tenaga kerja hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama ke bawah. Inilah mengapa fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan menjadi sangat penting bagi pembangunan.
Langkah penting lain adalah menyediakan infrastruktur fisik yang memadai dengan institusi yang bersih, transparan, dan efisien serta peraturan yang jelas dan tidak tumpang-tindih. Selain reformasi birokrasi dan perlunya wakil rakyat yang baik, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sangat penting pada poin ini. Menjaga penerimaan negara dan alokasi pengeluaran negara sehingga optimal untuk pembangunan memang sangat diperlukan.
Upaya lain adalah dengan meningkatkan investasi, terutama terkait dengan MEA, yang akan diterapkan pada 2015. Menurut data investasi jangka panjang (FDI) ASEAN pada 2011, Indonesia adalah negara tujuan investor ASEAN. Proporsi investasi negara ASEAN di Indonesia mencapai 43 persen atau hampir tiga kali lebih tinggi dari rata-rata proporsi investasi ASEAN di ASEAN sebesar 15 persen. Salah satu titik berat MEA adalah mendorong transformasi ekonomi kawasan dari perdagangan (intra-regional trade) ke investasi (intra-regional investment). Poin ini membuat posisi Indonesia semakin strategis di Asia Tenggara.
Selain tiga upaya di atas, ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, defisit neraca perdagangan melahirkan semangat "proteksi" produk lokal. Instrumen kuota bahkan sempat menjadi pilihan pemerintah. Namun harus dipahami bahwa proteksi membuka peluang terganggunya ekspor nasional apabila terjadi "aksi balasan" dari negara mitra dagang yang terkena dampak proteksi. Ini akan menurunkan nilai ekspor dan pertumbuhan ekonomi kedua negara yang melakukan proteksi (Bhagwati, 1958).
Selain itu, inovasi, riset, dan kewirausahaan di sektor industri formal membutuhkan adanya persaingan yang sehat dan bukan proteksi (Porter, 1990). Pilihan kebijakan yang tepat adalah dengan menciptakan iklim usaha yang meningkatkan daya saing produsen lokal untuk, dalam jangka pendek, memenuhi permintaan dalam negeri dan dalam jangka panjang meningkatkan ekspor (Vernon, 1966).
Kedua, Indonesia harus berfokus pada peningkatan daya saing, bukan pada upaya mencari sektor dan komoditas apa yang akan "diunggulkan" (picking the winner). Intinya, pemerintah Indonesia harus mengupayakan bagaimana agar setiap kebijakan dapat mendorong produsen lokal untuk mau dan mampu bersaing, baik di pasar lokal maupun global. Hanya dengan berbagai langkah di atas, Indonesia akan mampu bertarung di era Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan.
*) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Peneliti LPEM FEUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo