MASA jabatan Bupati Simalungun, BF Silalahi SH, tinggal 6 bulan
lagi. Tapi dalam usia 55 tahun sekarang, masih banyak yang ia
pikirkan. Misalnya mengusulkan pembuatan jalan lingkar
mengelilingi danau Toba. Meski kabarnya pemerintah pusat sudah
setuju, impian Silalahi belum sempat terlaksana.
"Sebelum masa jabatan saya habis, mau saya masalah sarana jalan
sudah tuntas terselesaikan," kata Silalahi. Tentu hal itu tidak
mungkin sebab ia cuma punya kesempatan 6 bulan lagi saja. Niat
Silalahi memang terpuji tapi mengingat kesempatan dan besarnya
biaya, rasanya sulit dilaksanakan. Misalnya impian membangun
jalan tembus sepanjang 27 km seharga Rp 1 milyar lebih.
Jalan itu menghubungkan KecamatanRaya Kahean dan Silau Kahean,
menembus hutan belukar yang masih perawan dan Pegunungan Bukit
Barisan. Tapi kalau impian itu jadi terlaksana, memang bakal
banyak daerah yang selama ini terkucil jadi terbuka. Untuk
menjajaki kemungkinannya, 14 dan 15 November lalu Silalahi dan
rombongan melakukan ekspedisi.
Berangkat dengan mobil dari kantor bupati di Jalan Simarito,
Pematang Siantar, sampai Desa Damak (Kecamatan Raya Kahean),
perjalanan dilanjutkan jalan kaki. Tepat jam 10, setelah
menempuh jarak 6 km, medannya mulai payah. Jalan setapak mendaki
dengan kemiringan sangat terjal, licin lagi, menyusul jalan
menurun terjal jauh ke bawah. Tak jarang anggota rombongan harus
meluncurkan badan.
Belum lagi menghadapi jurang-jurang dalam atau tanah perbukitan
yang harus dilalui dengan cara merangkak atau melompat-lompat.
Untung sejak dari kantor bupati, setiap anggota rombongan
berbekal sebuah tongkat. Ini belajar dari pengalaman ekspedisi
pertama tiga minggu sebelumnya. Tanah yang diinjak juga sering
longsor, sedang perjalanan juga mesti dilanjutkan dengan
membabat hutan lebih dulu.
Jalan Berbukit
Pada kilometer pertama masih terdengar gurauan atau nyanyian.
Tapi makin dalam masuk ke lubuk hutan, tak seorang mampu
bercakap. Dokter yang menyertai rombongan pun, kalau ada anggota
rombongan yang payah, hanya sekedar mengobati sebentar kemudian
mempersilakan jalan sendiri lagi. Tengah hari, ekspedisi
mencapai sebuah desa yang berpenduduk 15 KK. Mereka istirahat 30
menit dan makan siang.
Menjelang tengah malam, rombongan bermalam di tengah hutan. Di
sini ternyata ada juga penduduk yang membuka perladangan Ini
mengejutkan. Tapi sulitnya hubungan mengharuskan penduduk
menempuh jalan berbelit untuk memasarkan hasil panen. Ini yang
memprihatinkan Silalahi. Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan
melalui medan yang lebih berat. Ancaman jatuh ke jurang makin
sering menghadang.
Akhirnya, sekitar pukul 3 sore 15 November, rombongan sampai di
Kecamatan Silau Kahean. Dan kendaraan bermotor sudah siap
menjemput. Kesimpulan ekspedisi ini: Raya Kahean dan Silau
Kahean merupakan 2 dari 17 kecamatan di Kabupaten Simalungun
yang paling terpencil. Sarana hubungan satu-satunya hanyalah
kerbau. Atau Jalan kaki.
Untuk memasarkan karet, kopi, padi dan jahe yang dihasilkan
kedua kecamatan itu, penduduk terpaksa menyewa kerbau Rp 25/kg.
Dan sampai di pasar, hasil yang diperoleh amat tipis. Belum lagi
menghadapi para pengijon. "Ini sangat memberatkan mereka," ujar
Silalahi. "Tapi apa boleh buat. Kalau tidak begitu mereka tidak
bisa makan," sambut S. Saragih, Camat Raya Kahean.
Untuk mencapai Pematang Siantar, ibukota Kabupaten Simalungun,
lebih repot lagi. Orang dari Desa Parapat Huluan di Kecamatan
Silau Kahean, misalnya, terpaksa lewat jalan panjang berbelit,
bahkan melalui jalan di luar Simalungun sendiri. Padahal bila
ditarik garis lurus jaraknya cuma 15 km.
Begini. Mula-mula jalan kaki 17 km menuju terminal bis di Negeri
Dolok. Di sini mesti berebut mengejar bis umum yang hanya sekali
sehari menuju Tebing Tinggi. Itu pun cuma 2 biji bis saja.
Kalau bis mogok, putuslah sudah perjalanan. Dan karena
jalan-jalan belum diaspal, penuh hebatuan dan licin bila hujan,
perjalanan menempuh jarak 62 km itu makan waktu 4 jam.
Baru dari Tebing Tinggi orang bisa bebas naik bis setiap waktu
ke Siantar. Jadi dari Parapat Haluan ke Siantar harus liwat
Kabupaten Deli Serdang -- Kotamadya Tebing Tinggi -- ke Deli
Serdang Kembali -- ke Simalungun -- baru Pematang Siantar.
Itulah sebabnya Bupati Silalahi memimpikan sebuah jalan tembus.
Peninggalan Belanda
Impian Silalahi bukan itu saja. Ia mentargetkan Simalungun
kembali menjadi lumbung padi bagi Sumatera Utara lalam Pelita
III ini. Soalnya, dalam rapat koordinasi bimas/inmas se-Sumatera
Utara, 5 November lalu, Gubernur EWP Tambunan mengungkapkan
daerahnya masih memasukkan beras 136.000 ton tiap tahun. Padahal
70% dari 8 juta penduduk adalah petani.
Sebab, selain laju pertambahan penduduk tak sebanding dengan
produksi padi, juga ada kecenderungan petani beralih dari
menanam padi ke tanaman komoditi ekspor seperti karet atau
nilam. Malangnya, Simalungun dan Deli Serdang yang tahun 60an
pernah menjadi lumbung padi -- mampu mengirim beras ke luar
daerah sampai ratusan ton per tahun -- sejak 1970 produksi
padinya merosot.
Sebabnya banyak. Sarana irigasi peninggalan Belanda sudah pada
tua. Tak kurang dari 80 ribu hektar sawah kehausan. Untuk
mendapatkan 1 ton padi setiap hektar saja payah. Hingga untuk
musim tanam 1977/78 tunggakan Bimas mencapai Rp 900 juta lebih.
Ini tunggakan terbesar di Sum-Ut. Maka Bupati Silalahi pun
berbenah. Irigasi diperbaiki, cara bertani intensif digalakkan.
Sejak 1977 dibentuk kelompok petani yang disebut Pembinaan
Perkumpulan Pemakai Air yang di sana juga lazim disebut
Panriahan Pamokkahan, untuk memecahkan berbagai persoalan
pertanian. Penanganan seperti itu berhasil memperbaiki keadaan:
tunggakan bimas menurun jadi Rp 500 juta. "Dan kami sudah mampu
mengirim beras ke lain daerah 50.000 ton tahun lalu," ujar
Manson Sirait, Ka Humas Pemda Simalungun.
Tampaknya baru impian mengembalikan Simalungun sebagai lumbung
padi yang berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini