Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengkaji ulang surat edaran Fakultas Teknik yang memuat larangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di lingkungan Fakultas Teknik. Pengkajian ini setelah UGM menuai protes dari pegiat Hak Asasi Manusia dan jaringan masyarakat sipil yang fokus pada keberagaman gender dan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pegiat HAM mengkritik surat edaran itu sebagai aturan yang diskriminatif. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Wening Udasmoro, menyebutkan UGM merevisi surat edaran itu karena bersandar pada nilai-nilai integritas, penghargaan pada keberagaman, penghormatan pada hak-hak dan kebebasan dasar, non-diskriminasi. “UGM menjamin perlindungan pada pihak-pihak yang berada dalam posisi rentan yang telah diamanatkan dalam konstitusi Indonesia dan berbagai undang-undang tentang ratifikasi konvensi internasional terkait hak asasi manusia,” kata Wening dihubungi Tempo, Rabu, 27 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UGM telah membentuk tim untuk mereview surat edaran tersebut dan merevisi kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan nasional tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan. Rektor UGM, Ova Emilia, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran , dan tim bertemu dengan Dekan Fakultas Teknik, Selo di ruang rektorat pada Rabu, 27 Desember 2023.
Menurut Wening, revisi itu juga dilakukan karena UGM berkomitmen menjadikan kampus sebagai lingkungan yang aman, nyaman, kondusif, dan inklusif, mengacu pada Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Satuan Pendidikan di Indonesia.
UGM juga telah memiliki kebijakan-kebijakan internal nir-kekerasan, sebagaimana dalam Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan UGM yang diperbaharui dalam Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM.
Ada juga rencana strategi sebagai dasar dan pijakan dalam membangun dan mengelola proses pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Renstra tersebut secara spesifik menekankan UGM sebagai kampus dengan lingkungan yang inklusif dan mengemban nilai-nilai toleransi serta solidaritas sosial dalam berinteraksi. Sebagai institusi pendidikan, kata Wening, UGM senantiasa berproses untuk menjadi lebih memiliki tanggung jawab sosial dan mengembangkan budaya akademis yang mengutamakan dialog untuk menjembatani beragam perbedaan secara konstruktif.
Selanjutnya Wakil Dekan Fakultas Teknik UGM
Wakil Dekan Fakultas Teknik UGM, Sugeng Sapto Suryono menyatakan pihaknya mengikuti keputusan rektorat ihwal revisi surat edaran tersebut. “Kami menjunjung statuta universitas,” kata Sugeng.
Surat edaran larangan LGBT diteken Dekan Fakultas Teknik, Selo pada tanggal 1 Desember 2023. Aturan itu berisi larangan penyebarluasan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung LGBT karena bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan norma yang berlaku di Indonesia. Fakultas Teknik juga menyiapkan sanksi maksimal bagi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang terbukti menyebarluaskan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung LGBT.
Surat edaran tersebut dibuat setelah mendengar laporan mahasiswa tentang mahasiswa laki-laki yang masuk ke toilet perempuan. Sekelompok mahasiswa tersebut menuding laki-laki yang masuk toilet perempuan itu sebagai LGBT. Laporan sekelompok mahasiswa tersebut membuat pejabat fakultas setempat menyusun surat edaran sebagai payung hukum untuk menindaklanjuti mahasiswa yang mendapat tuduhan sebagai LGBT.
Koalisi masyarakat sipil untuk keberagaman gender dan seksual yang bernama Kami Berani mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim memberikan sanksi yang tegas terhadap Dekan Fakultas Teknik UGM yang menerbitkan aturan diskriminatif larangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.
Perwakilan Koalisi Kami Berani, Riska Carolina menyebutkan ketegasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diperlukan untuk mencegah lembaga pendidikan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Koalisi menilai diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender terus berlangsung sejak 2016. “Diskriminasi memicu intoleransi, perundungan, dan kekerasan,” kata perwakilan koalisi, Riska Carolina.
Koalisi juga mendesak kementerian mengawasi, memantau, dan mengevaluasi seluruh perguruan tinggi supaya bebas dari diskriminasi serta menerbitkan aturan yang mendorong kesetaraan pendidikan bagi setiap warga negara. Menurut koalisi, surat edaran itu melanggar hak asasi manusia khususnya bagi mahasiswa, pengajar, dan tenaga kependidikan di lingkungan kampus. Surat edaran tersebut bertentangan dengan pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berkedudukan sama di mata hukum. Selain itu, larangan itu juga melanggar pasal 28 tentang HAM.
Dari aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya, surat edaran itu melanggar hak atas pekerjaan yang layak, kenyamanan, dan kondisi kerja yang baik bagi pengajar dan karyawan di lingkungan Fakultas Teknik. Hak atas pendidikan dan pekerjaan yang layak wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi tanpa diskriminasi atas dasar apapun, termasuk keragaman orientasi seksual dan identitas gender.
Koalisi juga menyoroti pengabaian hak sipil dan politik lewat ancaman berupa sanksi maksimum bagi seluruh individu di lingkup Fakultas Teknik. Pengabaian itu melanggar hak asasi manusia atas privasi, berasosiasi, ha katas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mendapat jaminan konstitusi.
LGBT merupakan keberagaman orientasi seksual dan identitas gender, bukan penyimpangan. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa atau PPDGJ III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia poin F66 menyebutkan orientasi seksual bukan gangguan. Selain itu, International Classification of Diseases ke-11 menyatakan bahwa transgender (gender incongruence) bukan merupakan gangguan kejiwaan.
Terbitnya surat edaran itu menunjukkan minimnya ketaatan dekan Fakultas Teknik terhadap kaidah-kaidah ilmiah yang seharusnya menjadi landasan utama bagi civitas akademika. “Jika Surat Edaran ini tetap dijalankan, maka akan berdampak pada peningkatan kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual dan gender,” kata Riska.
Selain mendesak Menteri Nadiem memberi sanksi, koalisi juga mendesak Dekan Fakultas Teknik mencabut surat edaran tersebut. Koalisi juga menesak Rektor UGM mengambil Tindakan mencegah kebijakan diskriminatif dan menerapkan prinsip inklusivitas untuk mewujudkan visi UGM sebagai pelopor perguruan tinggi nasional berkelas nasional.
Kami Berani terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Dialoka, Yayasan Kesehatan Perempuan, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA, Transmen Indonesia, Human Rights Working Group (HRWG), Jakarta Feminist, Purplecode Collective, dan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).