Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM merevisi Peraturan Menteri mengenai penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan salah satu poin penting dalam revisi beleid tersebut adalah soal ketentuan ekspor listrik yang diproduksi PLTS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui revisi beleid ini, ketentuan ekspor listrik yang diproduksi PLTS bisa mencapai 100 persen dari ketentuan saat ini yang maksimum 65 persen.
"Angka 65 persen dianggap belum menarik, buktinya selama 3,5 tahun berjalan kapasitas terpasang baru 35 megawatt," ujar Dadan dalam konferensi pers, Juamt, 27 Agustus 2021.
Dadan mengatakan ketentuan ekspor 65 persen itu bisa dinaikkan menjadi 85 persen, 90 persen, maupun 100 persen. Namun, sejalan dengan arahan dari Menteri ESDM Arifin Tasrif, ia mengatakan perlunya ada insentif sebagai bentuk perharian pemerintah kepada masyarakat.
Berdasarkan Pasal 6 Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018, energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh Ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen. Perhitungan energi listrik Pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh Impor dengan nilai kWh Ekspor.
Apabila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor pada bulan berjalan, selisih lebih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya.
Berdasarkan beleid itu juga, Selisih lebih yang diperhitungkan diakumulasikan paling lama 3 bulan untuk perhitungan periode tagihan listrik bulan Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, atau Oktober sampai dengan Desember.
Dadan mengatakan ketentuan tersebut nantinya akan diubah dari periode tiga buan menjadi enam bulan. "Jadi tidak bisa kita nabung lalu dipakai tahun depan, tidak bisa. Pasti dinolkan. Ini untuk memastikan kepastian penyediaan listrik oleh konsumen maupun PLN," ujarnya.
Revisi beleid lainnya adalah mengenai jangka waktu permohonan PLTS yang lebih singkat, yaitu yang semula 15 hari menjadi maksimum 12 hari untuk pemohon dengan perubahan perjanjian jual beli listrik atau PJBL dan maksimum 5 hari untuk pemohon tanpa perubahan PJBL.
Dengan adanya perubahan itu, ESDM berharap kapasitas terpasang untuk PLTS Atap bisa ditingkatkan mencapai 3,6 gigawatt di 2025.
CAESAR AKBAR