Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terdakwa Arif Rachman Arifin mengatakan kliennya tidak mengetahui adanya pelecehan seksual istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan hanya diperintah oleh Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan untuk menjadikan kasus itu dalam satu folder.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pembacaan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 28 Oktober 2022, kuasa hukum mengatakan ada perbedaan surat dakwaan dengan Berita Acara Pemeriksaan Arif Rachman Arifin yang ditandatangani 29 Agustus 2022. Kuasa hukum Arif, Junaedi Saibih, mengatakan dalam BAP Arif tidak disebutkan ia hanya mendapat perintah dari Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan untuk menemui penyidik Polres Jakarta Selatan. Perintah Hendra saat itu agar Arif meminta penyidik membuat satu folder khusus untuk menyimpan file dugaan pelecehan Putri Candrawathi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tanpa ada fakta yang menunjukkan bahwa terdakwa mengetahui perihal ‘ada atau tidaknya peristiwa pelecehan’,” kata Junaedi.
Namun kuasa hukum menilai Jaksa Penuntut Umum menambahkan pernyataan asumtif dalam surat dakwaan Arif Rachman Arifin, yakni ‘hal tersebut merupakan hal yang mengada-ada karena memang tidak ada peristiwa pelecehan’. Menurut kuasa hukum, pernyataan asumtif itu menggambarkan seolah-olah Arif Rachman Arifin mengetahui pelecehan seksual yang merupakan skenario Ferdy Sambo.
Kuasa hukum juga mengatakan kliennya hanya berada pada tempat dan waktu yang salah sehingga tidak adil baginya ikut didakwa. “Sehingga sangat tidak adil bagi beliau bila didakwa memiliki kesamaan niat denga Ferdy Sambo untuk menyembunyikan kebenaran terkait dugaan pembunuhan korban Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat,” ujarnya.
Menurut kuasa hukum, berdasarkan fakta dan kronologi yang tertulis dalam surat dakwaan, jelas terdakwa Arif Rachman Arifin mencoba mengkonfirmasi ia melihat Yosua masih hidup ketika Ferdy Sambo sampai ke TKP. Namun Ferdy Sambo malah menyatakan Arif Rachman Arifin keliru.
“Sehingga tidak mungkin Arif Rachman Arifin mengetahui fakta atau kronologi kejadian yang sebenarnya terjadi di Kompleks Perumahan Polri Duren Tiga, apalagi mempunyai niat yang sama dengan Ferdy Sambo untuk menyembunyikan pembunuhan,” kata Junaedi.
Selain itu, kuasa hukum menilai tidak ada kesamaan niat antara Arif Rachman Arifin karena diajak menonton salinan (copy) rekaman CCTV yang telah disalin oleh Baiquni Wibowo. Kemudian, ia melapor ke Hendra Kurniawan selaku atasannya. Atas laporan tersebut Hendra bersama Arif menghadap Ferdy Sambo.
“Ferdy Sambo dengan emosi dan nada tinggi memerintahkan agar memusnahkan dan menghapus semua salinan (copy) rekaman CCTV yang berada dalam laptop Baiquni Wibowo,” kata kuasa hukum.
Selain itu, kata Junaedi, Arif juga mendapat ancaman dari Ferdy Sambo yang mengatakan, “Kalo sampe bocor berarti dari kalian berempat!”. Kuasa hukum mengatakan dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum dengan jelas mengkategorikan perintah Ferdy Sambo tersebut merupakan ancaman.
Atas uraian tersebut, kuasa hukum memohon Majelis Hakim agar menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum karena penyidikan dalam proses penuntutan terdakwa Arif Rachman Arifin dilakukan secara tidak sah. Kuasa hukum juga meminta Majelis Hakim membebaskan kliennya dari tahanan.
“Kami juga memohon Majelis Hakim menyatakan surat dakwaan prematur untuk diajukan karena tindakan yang dilakukan oleh terdakwa Arif Rachman Arifin masih dalam ruang lingkup administrasi negara sehingga harus dilakukan pemeriksaan dan penyelesaian di ruang lingkup administrasi terlebih dahulu,” kata Junaedi.