Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah sekolah darurat di Lampaya, pinggiran Banda Aceh, mereka membagi duka. Sebanyak 36 siswa SMA kelas 1 duduk lesehan di bawah tenda. Dibimbing oleh gurunya, Aniqotul Ummah, 22 tahun, mereka secara bergiliran mengisahkan pengalamannya saat tsunami menerjang.
Tak semua siswa sanggup menuturkan musibah yang menghabisi keluarganya. Begitu pula Ari, 17 tahun. Ketika mendapat giliran, ia malah termangu, tak serta-merta bersuara. Baru setelah Bu Guru terus menyemangati, mengalirlah kata-kata dari mulutnya. Tsunami telah merenggut ibu dan adiknya yang baru berusia dua tahun. Remaja ini mengaku sangat terpukul. Ari sempat meneteskan air mata saat bercerita. "Dulu cita-cita saya ingin jadi tentara. Tapi sekarang, enggak tahulah...," katanya.
Setelah semua murid berbagi kisah, Aniq menghibur mereka. Mahasiswi Universitas Ilmu Al-Quran di Jakarta ini mengerahkan segala jurus yang dia pelajari dalam pelatihan sebelum diberangkatkan ke Aceh sebagai sukarelawan. Para siswa diajaknya berdiskusi mengenai berbagai hal.
Semangat mereka untuk belajar pun lama-lama bangkit. Ari, misalnya, malah meminta agar mereka tak sekadar diajak berdiskusi. Dia ingin segera belajar seperti dulu, menggeluti mata pelajaran tertentu seperti bahasa Inggris atau biologi. "Ini perubahan yang menggembirakan," kata Aniq kepada Tempo.
Itulah yang terjadi pada Rabu pekan lalu, saat kegiatan belajar dan mengajar mulai diselenggarakan di Aceh. Kebetulan, bersama 32 guru relawan lainnya, Aniq bertugas menangani sekolah darurat di Lampaya. Sekolah ini menampung 200 orang siswa mulai TK hingga SMU. Mereka belajar di lima tenda tanpa bangku. Guru asli Aceh juga mulai didata. Ada 10 orang yang sudah masuk daftar. "Nanti, mereka akan jadi tulang punggung proses belajar-mengajar di sini," kata Ahmad Baedlowi, koordinator Pendidikan untuk Aceh dan Sumatera Utara (PUAS).
Sekolah darurat semacam itu ada sekitar 140 buah di seluruh Aceh. Selain PUAS, sejumlah lembaga juga aktif membina sekolah darurat, seperti Sampoerna Foundation, Sekolah Kartini, Dompet Dhuafa, PKS, Gerakan Pramuka, Save the Children, dan World Vision.
Kegiatan pendidikan juga mulai berlangsung di 130 sekolah yang selamat dari amukan tsunami. Berbagai kisah yang mengharukan pun muncul saat anak-anak mulai masuk sekolah. Lihatlah yang terjadi di SD Negeri 34 Banda yang terletak di Jalan P. Nyak Makam No. 18, Banda Aceh, Kamis pekan lalu. Hari itu, Ari Septiawan, seorang siswa kelas empat, tampak mencolok di antara kawan-kawannya. Dia menjadi satu-satunya siswa yang tak berseragam dan hanya memakai sandal jepit. "Pakaian dan sepatu saya hilang dibawa tsunami," katanya.
Di kelas, Septiawan menyimak serius penuturan Bu Guru Murnaeni, 45 tahun, yang berkisah tentang Nabi Ibrahim. Cerita yang sudah sering didengar sebenarnya. Tapi hari itu cerita tersebut terasa meresap di hati Septiawan. Terutama ketika sampai pada bagian Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim, yang mendesak suaminya agar menikahi Siti Hajar karena mereka tak jua memiliki keturunan, juga soal keikhlasan Is-mail yang dikorbankan ayahnya sesuai dengan perintah Allah. Bu Guru lalu meminta agar semua murid memetik pelajaran dari kisah itu dengan cara bersabar atas segala cobaan yang tengah menimpa.
Setelah keluar kelas, Septiawan mengaku menyukai cerita Bu Murnaeni. "Insya Allah, saya akan lebih tabah dan mampu melupakan Mamak," katanya. Saat tsunami datang meratakan rumahnya di Perumnas Kaju Indah, dia kehilangan ibunya, Syamsiah. Mamaknya yang bekerja sebagai bendahara SMEA I sebenarnya sempat melarikan diri dari kejaran bah. Tapi di tengah jalan ia justru tertabrak truk. Kini Septiawan bersama bapak dan dua ka-kaknya mengungsi ke tempat kerabatnya di kawasan Batok, Lueng Bata.
Selain Septiawan, di kelas itu ada juga Nurjanah, yang kehilangan orang tuanya. Tidak sedikit pula murid lain yang kehilangan kerabatnya. Itulah mengapa, selain mengisi kelas dengan menyanyi bersama, dalam dua hari pertama sejak sekolah dimulai 26 Januari lalu, Murnaeni lebih banyak bercerita tentang kisah keteladan para nabi, termasuk Nabi Ibrahim. "Ini akan membuat mereka lebih tabah menghadapi masa depan," ujarnya.
Ketika mengakhiri pelajarannya di kelas, Murnaeni tak lupa berpesan agar esok hari para siswa membawa buku Yassin. "Kita akan mendoakan orang tua dan saudara yang kehilangan. Kita akan baca terus tiap hari," ujarnya.
Sekitar pukul 10.30 Septiawan dan kawan-kawan pun pulang. Tapi aktivitas di sekolah itu belum usai. Kelas baru segera dimulai lagi. Maklum, gedung sekolah milik bersama antara SDN 34, SDN 65, dan SDN 81. Praktis, kini lebih dari 500 siswa memakai gedung yang berada tak jauh dari Stadion Lampineung Banda Aceh ini.
Di Banda Aceh, jumlah anak yang kembali sekolah, baik di sekolah umum maupun sekolah agama, sekitar 75 persen. Tapi di daerah yang terpencil dan kondisinya parah diperkirakan baru 30 persen anak kembali bersekolah.
Pada minggu pertama umumnya belum ada pelajaran formal yang diberikan. Maklum, banyak anak-anak yang masih trauma karena kehilangan anggota keluarganya. "Kami lebih banyak bermain, melakukan game, dan bernyanyi," kata Victor Yasadhana, fasilitator relawan PUAS.
Nurdin, Jojo Raharjo, Untung Widyanto (Banda Aceh), Agriceli (Meulaboh), Imran M.A. (Lhok Seumawe)
Sekolah yang Rusak di Aceh SD : 914 SMP : 155 SMU : 67
Guru yang Hilang Dari sekitar 40 ribu guru di Aceh, 1.747 orang dinyatakan hilang atau meninggal. Yang terbanyak di Banda Aceh, 696 guru meninggal atau hilang. Kini sudah ada sekitar 2.000 guru sukarelawan yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.
Dana Rehabilitasi Duit yang dibutuhkan untuk membangun lagi sekolah yang rusak diperkirakan mencapai Rp 375,67 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo