Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seleb

Begini Kata Akademisi soal Konten Prank KDRT Baim Paula

Menjadikan pelaporan kasus KDRT sebagai konten prank, selain tidak berempati dan menghargai korban, juga berpotensi membuat menyalahkan korban .

5 Oktober 2022 | 09.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Baim Wong dan Paula Verhoeven meminta maaf atas konten prank KDRT ke polisi, Senin, 3 Oktober 2022. Foto: Instagram Baim Wong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini pasangan selebriti Baim Wong dan Paula Verhoeven menjadi sorotan setelah konten prank mereka tentang laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Polsek Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konten tersebut diupload di kanal Youtube Baim Paula. Namun kemudian dihapus setelah mendapat kritikan dari warganet yang menganggap bahwa konten tersebut minim empati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain menarik perhatian masyarakat, kasus ini juga membuat banyak akademisi berkomentar. Salah satunya adalah Radius Setiyawan, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya).

Radius berpendapat bahwa konten prank bukanlah hal baru di Indonesia. Para konten kreator membuat konten prank hanya untuk meningkatkan viewernya meskipun harus menghilangkan sisi kemanusiaan.

“KDRT adalah urusan serius, bukan candaan yang bisa di normalisasi. Selain tidak punya empati pada korban, menjadikan kasus KDRT sebagai candaan juga berpotensi melanggengkan budaya kekerasan,” kata Radius seperti dikutip dari laman um.surabaya.ac.id

Konten yang dibuat memang bertujuan untuk mencairkan suasana tegang dari viralnya kasus KDRT yang menimpa salah satu publik figur. Tetapi, hal ini akan mengesalkan jika semua yang terjadi tidaklah benar.

“Menjadikan proses pelaporan kasus KDRT sebagai konten prank, selain tidak berempati dan menghargai korban, juga berpotensi membuat menyalahkan korban atau victim blaming,” kata dia.

Radius menegaskan bahwa hal yang paling dikhawatirkan adalah, jika KDRT dinormalisasi, ketika ada kasus pelaporan seperti ini, tidak ada yang percaya karena sudah sering dijadikan candaan.

Untuk itu Radius mengajak agar berhenti menjadikan KDRT sebagai bahan hiburan. Dan untuk pemerintah serta masyarakat harus menyuarakan zero tolerance terhadap kekerasan.

“Artinya tidak ada toleransi sekecil apa pun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara,” tegas Radius.

FANI RAMADHANI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus