Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengatakan Presiden Prabowo pada dasarnya mendorong perbaikan sistem politik lewat usulan pemilihan kepala daerah atau pilkada lewat DPRD. Anggota Komisi II DPR ini meminta agar usulan itu tak dibahas secara parsial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pernyataan Presiden itu adalah pernyataan seorang Kepala Negara untuk membangun kesadaran bersama bahwa kita harus segera melakukan perbaikan sistem. Jadi, bukan hanya Pilkada tetapi terkait sistem politik secara keseluruhan,” kata Doli melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Selasa, 17 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doli mengatakan, perbaikan sistem pemilihan umum atau pemilu harus satu paket dengan undang-undang terkait pemilu lain seperti pemilihan presiden, anggota legislatif, hingga kepala desa. “Bahkan juga sangat erat kaitannya dengan sistem kepartaian kita. UU Parpol bisa dikodifikasi bersama dengan UU Pemilu dan Penyelenggara Pemilu,” katanya.
Isu perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD disampaikan Prabowo saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Acara ini dihadiri ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Prabowo.
Prabowo sebelumnya mengeluhkan anggaran negara ataupun biaya politik pasangan calon yang dihabiskan dalam pilkada langsung. “Sekali memilih anggota DPR-DPRD, ya, sudah DPRD itulah (yang) memilih gubernur, bupati, wali kota,” kata Prabowo. “... Begitu banyak ketua umum partai malam ini (yang hadir), sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga.”
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan usulan Presiden Prabowo Subianto tersebut berasal dari aspirasi yang kuat di masyarakat. Politikus Partai Amanat Nasional ini mengaku mendapat informasi bahwa ongkos pilkada kabupaten-kota mencapai puluhan miliar rupiah dan pilkada provinsi di atas Rp 1 triliun.
“Jelas ini tidak sehat dan merusak sistem politik dan demokrasi kita. Harus ada evaluasi menyeluruh. Namun evaluasi ini harus terarah, termasuk akar dari politik biaya tinggi,” kata mantan Wali Kota Bogor ini, Senin kemarin.
Ia mengatakan Kementerian Dalam Negeri akan membuka ruang publik untuk membahas berbagai opsi sistem pilkada, termasuk pemilihan lewat DPRD. Bima mengatakan pemerintahan Prabowo juga terbuka dengan konsep pilkada asimetris, yaitu pilkada langsung hanya diberlakukan di daerah yang memenuhi indikator tertentu.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan opsi perubahan sistem pilkada akan menjadi pertimbangan dalam perubahan Undang-Undang Pilkada. Perubahan Undang-Undang Pilkada itu menjadi satu paket dengan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan DPR yang menyiapkan naskah akademik dan draf revisi undang-undang tersebut. “Kami masih menunggu DPR mengajukan RUU-nya,” kata Supratman.
Titi Anggraini, Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, juga menentang sistem pilkada dikembalikan ke DPRD. Ia berpendapat, sistem pilkada langsung memang harus dievaluasi agar lebih efektif dan efisien. Tapi sistem pilkada tidak semestinya dikembalikan ke DPRD. Sebab, pemilihan lewat DPRD tidak serta-merta menghilangkan politik uang dan tak mengurangi biaya tinggi dalam pilkada.
Ia yakin peran dan pengaruh partai politik pasti sangat besar dalam pencalonan kepala daerah lewat sistem pilkada di DPRD. “Politik uang bisa makin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung, tapi melalui wakil-wakil partai di DPRD,” tutur Titi.