Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang kepala desa di Aceh meringkuk dalam tahanan sebab diduga memproduksi dan mengedarkan benih padi unggul IF8. Munirwan, Kepala Desa atau Keuchik Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara dijadikan tersangka setelah pemerintah Aceh melaporkannya kepada polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi NGO HAM di Aceh kemudian mendampingi Munirwan yang saat ini ditahan Kepolisian Daerah Aceh. Menurut Zulfikar Muhammad, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM kasus ini berawal pada 2016. Saat itu ada pencanangan swasembada pangan. "Jadi oleh Gubernur Irwandi diserahkan secara simbolis bibit padi ini ke masyarakat dengan pilot project Desa Meunasah Rayeuk," kata Zulfikar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Zulfikar, bantuan pemerintah itu berhasil membuat panen raya pada 2017. Dianggap cukup memuaskan, padi digunakan kembali untuk konsumsi pribadi dan pembibitan kembali. Prosesnya terus berjalan hingga 2018, berdasarkan hasil rapat masyarakat, bibit padi IF8 dikelola oleh Badan Usaha Milik Gampong (BUMG).
Pada 2018, bibit padi yang telah dibudidaya diperlombakan kompetisi Inovasi Desa. Meraih juara pertama di tingkat Provinsi Aceh, bibit padi IF8 kembali diperlombakan di tingkat nasional dan mendapat juara 2. Sekaligus membuat bibit padi IF8 masuk ke dalam Bursa Inovasi Desa 2019 oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi atau Kemendes PDTT.
Bursa Inovasi Desa adalah sejenis menu di Kemendes PDTT yang membuat setiap produk yang terdaftar dapat dibeli oleh seluruh desa di Indonesia.
“Setiap produk yang menjadi juara dimasukkan ke bursa. Gunanya sebagai keuntungan untuk desa dan desa bisa mandiri. Kemendes juga telah menurunkan tim untuk menelaah bibit ini, lalu dinas pertanian juga sudah menurunkan tim untuk memeriksa umbi dari bibit padi ini. Dan semua opininya bagus,” ungkap Zulfikar.
Lebih lanjut Zulfikar menjelaskan, berdasarkan kesepakatan masyarakat, dibentuk unit usaha dari BUMG Meunasah Rayek yaitu PT Bumades Nisami Indonesia. Hasil panen masyarakat dikumpulkan secara massal, disortir kemudian kembali dijadikan bibit. Hasil budidaya tersebutlah yang kemudian terkomersialisasi secara massif.
Ihwal itu, Pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh melaporkan Keuchik Munirwan kepada pihak berwajib.
“Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh melaporkan karena dianggap bibit ini belum dilepaskan (disertifikasi). Padahal secara PP 44, yang namanya pelepasan bibit itu tidak mesti ada surat. Kalau Pemerintah sudah menjadikan itu program, secara otomatis sudah dilepas. Jadi seharusnya pemerintah langsung mengeluarkan izin karena ini kan sudah masuk dalam bursa,” sebut Zulfikar.
Selain soal regulasi, Zulfikar mengkritisi penahanan Keuchik Munirwan. Jika pun produknya yang belum disertifikasi, bukan justru orangnya yang dilaporkan secara pidana.
“Seharusnya kalau bibitnya belum disertifikasi yang ditahan itu bibit. Negara boleh mengambil bibit ini, dikarantina istilahnya sampai keluar sertifikat. Bukan orangnya yang dilaporkan secara pidana, itu kan mematikan gagasan, mematikan inovasi,” kata Zulfikar.
Padahal menurut Zulfikar, Munirwan yang baru terpilih menjadi Keuchik sejak September 2018, melanjutkan program yang telah berjalan dan atas persetujuan masyarakat demi kemandirian desa. Hal lain yang memunculkan pertanyaan, kenapa program yang telah sukses dijalankan masyarakat justru dipidanakan saat telah berhasil.
Keberhasilan budidaya bibit padi IF8 dibuktikan omset BUMG yang mencapai Rp 1 miliar lebih. Begitupun dengan Bupati Aceh Utara dan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang hadir saat panen raya 2018. Bahkan saat itu, Presiden Jokowi sempat dijadwalkan datang langsung untuk melakukan panen raya bersama masyarakat Gampong Meunasah Rayeuk.
Proses penjualan yang dilakukan pun bukan dengan mempromosikan ke toko-toko. Namun sesuai dengan pesanan yang diterima.
“Cara dia produksi bukan dia jual ketengan, itu berdasarkan pesanan. Jadi dia menyediakan bibit setelah ada pesanan. Misalnya kan itu sudah masuk ke bursa, terus ada dari daerah lain ada permintaan baru disiapkan. Ini bukan seperti apa yang dipikirkan Kepala Dinas dibawa ke kedai. Soal itu didapati di kios, itu di luar kendali,” tegas Zulfikar.
Hingga saat ini, Keuchik Munirwan masih ditahan di Markas Besar Polda Aceh. Dirinya dianggap melanggar Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, atas arahan dari Kementerian Pertanian.
“Tanggal 22 Juli dipanggil sebagai saksi ke Polda. Diminta keterangan apa benar dijual (bibitnya), benar menjual atas nama BUMG. Lalu tanggal 23 Juli ditetapkan tersangka dan langsung ditahan. Hari ini rencananya kita akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan,” pungkas Zulfikar.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah maupun Polda Aceh belum dapat dikonfirmasi. Tempo terus mengusahakan konfirmasi atas kabar ini.