Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Impian silalahi

Bupati simalungun b.f. silalahi ingin membangun jalan tembus sepanjang 27 km, kecamatan raya kahean-silaukahean: bupati menjajaki dengan melakukan ekspedisi. (dh)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jabatan Bupati Simalungun, BF Silalahi SH, tinggal 6 bulan lagi. Tapi dalam usia 55 tahun sekarang, masih banyak yang ia pikirkan. Misalnya mengusulkan pembuatan jalan lingkar mengelilingi danau Toba. Meski kabarnya pemerintah pusat sudah setuju, impian Silalahi belum sempat terlaksana. "Sebelum masa jabatan saya habis, mau saya masalah sarana jalan sudah tuntas terselesaikan," kata Silalahi. Tentu hal itu tidak mungkin sebab ia cuma punya kesempatan 6 bulan lagi saja. Niat Silalahi memang terpuji tapi mengingat kesempatan dan besarnya biaya, rasanya sulit dilaksanakan. Misalnya impian membangun jalan tembus sepanjang 27 km seharga Rp 1 milyar lebih. Jalan itu menghubungkan KecamatanRaya Kahean dan Silau Kahean, menembus hutan belukar yang masih perawan dan Pegunungan Bukit Barisan. Tapi kalau impian itu jadi terlaksana, memang bakal banyak daerah yang selama ini terkucil jadi terbuka. Untuk menjajaki kemungkinannya, 14 dan 15 November lalu Silalahi dan rombongan melakukan ekspedisi. Berangkat dengan mobil dari kantor bupati di Jalan Simarito, Pematang Siantar, sampai Desa Damak (Kecamatan Raya Kahean), perjalanan dilanjutkan jalan kaki. Tepat jam 10, setelah menempuh jarak 6 km, medannya mulai payah. Jalan setapak mendaki dengan kemiringan sangat terjal, licin lagi, menyusul jalan menurun terjal jauh ke bawah. Tak jarang anggota rombongan harus meluncurkan badan. Belum lagi menghadapi jurang-jurang dalam atau tanah perbukitan yang harus dilalui dengan cara merangkak atau melompat-lompat. Untung sejak dari kantor bupati, setiap anggota rombongan berbekal sebuah tongkat. Ini belajar dari pengalaman ekspedisi pertama tiga minggu sebelumnya. Tanah yang diinjak juga sering longsor, sedang perjalanan juga mesti dilanjutkan dengan membabat hutan lebih dulu. Jalan Berbukit Pada kilometer pertama masih terdengar gurauan atau nyanyian. Tapi makin dalam masuk ke lubuk hutan, tak seorang mampu bercakap. Dokter yang menyertai rombongan pun, kalau ada anggota rombongan yang payah, hanya sekedar mengobati sebentar kemudian mempersilakan jalan sendiri lagi. Tengah hari, ekspedisi mencapai sebuah desa yang berpenduduk 15 KK. Mereka istirahat 30 menit dan makan siang. Menjelang tengah malam, rombongan bermalam di tengah hutan. Di sini ternyata ada juga penduduk yang membuka perladangan Ini mengejutkan. Tapi sulitnya hubungan mengharuskan penduduk menempuh jalan berbelit untuk memasarkan hasil panen. Ini yang memprihatinkan Silalahi. Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan melalui medan yang lebih berat. Ancaman jatuh ke jurang makin sering menghadang. Akhirnya, sekitar pukul 3 sore 15 November, rombongan sampai di Kecamatan Silau Kahean. Dan kendaraan bermotor sudah siap menjemput. Kesimpulan ekspedisi ini: Raya Kahean dan Silau Kahean merupakan 2 dari 17 kecamatan di Kabupaten Simalungun yang paling terpencil. Sarana hubungan satu-satunya hanyalah kerbau. Atau Jalan kaki. Untuk memasarkan karet, kopi, padi dan jahe yang dihasilkan kedua kecamatan itu, penduduk terpaksa menyewa kerbau Rp 25/kg. Dan sampai di pasar, hasil yang diperoleh amat tipis. Belum lagi menghadapi para pengijon. "Ini sangat memberatkan mereka," ujar Silalahi. "Tapi apa boleh buat. Kalau tidak begitu mereka tidak bisa makan," sambut S. Saragih, Camat Raya Kahean. Untuk mencapai Pematang Siantar, ibukota Kabupaten Simalungun, lebih repot lagi. Orang dari Desa Parapat Huluan di Kecamatan Silau Kahean, misalnya, terpaksa lewat jalan panjang berbelit, bahkan melalui jalan di luar Simalungun sendiri. Padahal bila ditarik garis lurus jaraknya cuma 15 km. Begini. Mula-mula jalan kaki 17 km menuju terminal bis di Negeri Dolok. Di sini mesti berebut mengejar bis umum yang hanya sekali sehari menuju Tebing Tinggi. Itu pun cuma 2 biji bis saja. Kalau bis mogok, putuslah sudah perjalanan. Dan karena jalan-jalan belum diaspal, penuh hebatuan dan licin bila hujan, perjalanan menempuh jarak 62 km itu makan waktu 4 jam. Baru dari Tebing Tinggi orang bisa bebas naik bis setiap waktu ke Siantar. Jadi dari Parapat Haluan ke Siantar harus liwat Kabupaten Deli Serdang -- Kotamadya Tebing Tinggi -- ke Deli Serdang Kembali -- ke Simalungun -- baru Pematang Siantar. Itulah sebabnya Bupati Silalahi memimpikan sebuah jalan tembus. Peninggalan Belanda Impian Silalahi bukan itu saja. Ia mentargetkan Simalungun kembali menjadi lumbung padi bagi Sumatera Utara lalam Pelita III ini. Soalnya, dalam rapat koordinasi bimas/inmas se-Sumatera Utara, 5 November lalu, Gubernur EWP Tambunan mengungkapkan daerahnya masih memasukkan beras 136.000 ton tiap tahun. Padahal 70% dari 8 juta penduduk adalah petani. Sebab, selain laju pertambahan penduduk tak sebanding dengan produksi padi, juga ada kecenderungan petani beralih dari menanam padi ke tanaman komoditi ekspor seperti karet atau nilam. Malangnya, Simalungun dan Deli Serdang yang tahun 60an pernah menjadi lumbung padi -- mampu mengirim beras ke luar daerah sampai ratusan ton per tahun -- sejak 1970 produksi padinya merosot. Sebabnya banyak. Sarana irigasi peninggalan Belanda sudah pada tua. Tak kurang dari 80 ribu hektar sawah kehausan. Untuk mendapatkan 1 ton padi setiap hektar saja payah. Hingga untuk musim tanam 1977/78 tunggakan Bimas mencapai Rp 900 juta lebih. Ini tunggakan terbesar di Sum-Ut. Maka Bupati Silalahi pun berbenah. Irigasi diperbaiki, cara bertani intensif digalakkan. Sejak 1977 dibentuk kelompok petani yang disebut Pembinaan Perkumpulan Pemakai Air yang di sana juga lazim disebut Panriahan Pamokkahan, untuk memecahkan berbagai persoalan pertanian. Penanganan seperti itu berhasil memperbaiki keadaan: tunggakan bimas menurun jadi Rp 500 juta. "Dan kami sudah mampu mengirim beras ke lain daerah 50.000 ton tahun lalu," ujar Manson Sirait, Ka Humas Pemda Simalungun. Tampaknya baru impian mengembalikan Simalungun sebagai lumbung padi yang berhasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus