TEMPO.CO, Solo - Perkumpulan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat atau Migrant Care menemukan para calon kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2024 belum memahami secara utuh dan terkesan parsial perihal persoalan pekerja migran dan agenda pelindungannya di daerah.
Selain itu, selama proses kampanye dan pemungutan suara mereka juga menemukan kecurangan dan pelanggaran pemilu di tiap daerah. "Hampir seluruh daerah, pasangan calon beserta tim pemenangannya menormalisasi politik uang," kata Trisna, perwakilan Migrant Care dalam konferensi pers Laporan Masyarakat Sipil Indonesia ke Committee on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (CMW) yang digelar di Solo, Jawa Tengah, Senin, 2 Desember 2024.
Migrant Care selama Pilkada 2024 telah melakukan pemantauan di beberapa wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pekerja migran. Ada tujuh wilayah yaitu di Indramayu, Jawa Barat; Kebumen dan Wonosob di Jawa Tengah; Jember dan Banyuwangi di Jawa Timur; Lombok Nusa Tenggara Barat; serta Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Pemantauan dilakukan lantaran Migrant Care memiliki beberapa catatan dari pelaksanaan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 lalu. Catatan itu antara lain adalah adanya praktik culas yang memanfaatkan sumber daya negara dalam memperoleh kemenangan.
"Melalui pemantauan, kami juga melakukan dialog politik yang mengundang pasangan calon di Pilkada 2024, agar kami bisa melihat dan memastikan kapabilitas dan perspektifnya. Ini berguna bagi tahapan awal advokasi kami," ujar dia.
Trisna mengatakan, praktik politik uang umum terjadi di beberapa wilayah itu. Namun, mereka bisa lolos dari sanksi karena memanfaatkan celah undang-undang.
Hal tersebut diperparah dengan penggunaan fasilitas dan aparatur negara sebagai pelaku pelanggaran pilkada. Perangkat desa termasuk RT RW, pemerintah kecamatan, Kepolisian, bahkan dinas-dinas di lingkup pemerintah daerah diduga melakukan kecurangan secara masif untuk mengarahkan dukungan pada salah satu pasangan calon.
"Kami sangat menyayangkan praktik ini dan minimnya tindakan dari aktor pengawas pemilu. Karakter culas kecurangan pada Pemilu 2024 dilanjutkan secara lebih masif yang diprakarsai oleh aktor-aktor di wilayah," kata dia.
Senior Program Manager Migrant Care Mulyadi menambahkan temuan berkaitan dengan maraknya praktik politik uang terjadi di semua daerah yang mereka pantau.
"Beberapa temuan yang kami pantau ini terutama bahwa money politics itu masih banyak terjadi di hampir semua daerah. Wujudnya dari mulai sembako, kemudian duit, hingga bantuan-bantuan lain. Itu masih terjadi," kata dia saat ditemui seusai konferensi pers.
Mulyadi memastikan temuan-temuan yang berkaitan dengan politik uang dan pelanggaran lainnya itu telah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.
"Tentu saja temuan-temuan itu kami laporkan ke Bawaslu. Kalau dari jumlahnya cukup banyak," ucap dia.
Lalu temuan kedua, berkaitan dengan akses bagi para pekerja migran, termasuk pekerja migran disabilitas untuk bisa menyalurkan hak pilih mereka saat tahapan pemungutan suara.
"Untuk akses, dari KPU ke teman-teman pekerja migran itu cukup bagus. Artinya secara tahapan pencoblosan sudah ada fasilitas yang memudahkan pekerja migran, termasuk pekerja migran yang disabilitas, contoh bagi penderita hemodialisa, ada petugas dari KPU yang secara aktif datang ke tempat pemilih, membantu memudahkan si pemilih untuk mencoblos," kata Mulyadi.
Namun, temuan lain menunjukkan ada banyak pekerja migran yang tidak bisa menyalurkan hak pilihnya lantaran saat tahap pemungutan suara sudah berada di negara tempat mereka bekerja. Padahal nama mereka juga masih masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan memiliki KTP asal atau domisili.
Ia mencontohkan ada buruh migran yang beralamat di Sragen, Jawa Tengah. Dia baru berangkat sekitar 3-4 lalu ke negara tujuannya bekerja. Dan saat waktu pencoblosan pada 27 November 2024 lalu, mereka akhirnya tak bisa mencoblos.
Berbeda dengan saat Pilpres 2024 lalu, para pekerja migran bisa menyalurkan hak pilihnya karena KPU menyediakan TPS di luar negeri. Namun dalam Pilkada hal ini tidak ada, sehingga para pekerja migran tak bisa mencoblos meski mereka masih masuk dalam daftar pemilih tetap di daerah asalnya.
"Itu yang kemarin kami usulkan, harus ada mekanisme sehingga Pilkada juga bisa diakses oleh teman-teman pekerja migran yang bekerja di luar negeri," ujar Mulyadi.
Dalam proses pemantauan tersebut, kata Mulyadi, Migrant Care mengikutsertakan perempuan purna pekerja migran untuk memantau secara aktif pada tiap tahapan pelaksanaan Pilkada 2024. Migrant Care juga mendaftarkan diri sebagai pemantau independen ke KPU di daerah masing-masing sehingga posisi dan legalitas mereka diakui secara formal.