Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Soal PLTU Penyebab Polusi Udara Jakarta, Pakar: Selalu Dijadikan Kambing Hitam

PLTU dituding sebagai salah satu penyebab polusi udara. PLN dan pakar emisi udara dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa kompak menepis tudingan itu.

24 Agustus 2023 | 15.51 WIB

Ilustrasi PLTU. Antaranews
Perbesar
Ilustrasi PLTU. Antaranews

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra, dan pakar emisi udara dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Anton Irawan, kompak menepis bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap alias PLTU menjadi salah satu kontributor utama polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurut Anton, PLTU selalu dijadikan kambing hitam.

Edwin: PLTU adopsi teknologi ramah lingkungan

Dilansir dari Tempo, Edwin mengatakan teknologi ramah lingkungan telah diadopsi pada PLTU di sekitar Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Ada Electrostatic Precipitator (ESP) serta Continuous Emission Monitoring System (CEMS),” kata Edwin, Rabu, 23 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Teknologi tersebut, kata dia, terpasang pada tiap-tiap cerobong pembangkit listrik untuk memastikan emisi gas buang, termasuk PM 2.5 mampu ditekan dengan maksimal. PM 2.5 adalah partikel udara berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron.

“ESP merupakan teknologi ramah lingkungan pada PLTU yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang dengan ukuran sangat kecil,” beber Edwin.

Sedangkan CEMS, lanjut Edwin, merupakan teknologi untuk memantau emisi pembangkit secara terus menerus. Dengan begitu, emisi yang keluar dari cerobong bisa dipantau secara real time, serta dipastikan tidak melebihi baku mutu udara ambien yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Prinsip kerja ESP, kata Edwin, memberi muatan negatif kepada abu hasil pembakaran melalui beberapa elektroda. Jika abu itu diteruskan ke dalam sebuah kolom yang terbuat dari plat yang memiliki muatan lebih positif, secara alami abu akan tertarik oleh plat bermuatan positif tersebut. 

Abu hasil pembakaran itu lalu terakumulasi, kemudian sebuah sistem rapper khusus membuat abu tersebut jatuh ke bawah dan keluar dari sistem ESP. "Efisiensi penyaringan abu dengan ESP mampu mencapai 99,99 persen," tutur dia.

Edwin menjelaskan, selain pemasangan ESP, pihaknya juga melakukan pemasangan Low NOx Burner dan pemilihan batubara rendah sulfur (coal blending) pada setiap PLTU. Sehingga, kata dia, emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada dibawah ambang batas pemenuhan baku mutu sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 15 Tahun 2019. 

Dia lantas mencontohkan hasil monitoring CEMS per 15 Agutus 2023 mencatat, emisi masih di bawah baku mutu yang ditentukan oleh KLHK. Edwin juga menyebut KLHK telah menyematkan penghargaan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) kepada PLTU.

"KLHK menyematkan sedikitnya sembilan penghargaan proper emas pada PLTU, 10 hijau 2 biru pada 2022," ungkap Edwin.

Pembangkit listrik tersebut antara lain PLTU Suralaya 1-7, PLTU Banten 1 Suralaya, PLTU Lontar dan PLTU Pelabuhan Ratu. Pembangkit-pembangkit tersebut menopang kebutuhan listrik Jakarta dan sebagian Jawa Barat.

Selanjutnya: Anton: PLTU sudah dipasang ESP

Anton: PLTU sudah dipasang ESP

Senada dengan Edwin, Anton Irawan yang merupakan pakar emisi udara dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, juga menyebutkan bahwa rata-rata PLTU sudah dipasang ESP dan hasil penyaringan emisi (fly ash) dengan teknologi itu mencapai 99,5 persen, sehingga tidak beterbangan.

Lebih lanjut Anton menjelaskan, emisi PLTU berbasis batu bara berupa fly ash sudah terkonsentrasi menjadi bahan baku semen, menyusul diterapkannya teknologi ESP pada PLTU.

“Hasil penyaringan emisi itu (fly ash) juga berguna untuk bahan baku semen. Fly ash sudah menjadi nilai tambah, jadi memang sudah sangat ramah,” katanya, di Jakarta, Rabu, 23 Agustus 2023.

Hasil penyaringan emisi tersebut, Anton menjelaskan, bisa terlihat dari perbedaan asap yang dikeluarkan dari PLTU.

Dia menyatakan, saat ini pengelolaan pembangkitan listrik berbasis batu bara di Tanah Air sudah bagus, tinggal bagaimana pemantauan oleh pemerintah sehingga emisi udara ambien tetap di bawah baku mutu emisi sesuai PP No. 22/2021 pada Lampiran VII.

PLTU selalu dijadikan kambing hitam

Saat ini, kata Anton, banyak PLTU yang memperoleh penghargaan patuh terhadap aturan yang ditentukan oleh KLHK, sehingga tidak tepat jika pembangkit listrik berbasis batu bara selalu dijadikan kambing hitam, karena semua sudah memenuhi standar yang ditetapkan dunia.

Bahkan, kata dia lagi, kajian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa tidak ada emisi yang mengarah ke Jakarta untuk bulan Juli-Agustus, karena angin sedang mengarah ke Samudra Hindia.

Menurutnya, kajian terkait polusi udara mengabaikan sektor lain dalam pemodelannya seperti sektor transportasi dan industri, apalagi sudah banyak kajian yang menyatakan transportasi sebagai penyebab utama polusi udara.

Anton menegaskan, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk sumber emisi yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta menurun.

AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus