Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Transparency International Indonesia atau TII merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 yang mengalami kenaikan tiga poin menjadi 37 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Meski mengalami kenaikan, IPK Indonesia masih tertinggal dari Singapura (83), Malaysia (47), dan Vietnam (42).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Ugm.ac.id, ketertinggalan ini menandakan bahwa perbaikan sistem hukum, reformasi birokrasi, dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan masih menjadi tantangan utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti dan pengamat korupsi, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan beberapa tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama ialah lemahnya reformasi kelembagaan. Menurutnya, kualitas kelembagaan yang buruk menghambat upaya pencegahan dan penindakan korupsi. Perubahan kebijakan sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reformasi yang telah berjalan sebelumnya.
Tantangan pemberantasan korupsi berikutnya ialah penurunan independensi aparat penegak hukum yang menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegah hukum atau SPH berikut lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan Polri akibat berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas kelembagaan tersebut.
“Budaya korupsi yang mengakar juga menjadi hambatan, ya. Apalagi korupsi tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan, tetapi juga telah menjadi praktik yang dianggap biasa dalam dunia usaha,” kata Rimawan pada kegiatan Belajar Bersama Ilmu Ekonomi, Kamis, 13 Februari 2025 di kampus UGM.
Rimawan menjelaskan, sejak 2012 IPK Indonesia diukur dengan tujuh indikator utama. Pada 2024, TII kembali memasukkan indikator dari World Economic Forum atau WEF yang sebelumnya tidak digunakan dalam perhitungan indeks tahun 2022 dan 2023.
Hasilnya, CPI Indonesia naik tiga poin menjadi 37 dibandingkan tahun 2022 dan 2023. Jika digunakan metode yang konsisten dengan tahun sebelumnya, skor IPK 2024 seharusnya tetap di angka 34 atau 35, yang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Rimawan juga menjelaskan beberapa rekomendasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan IPK Indonesia secara signifikan. Selain memperkuat reformasi birokrasi atau good governance dan menjamin independensi aparat penegak hukum dari intervensi politik dan kepentingan kelompok tertentu, meningkatkan partisipasi publik dan dunia usaha dalam pelaporan dan pencegahan korupsi juga perlu dilakukan.
“Reformasi kelembagaan dan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, sangat dibutuhkan untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan transparan,” kata Rimawan.
Rimawan mengatakan, berbeda dengan kejahatan lain yang bisa dilaporkan langsung oleh korban, korupsi sering kali melibatkan pihak-pihak yang sama-sama diuntungkan dalam praktiknya. Inilah yang menyebabkan mengukur tingkat korupsi tidaklah mudah.
Ia mengatakan bias victimisation survey atau survei korban kejahatan, akan besar jika responden ditanya apakah mereka korban dari korupsi. Oleh karena itu, metode pengukuran korupsi mengandalkan berbagai indikator dari lembaga internasional seperti World Economic Forum (WEF), Economist Intelligence Unit (EIU), dan World Justice Project (WJP).