INI cerita tentang sebuah desa di Irian Jaya. Namanya Timika,
tak jauh dari Teluk Jos Soedarso di Kabupaten Fakfak. Desa ini
sekitar 90 km di bawah Tembagapura di kaki Gunung Bijih (dulu
Ertsberg). Gunung yang kaya dengan tembaga itu merupakan satu di
antara gunung-gunung di sebelah selatan Puncak Soedirman (Puncak
Wilhelmina).
Desa yang berdiri sejak 1974 ini adalah pemukiman penduduk asli
sekitar Tembagapura, yaitu suku Amungme. Karena Tembagapura kini
dijadikan kota dan pusat penambangan tembaga oleh PT Freeport
Indonesia. Di Timika setiap kk mendapat pembagian 2 ha tanah
untuk rumah, pekarangan dan pertanian. Sedang sistem
pemerintahan dan sarana lainnya di desa itu masih dalam tahap
penataan.
Tapi akhir tahun lalu Menteri Ristek Dr. J. Habibie berkunjung
ke sana dan tertarik untuk mengembangkan desa tersebut. Malah ia
bermaksud memasukkan Timika dalam program Badan Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi (BPPT) yang diketuainya.
"Desa Timika itu nanti akan dijadikan proyek percontohan bagi
desa-desa pemukiman lainnya," kata Ir. Haryono Djoened
Poesponegoro, Kepala Direktorat Pengembangan Teknologi BPPT.
Untuk itu selain Pemda Irian Jaya dan Freeport Indonesia, BPPT
sendiri menyediakan dana Rp 150 juta untuk mengembangkan Timika
sebagai desa pertanian -- selama lima tahun sejak awal tahun
ini.
BPPT sendiri pernah menangani proyek pemanfaatan sumber energi
matahari untuk memenuhi kebutuhan akan air dan listrik di Desa
Picon dan Cituis keduanya di Jawa Barat. Penelitian-penelitian
memang masih terus dilakukan BPPT di Timika. "Kesuburan tanah di
sana termasuk kelas tiga, rendah sekali. Karena itu BPPT akan
membantu Pemda dalam pengembangan tataguna tanah dan air," tutur
Ir. Darmawan, pejabat dari BPPT yang menjadi koordinator
pengembangan Desa Timika.
Suku Amungme di Timika selama ini sudah mengenal pertanian dan
cara beternak meskipun dengan cara yang sangat tradisional.
Hasil mereka antara lain sayur bayam, kacang-kacangan, ayam.
Dalam waktu pendek BPPT berusaha memperkenalkan cara bertani,
beternak dan memelihara ikan dengan cara yang tentu masih baru
bagi mereka.
Namun usaha menurunkan penduduk dari pegunungan sekitar
Tembagapura ke Timika cukup sulit. "Pada hari pertama, ketika
limapuluh kk diturunkan dan dimukimkan di Timika, mereka tidak
betah," cerita Darmawan. Timika memang berhawa panas, sedang
Tembagapura berhawa dingin. "Baru sehari di Timika mereka
pulang. Kemudian terpaksa dijemput lagi dengan Jip. Ini
dilakukan beberapa kali. Sekarang sudah 36 kk mulai betah di
Timika," tambah Darmawan.
Bisa dimaklum kalau penduduk asli pegunungan itu tidak kerasan.
Selain karena alasan suhu yang mereka rasakan panas, bentuk
rumah buatan Pemda ternyata tak nyaman bagi mereka. Mungkin
karena terlalu sederhana. Bentuknya cuma serupa gubuk beratap
bulat menyerupai honei, rumah asli Irian dan berlantai tanah.
Padahal di tempat asal mereka biasa tinggal di rumah-rumah
panggung berlantai kayu.
"Badan sakit. Sakit-sakit," kata seorang wanita penghuni salah
satu rumah di sana. "Susah tidur, tolong kasih tau," katanya
lagi kepada TEMPO dalam bahasa Indonesia patah-patah, sambil
menunjuk lantai tanah tempatnya tidur.
Anak-anak di sini sudah mulai suka berpakaian, sedikit yang
masih menyandang koteka (bagi lelaki) atau yalu alias more
(semacam rok berumbai-rumbai bagi perempuan). Anak-anak itu
umumnya berperawakan lebih kecil dari ukuran usianya, mungkin
karena kekurangan gizi. Mereka juga sudah bersekolah, di 'kelas
apa adanya'. Artinya sekolah yang belum teratur.
Pengembangan Desa Timika yang luasnya meliputi 10 ha itu secara
bergilir ditangani oieh beberapa sarjana yang masih muda usia.
Tapi mereka juga dibantu oleh beberapa staf ahli, antara lain
ahli bahasa penduduk setempat seperti Dr. Ayamiseba dari
Universitas Cenderawasih (Jayapura) dan ahli pertanian Prof. Dr.
Sayogyo dari IPB (Bogor) dan sarjana perikanan dari Universitas
Pattimura (Ambon).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini