Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kerumunan massa aksi demo di Patung Kuda, Jakarta Pusat, dua orang buruh tampak memikul hasil bumi. Hasil bumi berupa empat sisir pisang dan serenceng gula merah diikatkan ke sebilah bambu dan diarak menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil panen ini menandai aksi unjuk rasa berlangsung untuk memperingati Hari Tani Nasional. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah mengatakan massa ingin menunjukkan bahwa petani memiliki peran besar dalam menjaga ketahanan pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita akan bangun bagaimana negara ini berdaulat karena pangan yang diproduksi petani, bukan korporasi, bukan food estate, bukan perusahaan yang memproduksi pangan. Harus berbasiskan keluarga petani dengan meredistribusikan kepada petani," ujar dia di sela-sela demo pada Sabtu, 24 September 2022.
Para pendemo yang merupakan gabungan petani dari Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, serta anggota Partai Buruh berkumpul sejak pukul 10.15 WIB. Mereka berjalan di Jalan Medan Medeka Barat melewati Monumem Nasional atau Monas, lalu putar balik melewati Balai Kota DKI, dan kembali tiba di depan Patung Kuda pada pukul 10.48 WIB.
Massa bergerak dipimpin tiga mobil komando dan beberapa orang yang bergantian melakukan orasi. Massa sebagian besar membawa bendera Partai Buruh berwarna oranye dan bendera SPI berwarna kuning.
Ada pula yang membawa spanduk dan poster yang bertuliskan tuntutan. "Tolak kenaikan harga BBM, hentikan intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi," berikut bunyi tulisan dalam salah satu spanduk.
Ruli menjelaskan, demo yang digelar hari ini tidak hanya dilaksanalan di Jakarta, tapi juga di seluruh daerah. Buruh menyerukan tiga tuntan. Pertama, buruh meminta agar pemerintah melaksanakan reforma agraria dan menyelesaikan konflik lahan.
Menurut dia, pemerintah sudah berjanji akan meredistribusikan 9 juta hektare tanah sesuai dengan program prioritas yang akan dilaksanakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Namun, kenyataannya, sampai saat ini realisasinya minim.
"Bahkan kita banyak mengalami kriminalisasi, penggusuran terhadap perjuangan-perjuangan petani yang menuntut haknya terhadap hak atas tanah," ucap Ruli.
Tuntutan kedua, buruh menolak UU Cipta Kerja. Karena, kata Ruli, di dalamnya selain persoalan buruh, petani juga ikut menderita karena inti dari undang-undang sapu jagat itu adalah penguasaan lahan untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek infrastruktur atas nama proyek strategis atau proyek pembangunan nasional. "Lahan-lahan petani digusur."
Tanah yang ada, Ruli berujar, akan ditampung ddalam bank tanah seperti yang disebutkan dalam UU Cipta Kerja. Tanah inim kata dia, akan dimanfaatkan kepentingan investasi, bukan untuk kepentingan petani. "Sehingga kita menolak UU Omnibus Law atau Cipta Kerja itu," tutur Ruli.
Selain itu, UU Cipta Kerja dianggap membuka kebebasan yang luas terhadap impor pangan. "Kita lihat jor-joran garam kita impor, bahkan minyak kelapa pun yang sawitnya mejadi kebun sawit terbesar di dunia kita juga mengalami persoalan," kata dia. "Jadi ini adalah persoalan penguasaan, kekayaan alam, agraria dari mulai hulu hingga hilir, kita mau persoalan pangan itu berbasiskan keluarga petani bukan berbasiskan korporasi."
Tuntutan ketiga, buruh meminta pemerintah membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM. Sebab jelas, keputusan itu mempengaruhi harga produksi pertanian di petani. Kenaikan harga ini juga membuat pupuk mahal dan traktor mahal sehingga menambah penderitaan petani
"Paling tidak tiga tuntutan kita di aksi hari tani ini yang akan kita sampaikan langsung ke Presiden Jokowi dan rencananya kami dapat informasi akan diterima oleh pihak Sekretariatan Presiden. Mudah-mudahan perwakilan petani bisa masuk dan menyerahkan tuntutannya secara langsung."
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini