Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muncul dari bilik terdakwa, Jumat pekan lalu ia langsung duduk di depan hakim Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura. Dengan kening berkerut, ia menyimak vonis hakim. Wajahnya beku, meski rantai yang melilit kaki dan tangannya sudah dilepas polisi. Hari itu Sundarti Supriyanto, 25 tahun, perempuan tenaga kerja wanita asal Magetan, Jawa Timur, itu didakwa membunuh majikannya. Maka, ia pun diancam hukuman mati.
Tapi Sundarti lapang. Drama di meja hijau itu berujung lega. Meski bebas dari hukuman mati, Hakim Rubin menjatuhkan vonis seumur hidup. Mata Sundarti pun berkaca-kaca, lalu mencium tangan Pengacara Mohamad Muzamil, yang khusus disewa Kedutaan Besar RI di Singapura. "Saya senang tak jadi dihukum mati," kata pembantu rumah tangga itu seperti ditirukan oleh Muzamil.
Perkara yang menimpa Sundarti sangat dramatis. Ia dituduh membunuh dua warga Singapura, majikan dan anaknya. Di Negeri Singa itu, karier batur-nya ia rintis sejak 1999 dengan bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah. Semua berjalan mulus sampai kontraknya berakhir. Tak lama setelah pulang kampung, ia balik lagi ke Singapura, dan majikan barunya, Ng Wee Peng Angie, sudah menunggunya.
Tapi, sial bagi Sundarti: majikan barunya itu punya perangai buruk, sering marah tanpa alasan jelas. Akibatnya, setiap hari ia seperti hidup dalam mimpi buruk. "Pernah tiga hari tak diberi makan, bahkan pernah pula disuruh makan kotoran anak majikannya," tutur Fachry Sulaiman, Kepala Bidang Protokol dan Konsuler Kedubes RI di Singapura.
Akhirnya, Sundarti berontak. Puncaknya terjadi 28 Mei 2002 silam, ketika ia dimarahi dan tidak diberi makan. Angie bahkan mengacungkan pisau hingga Sundarti pun kalap. Karena takut, Sundarti buru-buru menggendong dua anak majikannya, Crystal Poh Si Qi, 3 tahun, dan Leon Poh, 1 tahun, sebagai perisai hidup. Tapi Angie, yang sudah gelap mata, terus menyerangnya. Takut menghadapi sabetan pisau, Sundarti melepas Leon lalu lari ke dapur mengambil pisau.
Celakanya, Angie terus mengejar dan berusaha menikamnya. Tusukan Angie meleset, tapi justru menghunjam ke tubuh Crystal, yang masih digendong Sundarti. Melihat anaknya terluka, sang majikan panik lalu lari ke ruangan lain. Di sebuah ruangan, cerita Sundarti, ia melihat Angie tergeletak di lantai dan sebilah pisau menancap di lehernya.
Giliran Sundarti panik. Untuk melenyapkan segala bukti, ia berniat membakar rumah, lalu ia pergi ke kios bensin dengan taksi. "Ia mendapat ide membakar rumah dari film di televisi," tutur Muzamil. Maka, polisi pun menuduh Sundarti melakukan kejahatan serius: membunuh Angie dan Crystal, membakar rumah, dan mencuri barang milik majikan.
Awalnya, Sundarti mengelak tuduhan itu. Tapi belakangan ia melunak. Dalam sidang Jumat pekan lalu, ia mengaku membunuh majikannya karena terpaksa harus membela diri, sementara usaha membakar rumah untuk menutupi perbuatannya. "Saya minta maaf kepada keluarga Poh," katanya berkaca-kaca.
Hakim Rubin rupanya mempertimbangkan aspek keterpaksaan itu. Ia menyimpulkan kasus itu bukan pembunuhan berencana, melainkan pembelaan diri. "Tapi, pertanyaannya, mengapa ia membunuh?" tanya Rubin dalam putusannya. Karena pertimbangan itulah, Rubin memutuskan Sundarti melanggar Pasal 304-A Penal Code dengan hukuman penjara seumur hidup.
Mendengar putusan itu, Sundarti tak naik banding, sementara pengacaranya pun puas. Sebab, kalau kelak dalam banding ternyata kalah, Sundarti harus menjalani hukuman mati. "Lagi pula ada celah lain. Sundarti masih bisa minta pengurangan hukuman kepada Presiden Singapura," ujar Muzamil. Menurut hukum di negeri itu, terpidana seumur hidup boleh minta pengurangan hukuman untuk kasus yang hukumannya minimal 10 tahun penjara. Sementara itu, ibu (almarhumah) Angie, Tan Chui Lian, 57 tahun, pasrah. "Saya setuju apa pun keputusan pengadilan," katanya sesaat sebelum sidang dimulai.
Bagaimanapun, Sundarti lega. Sebab, menurut Migrant Care, lembaga nirlaba yang peduli pada nasib buruh Indonesia di negeri orang, masih ada tiga rekan Sundarti yang terancam hukuman mati: Purwanti, Sumyati Karyodikromo, dan Juminem. Menurut aktivis lembaga itu, Wahyu Susilo, para bedinde itu juga terpaksa membunuh majikan karena membela diri. "Pemerintah Indonesia wajib secara politik meringankan hukuman mereka," ujarnya.
Nezar Patria, Rian Suryalibrata (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo