MISTERI penyebab kebakaran kapal Tampomas II belum tersingkap
benar. Mahkamah Pelayaran (MP) dalam sidangnya Sabtu lalu
menyimpulkan: awal kebakaran bermula dari api rokok di dek
mobil. Seorang awak kapal (ABK) yang beristirahat di salah satu
mobil --walau itu menyalahi peraturan -- yang pertama melihat
api tersebut. Sumber api, apakah berasal dari kecerobohan
penumpang atau ABK, tak terungkap.
Sistem ventilasi kapal yang kurang tepat menyebabkan hembusan
angin yang mempercepat berkobarnya api. Sedang tidak teraturnya
pemuatan mobil serta sepeda motor, yang tangkinya masih berisi
bahan bakar, mengakibatkan upaya pemadaman sulit dilakukan.
Mahkamah Pelayaran juga menyimpulkan, para ABK gagal memadamkan
api karena kurang terlatih. Kepanikan yang timbul lebih tidak
menolong keadaan. Akibatnya kapal terbakar, tenggelam dan
tewasnya 26 ABK serta kurang lebih 600 penumpang.
Dalam pertimbangan dan keputusan yang tebalnya 60 halaman, MP
juga menilai PT Pelni sebagai pemilik kapal ternyata kurang
memperhatikan segi keselamatan umum. Itu diketahui antara lain
dari kurangnya kontrol terhadap peralatan di kapal tersebut,
termasuk personalia yang mengelolanya.
Ketua MP dan wakilnya, Capt. Tardana dan Capt. R. Soebekti
selama sekitar 2« jam bergantian membacakan keputusan tersebut.
Mengenai almarhum nakoda Capt. A. Rivai, walau tak memeriksanya,
mahkamah tak dapat mengelakkan bahwa terbukti sebelum terjadinya
musibah nakoda telah tidak menaati peraturan pelayaran yang
berlaku demi keselamatan umum. "Namun MP juga menyadari
sepenuhnya, nakoda menghadapi suatu kenyataan yang sulit
dihindari, yakni situasi dan kondisi yang terbatas dalam bidang
jasa angkutan laut," begitu bunyi pertimbangan keputusan itu.
Kelalaian yang dilakukan nakoda menurut Mahkamah Pelayaran
antara lain: kurang menggiatkan latihan penggunaan alat-alat
bagi para awak, tidak mengontrol peralatan penolong serta
mengizinkan cuti pada ABK tanpa melapor tertulis pada PT Pelni.
Namun sebagai pimpinan kapal, selama 36 jam sejak dilapori
adanya kebakaran, almarhum Rivai sedikit pun tidak pernah
melalaikan atau melepaskan tanggungjawabnya. Bahkan selalu
berlaku tenang sampai rela mengorbankan dirinya.
Tapi sejalan dengan azas hukum, hak menuntut seseorang gugur
bila yang bersangkutan meninggal dunia. Hingga MP menyatakan
menghapuskan segala tuntutan pada Nakoda A. Rivai dan Mualim III
Sudjito karena mereka meninggaldunia dalam musibah tersebut.
Dalam sidangnya yang ke 15 kali Sabtu siang lalu itu, MP
memutuskan menghukum 5 dari 12 tersangkut. Yakni Mualim I M. Ali
Hamzah, 41 tahun, dinyatakan bersalah karena cuti tanpa seizin
Pelni. MP mencabut ijazah mualim yang dimilikinya serta
wewenangnya untuk berlayar sebagai Mualim I pada kapal yang
melayari perairan Indonesia selama 6 bulan.
Sedang Mualim II Erns Marthing, 42 tahun, yang dinyatakan
bersalah karena dianggap melakukan desersi (meninggalkan kapal
tanpa izin nakoda) dicabut ijazahnya selama 12 bulan. Kepala
Kamar Mesin H. Dedy Hariyadi, 50 tahun yang tidak berada di
kamar mesin tatkala musibah terjadi dan mematikan mesin tanpa
perintah nakoda, dicabut ijazahnya selama 4 bulan.
Tuntas
Markonis I Tadjus Buky, 30 tahun, yang juga cuti tanpa izin
dicabut ijazahnya selama 4 bulan. Markonis II Odang Kustinar, 30
tahun, dijatuhi hukuman yang lebih berat: dicabut ijazahnya
selama 12 bulan. Ia dinyatakan bersalah karena memberi laporan
yang tidak benar dalam sidang. Tersangkut pernah menyatakan
sudah berhasil mengadakan hubungan radio dengan stasiun radio
pantai Singapura. Namun pihak Singapura kemudian membantah.
Ketua Tim Pembela, Anis SH, menilai keputusan itu terlalu berat.
"Terang saya tak puas. Saya beranggapan usaha kami sudah
maksimal. Tapi putusan ini kan tak bisa dibanding," ujarnya
seusai sidang.
Mualim I Ali Hamzah tampaknya tak mau memperpanjang persoalan.
"Ah, saya kan harus menerima. Tapi saya merasa tak bersalah,"
katanya seraya bergegas pergi untuk mengikuti penataran P4.
Apakah dengan adanya keputusan MP itu berarti masalah musibah
Tampomas II diselesaikan dengan tuntas? Sebab Presiden Soeharto
segera setelah terjadinya musibah memerintahkan agar musibah
tersebut diselesaikan secara tuntas.
"Dari segi teknis nautis dan navigasi sudah dianggap tuntas,"
kata Capt. R. Soebekti, Wakil Ketua MP pada Marah Sakti dari
TEMPO Senin lalu. Ia mengatakan persoalan selanjutnya terserah
pada Ditjen Perhubungan Laut. Semua hasil putusan telah
diserahkan pada semua pihak yang berkepentingan termasuk
kejaksaan dan pengadilan. "Putusan MP serta uraiannya dapat
menjadi dasar tuntutan perdata atau pidana," tegasnya.
Belum pasti apakah setelah ini kasus musibah Tampomas II akan
dibawa ke pengadilan. Jaksa Agung Ismail Saleh beberapa minggu
lalu menyatakan pihaknya tenah menumpulkan bahan mengenai
perkara ini, termasuk soal proses pembelian kapal Tampomas II.
"Pengumpulan itu masih dilakukan. Saya tak tahu kapan
selesainya, bisa seminggu, bisa dua bulan. Apakah nanti akan
disalurkan ke kejaksaan negeri atau kejaksaan tinggi, terserah
pimpinan," ujar Kepala Humas Kejaksaan Agung A.A. Gde Ngurah.
Namun Sekretaris Ditjen Perla J.E. Habibie rupanya berpendapat
lain. Ia mengharapkan pengertian tuntas "jangan dibikin
aneh-aneh." Katanya: "Yang dimaksud Presiden dengan penyelesaian
tuntas itu adalah teknis. Karena melihat ada kelalaian. Siapa
yang lalai tentu saja mereka yang memimpin di atas kapal, yakni
kapten kapal. Jelas pertanggungjawaban itu ada di tangannya. "
Menurut J.E. Habibie, skorsing yang dijatuhkan pada lima ABK itu
bukan berarti mengorbankan yang kecil dan melindungi yang besar.
Ia juga mengatakan tak mau soal tenggelamnya kapal dikaitkan
dengan masalah pembeliannya. "Itu kapal kan sudah setahun
dibeli. Kenapa tidak dari dulu, ketika baru dibeli
dipersoalkan," katanya. Namun ia segera menyambung "Tapi kalau
saya tahu ada yang bisa dipidanakan, pasti akan dipidanakan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini