UMAT Islam yang bertempat tinggal jauh dari Pasuruan, Jawa
Timur, pasti sudah tahu bahwa KH Abdul Hamid bin Abdullah bin
Umar telah tiada. Di kalangan NU, ulama besar itu dikenal
sebagai wali Allah, julukan terhormat yang hanya diberikan
terhadap seseorang dengan segudang kelebihan dan tingkat
ketaqwaan tertentu.
Kiai Hamid, begitu panggilan akrab untuk pemimpin Pondok
Pesantren Salafiyah Pasuruan itu, wafat Sabtu dini hari pukul
03.00 tanggal 25 Desember lalu dalam usia 70 tahun. Tepat ketika
umat Kristen merayakan Hari Natal, atau tiga hari menjelang umat
Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Kiai Hamid
menderita komplikasi. "Jantung beliau berlubang, livernya parah,
bahkan ginjal sudah tak berfungsi," kata dokter Muhammad Thahir
yang memeriksa.
Direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya yang sejak lama
menjadi dokter keluarga Kiai Hamid itu, diberitahu Kiai sakit
pada hari Kamis 23 Desember. la buru-buru menuju tempat tinggal
pasiennya, di Jalan Nusantara Gang 5, Pasuruan. Itu untuk kedua
kalinya, sepanjang hayat Kiai Hamid, ia dipanggil khusus untuk
mengobati tokoh yang lebih banyak di belakang layar itu.
Tapi Muhammad tak bisa berbuat banyak, sebab ketika ditanya,
Kiai Hamid bilang, "tak ada yang sakit." Hanya, tangan Muhammad
dipegang dan ditempelkan ke dada Kiai. Dokter Muhammad tak
segera pulang. Benar juga, di tengah malam Kiai tak sadarkan
diri. Segera diberi pertolongan dan diangkut ke RSI, Surabaya.
"Beliau benar-benar ridlo dengan penyakitnya hingga tak mengeluh
sedikit pun. Padahal kalau orang lain mengalami penderitaan
seperti itu bicaranya sudah tak karuan," kata Muhammad.
Sabtu tengah malam keadaannya membaik dan ia langsung minta
pulang. Tak berapa lama setiba di rumah, Kiai Hamid wafat,
meninggalkan seorang istri dan tiga anak laki-laki.
Pagi itu juga rumahnya yang sederhana dan tak terlalu besar itu
dipenuhi para pelayat. Tampak hadir antara lain KH Maskur, Yusuf
Hasyim, KH Jufri, KH Syukron Makman dan KH Ali Maksum.
Ratusan ribu umat membanjiri halaman Masjid Jami Pasuruan dan
alun-alun Pasuruan. Bahkan halaman rumah penduduk seputar
alun-alun penuh sesak oleh umat yang ikut sembahyang jenasah
dipimpin KH Ali Maksum. Rois A'am NU itu memang dikenal sebagai
salah seorang tokoh yang dekat dengan almarhum. Dibelakang
masjid itulah, sekitar satu km dari kediamannya, jenazah Kiai
Hamid disemayamkan.
Lahir di Lasem pada 1912, Kiai Hamid pernah delapan tahun
menjadi santri di Pondok Termas, Pacitan. "Beliau satu angkatan
dengan KH Mukti Ali," kata KH Nukman Hamid, anak tertua
almarhum. Setelah dewasa dan menikah, katanya lagi, Kiai menetap
di Pasuruan dan mendirikan pesantren kecil Salafiyah. Pesantren
itu tak terkenal seperti Tebu Ireng, misalnya. Tak lain karena
tokoh yang disebut sebagai "staf kayangan" di kalangan NU itu
tak suka tampil ke depan. "Hidup beliau hanya untuk agama," kata
KH Syafi'i Soelaiman.
Dalam masalah-masalah nasional yang menyangkut kehadiran NU,
suara Kiai Hamid -- kalau diminta -- sering didengar para
pemimpin organisasi Islam terbesar itu. Misalnya menjelang
Pemilu bulan Mei tahun lalu, ketika NU berniat menarik diri dari
PPP. KH Ali Maksum segera menemuinya di Pasuruan, dan Kiai Hamid
dengan suaranya yang tenang, menjawab melalui
pelambang-pelambang, Kiai Maksum lalu menafsirkan bahwa Kiai
Hamid tak melihat manfaatnya bila NU keluar dari partai. Nasihat
KH Hamid, menurut seorang tokoh NU "khususnya diminta bagi
hal-hal yang belum bisa diketahui positif negatifnya."
Memang, ulama besar itu dikenal mempunyai kemampuan
clairvoyance, bisa meramal hal yang belum terjadi. Atau kalau
menurut Kiai Moenawar Djailani, Ketua Majelis Ulama Surabaya,
"beliau memiliki ilmu kasyaf." Maka selain mengajar kepada para
santrinya, KH Hamid setiap harinya kebanjiran tamu mulai dari
tokoh NU sendiri, pejabat maupun orang awam. Meski tak semuanya
bisa ditemui Kiai.
Bahkan tak sedikit yang ketika pulang, diberi sangu oleh Kiai.
Besarnya, seperti KH Soelaiman pernah tahu, antara Rp 75.000
sampai 1 juta. Banyak tamunya yang memberi uang. Tapi buat Kiai
yang hidup sederhana itu, hadiah-hadiah tadi sering
dibagi-bagikan kepada mereka yang butuh. "Bahkan ada yang diberi
sangu besar untuk naik haji," kata seorang yang mengetahui di
Pasuruan.
Ia juga pernah memberikan botol kosong kepada seorang pengusaha
besar di Pasuruan, yang hendak naik haji. Bukan untuk diisi madu
Arab, atau air zamzam, seperti semula disangka pengusaha itu.
"Isilah dengan ilmu, karena sesungguhnya kamu itu kosong,"
katanya.
Banyak lagi cerita-cerita menarik tentang tokoh yang dipandang
keramat di Jawa Timur itu. Tapi yang pasti, dengan wafatnya sang
Kiai, NU telah kehilangan seorang wali tempat bertanya di
saat-saat kritis. "Adalah Kiai Hamid yang barangkali termasuk
wali yang paling besar bagi warga NU," kata seorang yang
mengetahui. "Yang selalu memberi nasihat tanpa pamrih melalui
pelambang-pelambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini