Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Wali NU Itu Telah Tiada

Pemimpin pondok pesantren salafiyah, pasuruan meninggal dunia dalam usia 70 tahun. tokoh NU dibelakang layar, dan dikenal punya ilmu kasyaf. (ag)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMAT Islam yang bertempat tinggal jauh dari Pasuruan, Jawa Timur, pasti sudah tahu bahwa KH Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar telah tiada. Di kalangan NU, ulama besar itu dikenal sebagai wali Allah, julukan terhormat yang hanya diberikan terhadap seseorang dengan segudang kelebihan dan tingkat ketaqwaan tertentu. Kiai Hamid, begitu panggilan akrab untuk pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan itu, wafat Sabtu dini hari pukul 03.00 tanggal 25 Desember lalu dalam usia 70 tahun. Tepat ketika umat Kristen merayakan Hari Natal, atau tiga hari menjelang umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Kiai Hamid menderita komplikasi. "Jantung beliau berlubang, livernya parah, bahkan ginjal sudah tak berfungsi," kata dokter Muhammad Thahir yang memeriksa. Direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya yang sejak lama menjadi dokter keluarga Kiai Hamid itu, diberitahu Kiai sakit pada hari Kamis 23 Desember. la buru-buru menuju tempat tinggal pasiennya, di Jalan Nusantara Gang 5, Pasuruan. Itu untuk kedua kalinya, sepanjang hayat Kiai Hamid, ia dipanggil khusus untuk mengobati tokoh yang lebih banyak di belakang layar itu. Tapi Muhammad tak bisa berbuat banyak, sebab ketika ditanya, Kiai Hamid bilang, "tak ada yang sakit." Hanya, tangan Muhammad dipegang dan ditempelkan ke dada Kiai. Dokter Muhammad tak segera pulang. Benar juga, di tengah malam Kiai tak sadarkan diri. Segera diberi pertolongan dan diangkut ke RSI, Surabaya. "Beliau benar-benar ridlo dengan penyakitnya hingga tak mengeluh sedikit pun. Padahal kalau orang lain mengalami penderitaan seperti itu bicaranya sudah tak karuan," kata Muhammad. Sabtu tengah malam keadaannya membaik dan ia langsung minta pulang. Tak berapa lama setiba di rumah, Kiai Hamid wafat, meninggalkan seorang istri dan tiga anak laki-laki. Pagi itu juga rumahnya yang sederhana dan tak terlalu besar itu dipenuhi para pelayat. Tampak hadir antara lain KH Maskur, Yusuf Hasyim, KH Jufri, KH Syukron Makman dan KH Ali Maksum. Ratusan ribu umat membanjiri halaman Masjid Jami Pasuruan dan alun-alun Pasuruan. Bahkan halaman rumah penduduk seputar alun-alun penuh sesak oleh umat yang ikut sembahyang jenasah dipimpin KH Ali Maksum. Rois A'am NU itu memang dikenal sebagai salah seorang tokoh yang dekat dengan almarhum. Dibelakang masjid itulah, sekitar satu km dari kediamannya, jenazah Kiai Hamid disemayamkan. Lahir di Lasem pada 1912, Kiai Hamid pernah delapan tahun menjadi santri di Pondok Termas, Pacitan. "Beliau satu angkatan dengan KH Mukti Ali," kata KH Nukman Hamid, anak tertua almarhum. Setelah dewasa dan menikah, katanya lagi, Kiai menetap di Pasuruan dan mendirikan pesantren kecil Salafiyah. Pesantren itu tak terkenal seperti Tebu Ireng, misalnya. Tak lain karena tokoh yang disebut sebagai "staf kayangan" di kalangan NU itu tak suka tampil ke depan. "Hidup beliau hanya untuk agama," kata KH Syafi'i Soelaiman. Dalam masalah-masalah nasional yang menyangkut kehadiran NU, suara Kiai Hamid -- kalau diminta -- sering didengar para pemimpin organisasi Islam terbesar itu. Misalnya menjelang Pemilu bulan Mei tahun lalu, ketika NU berniat menarik diri dari PPP. KH Ali Maksum segera menemuinya di Pasuruan, dan Kiai Hamid dengan suaranya yang tenang, menjawab melalui pelambang-pelambang, Kiai Maksum lalu menafsirkan bahwa Kiai Hamid tak melihat manfaatnya bila NU keluar dari partai. Nasihat KH Hamid, menurut seorang tokoh NU "khususnya diminta bagi hal-hal yang belum bisa diketahui positif negatifnya." Memang, ulama besar itu dikenal mempunyai kemampuan clairvoyance, bisa meramal hal yang belum terjadi. Atau kalau menurut Kiai Moenawar Djailani, Ketua Majelis Ulama Surabaya, "beliau memiliki ilmu kasyaf." Maka selain mengajar kepada para santrinya, KH Hamid setiap harinya kebanjiran tamu mulai dari tokoh NU sendiri, pejabat maupun orang awam. Meski tak semuanya bisa ditemui Kiai. Bahkan tak sedikit yang ketika pulang, diberi sangu oleh Kiai. Besarnya, seperti KH Soelaiman pernah tahu, antara Rp 75.000 sampai 1 juta. Banyak tamunya yang memberi uang. Tapi buat Kiai yang hidup sederhana itu, hadiah-hadiah tadi sering dibagi-bagikan kepada mereka yang butuh. "Bahkan ada yang diberi sangu besar untuk naik haji," kata seorang yang mengetahui di Pasuruan. Ia juga pernah memberikan botol kosong kepada seorang pengusaha besar di Pasuruan, yang hendak naik haji. Bukan untuk diisi madu Arab, atau air zamzam, seperti semula disangka pengusaha itu. "Isilah dengan ilmu, karena sesungguhnya kamu itu kosong," katanya. Banyak lagi cerita-cerita menarik tentang tokoh yang dipandang keramat di Jawa Timur itu. Tapi yang pasti, dengan wafatnya sang Kiai, NU telah kehilangan seorang wali tempat bertanya di saat-saat kritis. "Adalah Kiai Hamid yang barangkali termasuk wali yang paling besar bagi warga NU," kata seorang yang mengetahui. "Yang selalu memberi nasihat tanpa pamrih melalui pelambang-pelambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus