LANGKAH kaki Marcus dan Petrus serentak terhenti. Di tengah kerimbunan hutan itu, mereka mejumpai pemandangan yang terasa asing: batang-batang besi dan tulang-belulang terserak di antara kepingan pelat logam bercat cokelat berlumut. "Kami baru yakin bahwa kepingankepingfi itu reruntuhan pesawat terbang setelah melihat adanya baling-baling," kata Marcus. Setelah membuat beberapa catatan, Rabu siang pekan lalu kedua petugas survei perusahaan perkayuan PT Hutrindo ini bergegas meninggalkan lokasi bencana untuk melaporkan peristiwa itu. Sore itu juga laporan diteruskan ke Polsek setempat dan ke Korem 091 Aji Suryanatakusumah di Samarinda. Keesokan harinya, Danrem 091 Kolonel Harsono terbang ke lokasi bencana: pada sebuah tebing di tepi sungai kecil Mengkanying, wilayah Desa Sepaso, Kecamatan Bontang, Kalimantan Timur, masuk Kabupaten Kutai. Dari sejumlah barang bukti, seperti KTP, SIM, juga baling-baling pesawat, Harsono menyimpulkan bahwa kepingan-kepingan logam itu adalah reruntuhan pesawat Twin Otter milik MNA yang hilang sejak 30 Desember tahun lalu. Tak seorang pun dari empat belas penumpang dan tiga awak pesawat yang lolos dari sergapan maut. Semua kerangka korban kecelakaan, kendati tak semuanya utuh, bisa ditemukan dan diidentifikasi lewat pakaian dan surat-surat identitas, yang alhamdulillah, masih bisa dikenali. Evakuasi ke-17 korban itu selesai Sabtu pekan lalu. Koresponden TEMPO Rizal Effendi, yang ikut bermalam di lokasi bencana, menyaksikan reruntuhan pesawat itu berserakan pada areal seluas sekitar 100 x 300 meter. Hal itu merupakan indikasi bahwa pesawat nahas itu meledak di darat. Jika ledakan itu terjadi di udara, niscaya puing-puing itu akan menyebar pada daerah yang lebih luas. Pesawat itu diduga meledak setelah menubruk tebing bukit. Terbukti ada sebuah cekungan tanah selebar empat meter, dengan kedalaman sekitar tiga meter. Di dasar lubang itu ditemukan kerangka jenazah juru mesin Sutrasno, dalam posisi duduk, dengan sabuk pengaman masih melingkar di badannya. Sedang kursi Kapten Pilot H. Slamet Haryanto, bersama pakaiannya yang dia kenakan, terlempar 150 meter dari titik benturan. Twin Otter berkode PK-NUY itu mengalami musibah ketika melakukan penerbangan rutin Samarinda-Berau-Tarakan. Pesawat yang dikemudikan oleh Letkol. Penerbang (Purn.) H. Slamet Haryanto itu dihadang awan Cumolonimbus setengah jam setelah lepas landas dari Pelud Temindung, Samarinda. Menghadapi awan raksasa yang menghadang, kapten pilot dengan 10.000 am terbang itu memutar pesawatnya ke kanan, bermaksud mencapai Berau dengan menyusuri garis pantai. Boleh jadi, pesawat ini malah terjebak masuk ke perut awan ganas. Dan agaknya tak lama pesawat nahas itu terombangambing dalam awan sebelum dijerembabkan ke perbukitan Melawan. Panil penunjuk di kokpit pilot memDerlihatkan bahwa ketika musibah terjadi bahan bakar yang terpakai baru 400 pon dari 2.200 pon yang tersedia. Artinya, pesawat itu baru terbang 40 menit. Perbukitan Melawan sebetulnya termasuk kawasan yang telah disisir oleh tim pencari, beberapa hari setelah pesawat itu dinyatakan hilang. Kawasan hutannya sendiri tak terlalu sulit dirambah. Selain merupakan hutan sekunder, lembah ini hanya berjarak 7 km dari jalan raya Sangkulirang - Mura Wahau. Sayangnya, isyarat penunjuk posisi jatuhnya pesawat tak pernah terpantau. Padahal, Twin Otter itu mestinya memiliki Elba, sebuah alat otomatis yang bisa memberikan sinyal radio manakala pesawat mengalami bencana. Elba, kalau normal, bisa berpijar selama 8 jam. Barangkali Elba itu rusak atau terlambat dipantau. Yang jelas dalam operasi pekan lalu itu, bangkai Elba tak ditemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini