Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Legenda pada Batik Asam Jawa

Seluruh karya dibalut dengan cerita rakyat, mitos, atau legenda. Mengenalkannya kembali kepada generasi muda.

31 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebanyak 60-an anggota Komunitas 22 Ibu menggelar pameran lukisan batik tamarind karya mereka sendiri bertema cerita mitos di Nusantara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semarak, penuh dengan warna menyala, dan bergaya ilustratif. Kesan itu langsung menyergap ketika pengunjung masuk ke ruang pameran lukisan bertajuk “Reimagining The Myth Story of Nusantara with Tamarind Batik”. Bertempat di lantai dua gedung Grha Surya, di Jalan Nana Rohana Nomor 37, Bandung, pameran itu dibuka bertepatan dengan Hari Ibu, 22 Desember lalu, dan berlangsung hingga 10 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seniman perempuan dan pendidik seni dari Komunitas 22 Ibu, yang kini beranggotakan sekitar 60 orang, membuat lukisan itu dan menghelat sendiri pamerannya. Judul serupa pernah ditampilkan di Jakarta pada medio 2018. “Sekarang karyanya ditambah untuk melengkapi pameran sebelumnya,” kata seorang penggagas komunitas itu, Ariesa Pandanwangi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tema karya seluruhnya dibalut dengan cerita rakyat, mitos, ataupun legenda. Mereka ingin mengenalkan kembali hikayat Nusantara itu kepada generasi muda, termasuk anak milenial yang hidupnya akrab dengan perangkat teknologi informasi. Dari hikayat lawas itu, kata Ariesa, para anggota melukis berdasarkan interpretasi atas bagian naskah yang didapatnya. “Satu tema cerita terbagi menjadi lima-enam lukisan,” ujar dosen di Program Studi Seni Rupa Murni Universitas Kristen Maranatha Bandung itu.

Hasilnya, ada karya kelompok yang gambarnya saling terjalin memanjang antar-lukisan. Tapi banyak pula yang gambarnya lepasan dalam satu seri tema. “Karena kami menggambarnya di rumah masing-masing, disatukannya pas mau dipasang di sini.”

Mitos-mitos dan legenda pilihan yang mereka garap itu adalah Sangkuriang, Nyai Roro Kidul, Roro Jonggrang, Lutung Kasarung, Jaka Tarub, Desa Beringin Cirebon, Legenda Pulau Nias, Barong Landung, Jaka Tingkir, Asal-usul Danau Toba, dan Kisah Burung Enggang.

Mitos Pulau Nias, misalnya, mengungkap asal-usul leluhur. Hoho, atau cerita lisan masyarakat, mengisahkan manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua alias ono mbela atau manusia pohon. Dari sana, kelompok Ariesa mengembangkan narasi pada lukisannya hingga bergulir ke kondisi Nias sekarang. 

Ada sekitar 60 lukisan yang dipamerkan. Karya-karya itu bergaya naratif ilustratif dan naturalis dekoratif. Menurut Nuning Damayanti, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kedua gaya itu karakter khas dari artifak dan karya seni rupa di wilayah Asia Tenggara. 

Uniknya, seluruh karya dengan ragam warna kontras dan khas tropis ini dibuat dengan teknik batik lilin dingin gutta tamarind yang dikembangkan Komunitas 22 Ibu. Cara itu merupakan hasil eksplorasi dan eksperimen untuk mencari alternatif pengganti bahan dasar lilin (malam atau wax) yang biasa dipakai dalam pembuatan batik tradisional.

Mereka memanfaatkan tepung biji asam (tamarind) yang diolah secara sederhana menjadi “gutta” sebagai pengganti lilin. Fungsinya serupa, yaitu merintangi warna pada kain. Perintang adalah pembatas atau outline pada kain sebagai media batik yang berfungsi membatasi antar-warna, antar-bidang, dan memperjelas bentuk motif yang dibuat. 

Dengan cara itu, proses membatik menjadi lebih sederhana sekaligus modern. Menurut Ariesa, teknik batik berbahan asam Jawa ini tidak menggunakan canting ataupun lilin malam cair yang panas untuk menorehkan perintang pada kain. Dari awal racikan sampai penorehan bahannya ke kain, proses ini seperti cara membuat kue di dapur.

Komposisi bahannya terdiri atas tepung biji asam, bubuk tamarind, margarin, air hangat, yang diaduk hingga membentuk gel atau pasta. Racikan itu kemudian dibungkus dalam plastik segitiga yang dilubangi ujungnya. Pada pembuatan kue, plastik seperti itu biasa dipakai sebagai wadah krim untuk menghias kue. Alat itu menjadi pengganti canting. 

Setelah pola pada kain jadi dan dijemur, tahap selanjutnya adalah pewarnaan dengan sapuan kuas. Pewarna bisa memakai bahan alami ataupun pabrikan. Langkah berikutnya, mengukus kain, mencucinya dengan sabun untuk menghilangkan tapak gutta, lalu dijemur. Mereka masih mengembangkan teknik ini agar proses membuat batik ini bisa lebih sederhana sehingga bisa dilakukan anak usia dini, tanpa menghilangkan esensi dari batik itu sendiri. ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus