Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Eksektufi Mahasiswa Universitas Indonesia atau BEM UI meminta aturan tentang demonstrasi di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dicabut. BEM UI menilai aturan tentang demonstrasi yang memuat ancaman pidana itu bisa mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Padahal unjuk rasa itu sendiri adalah kepentingan umum,” kata Ketua BEM UI Bayu Satria Utomo dalam diskusi daring, Kamis, 16 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayu mengatakan tanpa adanya ancaman pidana di RKUHP itu pun, mahasiswa sering kesulitan untuk melakukan unjuk rasa. Dari pengalaman unjuk rasa sebelumnya, dia mengatakan sudah berusaha memberikan surat pemberitahuan unjuk rasa ke kepolisian. Namun, seringkali surat itu ditolak atau mahasiswa tidak diberikan surat tanda terima.
Menurut dia, bahkan dengan surat pemberitahuan pun, banyak mahasiswa dan masyarakat sipil yang ditangkap. Dia khawatir penangkapan itu akan semakin sering terjadi bila aturan dalam RKUHP tentang demonstrasi disahkan. “Ini sangat rentan untuk kami yang berada di lapangan,” kata dia.
Mengenai unjuk rasa, diatur dalam Pasal 273 draf RKUHP. Pasal 273 menyebutkan pihak yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Sementara, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pihak yang melakukan unjuk rasa tanpa pemberitahuan hanya diberikan sanksi administrasi berupa pembubaran.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.