Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra membantah pernyataan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie yang menganggapnya terlibat dalam penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri. Di persidangan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kasus BLBI ia mengatakan draf inpres yang disebut Kwik menjadi dasar hukum penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk para pemilik bank yang berhutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dibuat Menteri Sekretaris Kabinet yang waktu itu dijabat Bambang Kesowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yusril, Menteri Kehakiman tidak berwenang membuat draf inpres. Setelah dicek aslinya, kata Yusril, ada salinan tertanda oleh Deputi Sekretaris Kabinet Lambok Bahartan. “Jadi jelas itu dari Sekretariat Kabinet, tidak mungkin dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM," ujar Yusril pada sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 5 Juli 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kwik Kian Gie mengatakan Yusril terlibat penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri. Aturan itu menjadi dasar hukum penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk para pemilik bank yang berhutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Seingat saya (Megawati) menugaskan Pak Yusril sebagai Menteri Kehakiman untuk menyusun (aturannya)," kata Kwik dalam sidang itu.
Syafruddin didakwa merugikan negara dalam penerbitan SKL untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). KPK mendakwa bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu memperkaya pemegang saham pengendali BDNI, Sjamsul Nursalim, lewat penerbitan SKL itu. Adapun Yusril yang menjabat Menteri Kehakiman era Megawati menjadi pengacara Syafruddin saat ini.
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken pada Desember 2002 itu mendasari kewenangan BPPN mengeluarkan SKL. SKL itu memberi jaminan pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para penerima BLBI yang dianggap telah melunasi utangnya.
Berdasarkan inpres itu para debitor penerima BLBI dianggap sudah menuntaskan utangnya walaupun hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Berpijak pada bukti itulah para debitor yang kasusnya dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara.
Kwik menjabat sebagai Menteri Bappenas sekaligus mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat aturan itu dibahas. KKSK adalah lembaga yang membawahi BPPN.
Kwik mengatakan pembahasan penerbitan Inpres SKL BLBI dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam dua pertemuan pertama, kata dia, hadir Menteri Koordinator Perekonomian Dorojatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi dan Jaksa Agung M.A. Rahman.
Simak: Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie Bakal Bersaksi di Sidang BLBI
Dalam rapat itu dibahas rencana menerbitkan SKL untuk para obligor yang dianggap kooperatif. Dalam dua pertemuan itu Kwik menentang keras proposal itu. Rapat tidak mencapai kesimpulan. Namun dalam pertemuan ketiga yang diikuti jajaran menteri yang sama plus Yusril selaku Menteri Hukum dan Perundang-undangan akhirnya Inpres itu disetujui.
Kwik mengaku tak sempat menyampaikan protes atas SKL yang kemudian menjadi kasus BLBI ini. Dia mengatakan tak berkutik karena menteri lainnya lebih banyak menyampaikan pendapat. Presiden Megawati akhirnya setuju mengeluarkan Inpres yang mendasari penerbitan SKL untuk para obligor yang dianggap kooperatif. Saat menutup rapat, kata Kwik, Mega memerintahkan Yusril menyusun draf aturan itu.