Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Teknologi Masuk Timika

Desa pemukiman penduduk asli sekitar tembagapura (suku amunge yang digusur PT. Freeport ind) di desa timika, akan dimasukkan dalam program badan pengkajian & pengembangan teknologi (BPPT). (ds)

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita tentang sebuah desa di Irian Jaya. Namanya Timika, tak jauh dari Teluk Jos Soedarso di Kabupaten Fakfak. Desa ini sekitar 90 km di bawah Tembagapura di kaki Gunung Bijih (dulu Ertsberg). Gunung yang kaya dengan tembaga itu merupakan satu di antara gunung-gunung di sebelah selatan Puncak Soedirman (Puncak Wilhelmina). Desa yang berdiri sejak 1974 ini adalah pemukiman penduduk asli sekitar Tembagapura, yaitu suku Amungme. Karena Tembagapura kini dijadikan kota dan pusat penambangan tembaga oleh PT Freeport Indonesia. Di Timika setiap kk mendapat pembagian 2 ha tanah untuk rumah, pekarangan dan pertanian. Sedang sistem pemerintahan dan sarana lainnya di desa itu masih dalam tahap penataan. Tapi akhir tahun lalu Menteri Ristek Dr. J. Habibie berkunjung ke sana dan tertarik untuk mengembangkan desa tersebut. Malah ia bermaksud memasukkan Timika dalam program Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) yang diketuainya. "Desa Timika itu nanti akan dijadikan proyek percontohan bagi desa-desa pemukiman lainnya," kata Ir. Haryono Djoened Poesponegoro, Kepala Direktorat Pengembangan Teknologi BPPT. Untuk itu selain Pemda Irian Jaya dan Freeport Indonesia, BPPT sendiri menyediakan dana Rp 150 juta untuk mengembangkan Timika sebagai desa pertanian -- selama lima tahun sejak awal tahun ini. BPPT sendiri pernah menangani proyek pemanfaatan sumber energi matahari untuk memenuhi kebutuhan akan air dan listrik di Desa Picon dan Cituis keduanya di Jawa Barat. Penelitian-penelitian memang masih terus dilakukan BPPT di Timika. "Kesuburan tanah di sana termasuk kelas tiga, rendah sekali. Karena itu BPPT akan membantu Pemda dalam pengembangan tataguna tanah dan air," tutur Ir. Darmawan, pejabat dari BPPT yang menjadi koordinator pengembangan Desa Timika. Suku Amungme di Timika selama ini sudah mengenal pertanian dan cara beternak meskipun dengan cara yang sangat tradisional. Hasil mereka antara lain sayur bayam, kacang-kacangan, ayam. Dalam waktu pendek BPPT berusaha memperkenalkan cara bertani, beternak dan memelihara ikan dengan cara yang tentu masih baru bagi mereka. Namun usaha menurunkan penduduk dari pegunungan sekitar Tembagapura ke Timika cukup sulit. "Pada hari pertama, ketika limapuluh kk diturunkan dan dimukimkan di Timika, mereka tidak betah," cerita Darmawan. Timika memang berhawa panas, sedang Tembagapura berhawa dingin. "Baru sehari di Timika mereka pulang. Kemudian terpaksa dijemput lagi dengan Jip. Ini dilakukan beberapa kali. Sekarang sudah 36 kk mulai betah di Timika," tambah Darmawan. Bisa dimaklum kalau penduduk asli pegunungan itu tidak kerasan. Selain karena alasan suhu yang mereka rasakan panas, bentuk rumah buatan Pemda ternyata tak nyaman bagi mereka. Mungkin karena terlalu sederhana. Bentuknya cuma serupa gubuk beratap bulat menyerupai honei, rumah asli Irian dan berlantai tanah. Padahal di tempat asal mereka biasa tinggal di rumah-rumah panggung berlantai kayu. "Badan sakit. Sakit-sakit," kata seorang wanita penghuni salah satu rumah di sana. "Susah tidur, tolong kasih tau," katanya lagi kepada TEMPO dalam bahasa Indonesia patah-patah, sambil menunjuk lantai tanah tempatnya tidur. Anak-anak di sini sudah mulai suka berpakaian, sedikit yang masih menyandang koteka (bagi lelaki) atau yalu alias more (semacam rok berumbai-rumbai bagi perempuan). Anak-anak itu umumnya berperawakan lebih kecil dari ukuran usianya, mungkin karena kekurangan gizi. Mereka juga sudah bersekolah, di 'kelas apa adanya'. Artinya sekolah yang belum teratur. Pengembangan Desa Timika yang luasnya meliputi 10 ha itu secara bergilir ditangani oieh beberapa sarjana yang masih muda usia. Tapi mereka juga dibantu oleh beberapa staf ahli, antara lain ahli bahasa penduduk setempat seperti Dr. Ayamiseba dari Universitas Cenderawasih (Jayapura) dan ahli pertanian Prof. Dr. Sayogyo dari IPB (Bogor) dan sarjana perikanan dari Universitas Pattimura (Ambon).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus