Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lucky Alfirman menyatakan transfer ke daerah (TKD) bukan hanya berasal dari dana bagi hasil atau DBH. Pernyataan tersebut untuk menjawab protes Bupati Meranti Muhammad Adil yang menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksplorasi minyak di daerahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lucky menjelaskan, banyak kebijakan yang dilakukan Kemenkeu untuk daerah. Salah satunya menggunakan sebagian pendapatan negara dari penerimaan di berbagai sektor untuk ditransfer ke daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tahun 2022 ini kita alokasikan Rp 804 triliun dalam bentuk TKD. Itu enggak main-mian jumlahnya. Tahun depan kita alokasikan lagi menjadi Rp 814 triliun TKD, akan kita salurkan kepada daerah,” ujar dia dalam konferensi pers di Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Jumat, 16 Desember 2022.
Kemenkeu ingin memastikan pemerintah daerah bisa memberikan pelayanan publik kepada masing-masing daerah sebagai pelaksanaan desentrasiliasi fiskal. Kebijakan tersebut, kata Lucky, sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang dirumuskan pemerintah pusat. Menurut dia aturan itu sudah berjalan.
Namun, dia melanjutkan, dukungan dari pemerintah pusat kepada daerah sebaiknya tak hanya dilihat melalui TKD. Sebab di dalamnya, banyak sekali instrumennya, mulai DBH, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) yang terdiri atas fisik dan nonfisik.
"Yang spesial ada otonomi khusus, dana desa, insentif fiskal. Jadi dalam satu kelompok TKD sendiri kita banyak istrumen,” ucap dia.
Dukungan pemerintah pusat kepada daerah, kata Lucky, tidak hanya sampai di situ. Lainnya ada belanja pemerintah pusat di daerah yang bentuknya cukup banyak. Dia mencontohkan pembangunan infrastruktur yang dilakukan Kementerian PUPR, ada perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan prgram keluarga harapan (PKH).
Anggaran tersebut tidak tercantum dalam TKD, tapi sumbernya dari anggaran pendapatan dan belanja nasional atau APBN. “Itu semua yang menikmatinya adalah masyrakat daerah. Enggak kalah ada juga subsidi BBM, listrik, dan pupuk, itu anggarannya ada di APBN,” tutur Lucky.
Polemik Dana Bagi Hasil Kabupaten Meranti
Sebelumnya, Bupati Meranti Muhammad Adil mengeluarkan pernyataan dan menyebut pegawai Kemenkeu sebagai iblis atau setan. Adil menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah yang dia pimpin.
Adil menyampaikan itu dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru. Dia menyatakan kecewa kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Lucky Alfirman. Pada sesi tanya jawab, Adil mempertanyakan ihwal DBH minyak di Kepulauan Meranti kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kemenkeu.
"Ini orang keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Gak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat," ujar Adil dalam sebuah video berdurasi 1 menit 55 detik beredar di media sosial.
Menurut Adil, wilayah yang dia pimpin adalah daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat. Ia juga mengeluhkan pemerintah daerah yang tak bisa leluasa bergerak membangun di daerah dan memperbaiki hajat hidup orang banyak karena sumber daya alamnya disedot oleh pemerintah pusat.
“Bagaimana kami mau membangun rumah, bagaimana kami mengangkat orang miskin, nelayannya, petaninya, buruhnya” kata Adil.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo keberatan dan menyayangkan munculnya pernyataan tersebut. “Kami keberatan dan menyangkan pernyataan Bupati Meranti saudara Muhammad Adil yang sungguh tidak adil karena mengatakan pegawai Kemenkeu iblis atau setan,” ujar dia melalui video yang diunggah di akun Twitter pribadinya pada Ahad, 11 Desember 2022
Dia menilai pernyataan Adil ngawur dan menyesatkan. Sebab, Kemenkeu justru sudah menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Data itu untuk menenentukan DBH yang bukan hanya untuk daerah penghasil, tapi juga daerah sekitar untuk merasakan kemajuan bersama. “Hal itu juga sesuai dengan Undang-undang yang berlaku,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.