Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Perjuangan melahirkan pengkhianat

Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat & para penjilat. jangan kau gusar, hadi, sajak tulisan taufiq ismail pada th 1966. perjuangan selalu dikhianati oleh para pemenang sendiri.

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah penghianat dan para penjilat. Jangan kau gusar, Hadi. SAJAK itu ditulis Taufiq Ismail sekitar 1966. Apa yang disebut "Orde Lama" sedang ditumbangkan. Apa yang kemudian disebut "Orde Baru" dicoba dilahirkan. Dengan sendirinya banyak harapan berkibar-kibar. Tapi betapa ganjil. Sajak itu bersuara tenang, tapi nada dasarnya menyembunyikan semacam rasa sedih. Memang Selalu Demikian, Hadi: judul itu seperti memaklumi kekecewaan. Telah begitu panjangkah pengalaman Indonesia dengan bab-bab yang pahit-pahit? Agaknya. Meskipun, sebenarnya pengkhianatan kepada perjuangan tidak selalu begitu cepat dan begitu jelas seperti ketika pada puncak sengitnya pertempuran, seorang kawan kita lari ke pihak lawan karena dibeli. Dalam kasus semacam itu, warna-warna segera nyata dan tegas: hitam, atau putih, atau kuning. Tapi yang "memang selalu demikian, Hadi" -- yang lebih sering terjadi - ialah pengkhianatan dalam proses yang lebih pelan. Yakni, ketika asap peperangan telah kalis dan musuh telah kalah. Dengan demikian pengkhianatan dalam perjuangan 1945 lebih banyak tak terjadi di tahun 1945. Pengkhianatan dalam perjuangan 1966 lebih sering tak berlangsung di tahun 1966. Beberapa puluh tahun setelah Revolusi Prancis yang menghapuskan monarki, tokoh pasukan revolusioner Napoleon Bonaparte memaklumkan diri jadi raja di raja. Atau kalau contoh ini terasa terlampau kuno, ingatlah Rosa Luxembourg. 60 tahun yang lalu, persisnya di tahun 1918, wanita komunis dari Polandia itu telah mulai merasakan pengkhianatan kepada revolusi sosialis di Rusia. Ia mulai melihat tanda-tanda, bagaimana "sosialisme akan didekritkan dari belakang meja beberapa pejabat dan selusin intelektual". Ia mulai mencium bagaimana "kehidupan publik pelan-pelan jatuh tertidur." la mulai mendengar bagaimana sejumput tokoh kaum buruh diundang datang ke rapat hanya "untuk memberi tepuk tangan kepada pidato para pemimpin". Tanpa pemilihan umum yang merdeka. Tanpa pers yang leluasa. Tanpa kebebasan bersidang. Tanpa perjuangan sonder sensur di antara pelbagai pendapat. Tanpa semua itu, tulis Rosa Luxembourg dalam risalahnya tentang revolusi Rusia, "hanya birokrasilah yang tinggal merupakan unsur yang aktif." Semuanya redup, padam, senyap -- dan sering palsu. Mengapakah demikian? Mengapakah perjuangan selalu dikhianati, Hadi, oleh para pemenangnya sendiri? Barangkali karena kita tak merumuskan secara konsepsional musuh kita yang sebenarnya. Atau karena kita tak segera ingat, bahwa musuh itu sering bertengger dalam diri kita sendiri. Apakah musuh kita di tahun 1966? Taufiq Ismail menyebutnya dengan satu kata: "tirani". Meskipun kata ini agak berlebihan, runcingnya sikap partisan di tengah bentrokan 1966 telah menyebabkan ia efektif. Ia berarti, kurang lebih, kekuasaan seperti di masa "Orde Lama". Personifikasinya Bung Karno: bukan lagi sebagai pemikir revolusi, tapi sebagai penguasa yang terlampau lama di atas tahta, dan jadi brengsek. Tentu, itu semua tak cuma sebuah fantasi. Tapi toh ada yang tak lengkap, bila kita hanya menyebut "tirani" dan cuma melihat ke satu pihak. Taufiq Ismail dalam salah satu sajaknya di tahun 1966 berbicara tentang "aritmatik sederhana", yang dicoba diingat lagi pada suatu hari ketika pikiran menjadi bebas. Pada hari itu orang ingin kembali meyakini bahwa 2 x 2 = 4, setelah sekian lama pikiran jadi gentar. Tapi setelah itu, adakah kita ingat kenapa pikiran pernah jadi gentar? Tahun 1966 tahu jawabnya. Karena itulah tahun-tahun awal "Orde Baru" jadi salah satu masa yang paling hidup (dan mungkin indah) bagi perjuangan demokrasi. Seakan banyak suara yang serius sepakat: pikiran bebas, toleransi kepada perbedaan pendapat, persamaan hukum, juga kepada lawan-lawan kita! Tapi betapa cepat masa itu berlalu. "Setiap periuangan' tulis Taufiq Ismail dalam sajaknya, "selalu mengbadapkan kita/pada kaum yang bimbang mengbadapi gelombang/Jangan kau kecewa, Hadi". Setiap perjuangan memang menyediakan hal yang tak enak. Tapi yang paling tak enak adalah bila kita bercermin hari ini dan melihat wajah musuh kita kemarin pagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus