Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya telah menerima hasil digital forensik usai ekshumasi terkait kematian Raden Adante Khalif Pramudityo alias Dante (6), anak dari artis Tamara Tyasmara. Hasil tersebut berupa rekaman CCTV yang asli dan tidak diedit, tetapi detail peristiwa dalam rekaman tersebut tidak dijelaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, hasil dari kedokteran forensik terkait kegiatan ekshumasi jasad Dante juga telah diterima. Kepala Subdit Jatanras menyatakan bahwa kedua hasil forensik tersebut sangat berguna dalam pembuktian scientific investigation. Penyidik akan melakukan gelar perkara untuk menentukan tersangka, dengan rencana penyidikan yang mendalam terhadap rekaman CCTV tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi telah menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan karena ditemukan dugaan adanya peristiwa pidana dalam kasus tersebut. Sebelumnya, Dante ditemukan tewas tenggelam di kolam renang pada 27 Januari 2024. Pemeriksaan kasus ini telah melibatkan 16 saksi, termasuk hasil olah tempat kejadian perkara awal oleh Polsek Duren Sawit.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menyatakan ada beberapa saksi yang melihat korban sedang latihan berenang, kemudian ada saksi lain yang melihat Dante muntah-muntah. “Ketika diangkat ke atas, korban sudah tidak sadarkan diri,” ucapnya.
Bukan kali pertama ekshumasi digelar di Indonesia?
Sebelumnya sempat ada juga kasus ekshumasi yang ramai di Indonesia, kasus itu ialah kasus kekerasan dan pembunuhan oleh Ferdy Sambo. Korbannya adalah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang dikenal sebagai Brigadir J atau Brigadir Yosua.
Setelah melalui beberapa hambatan. Brigadir J kembali diekshumasi. Sebelumnya, hasilnya telah diumumkan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Ade Firmansyah. Ade menyatakan bahwa tidak ditemukan tanda-tanda penyiksaan pada jasad Brigadir J.
Ekshumasi tersebut dilakukan atas permintaan keluarga untuk mencari keadilan dan pengungkapan kasus, karena ditemukan kejanggalan pada luka di tubuhnya yang mengindikasikan adanya pembunuhan berencana.
Dalam ekshumasi tersebut, ditemukan bahwa luka pada jari kelingking dan jari manis kiri disebabkan oleh tersambar lintasan peluru, sementara luka pada wajah disebabkan oleh rekoset peluru. Ada lima luka peluru masuk dan empat luka keluar, serta satu peluru yang bersarang di tulang belakang. Namun, yang menjadi sorotan adalah adanya dua luka fatal pada tubuh Brigadir J, yakni di kepala dan satu di dada.
Tim khusus Bareskrim Mabes Polri yang dibentuk telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, termasuk Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, Bharada Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf. Mereka dijerat dengan Pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.
Autopsi ulang tersebut memberikan kepastian bahwa kematian Brigadir J tidak disebabkan oleh penyiksaan, tetapi oleh luka tembak yang fatal. Hal ini memperkuat dugaan keluarga bahwa kematian Brigadir J adalah hasil dari pembunuhan yang direncanakan.
Selanjutnya: Ekshumasi korban kekerasan polisi di Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022, telah memakan korban sebanyak Total korban tragedi Kanjuruhan hingga 24 Oktober 2022 sebanyak 794 orang. Dari jumlah tersebut, 695 orang mengalami luka-luka dan 135 orang dinyatakan meninggal.
Dalam proses pencarian fakta, keluarga korban tragedi Kanjuruhan memutuskan untuk membatalkan proses ekshumasi yang seharusnya dilanjutkan dengan autopsi atas kedua jenazah, menyatakan bahwa mereka mengalami intimidasi. Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima keluhan dari Devi Athok Yulfitri terkait masalah ini.
"Awalnya, Devi bersedia memperbolehkan kedua jenazah anaknya untuk diautopsi," kata Sekretaris Jenderal Federasi Kontras, Andy Irfan.
Namun, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) membantah adanya intimidasi dari pihak kepolisian terhadap keluarga korban. Mereka menyatakan bahwa pembatalan autopsi bukanlah intervensi dari pihak berwenang, melainkan mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman dari pihak keluarga.
Pada akhirnya, Mahkamah Agung (MA) hanya menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan 2,5 tahun penjara kepada eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Mereka awalnya divonis bebas dalam tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas.
Ekshumasi sendiri merupakan proses penggalian kembali mayat setelah telah dikubur. Di Indonesia, aturan terkait ekshumasi diatur dalam Pasal 135 KUHAP, yang menegaskan bahwa ekshumasi dilakukan untuk kepentingan peradilan dengan persetujuan dan pemberitahuan kepada keluarga korban.
Tujuan dari ekshumasi antara lain untuk memastikan penyebab kematian yang diragukan, menelusuri kematian yang tidak wajar setelah pemakaman, atau untuk keperluan identifikasi.
Prosedur ekshumasi melibatkan pengawasan penyidik dan tim medis, identifikasi kuburan, pengangkatan jenazah dengan hati-hati, dan pemeriksaan otopsi oleh Tim Kedokteran Forensik.
Pembatalan ekshumasi dalam kasus ini memunculkan pertanyaan tentang transparansi dan perlindungan terhadap hak keluarga korban. Masyarakat dan pihak berwenang diharapkan untuk tetap menghormati proses hukum dan memberikan dukungan kepada keluarga korban untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran atas tragedi Kanjuruhan.
MICHELLE GABRIELA | EBEN HEIZAR | EKA YUDHA SAPUTRA | NOVALI PANJI NUGROHO