Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Ester, mengatakan Undang-Undang Pemasyarakatan yang resmi diberlakukan sejak 3 Agustus 2022 turut andil dalam pemberian bebas bersyarat 23 narapidana kasus korupsi. Sebab, aturan pembebasan bersyarat bersifat umum dan mudah dipenuhi oleh koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalola menjelaskan, sebelumnya aturan pembebasan bersyarat tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Pasal 43A aturan ini menyebutkan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi mesti menjadi justice collaborator alias bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Lola mengatakan PP ini telah dicabut Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Pemasyarakatan, Pasal 10 menyebutkan pembebasan bersyarat dapat dilakukan dengan memenuhi syarat seperti berkelakuan baik, aktif mengikuti program binaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
“Dalam UU Pemasyarakatan tidak disebutkan untuk narapidana koruptor mesti menjadi justice collaborator, sifatnya umum” kata Lalola saat dihubungi, Kamis, 8 September 2022.
Tindak Pidana Biasa
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai perlu ada aturan pembatasan bagi koruptor untuk mendapatkan pengurangan hukuman maupun pembebasan bersyarat. Nihilnya aturan ini, kata dia, membuat korupsi menjadi tindak pidana biasa.
“Sementara dalam extraordinary crime yang lain seperti narkoba dan teroris ada pembatasan untuk dapat pengurangan. Sehingga korupsi sekarang jadi tindak pidana biasa, seperti pencopet di pasar,” kata dia saat dihubungi, Kamis, 8 September 2022.
Solusinya, kata dia, hukuman bagi koruptor mesti tinggi. Menurut Boyamin, sanksi bagi koruptor minimal 15 tahun. Sebab, selama ini hukuman bagi koruptor berkisar di antara 1,5 hingga 5 tahun.
Selain itu, Boyamin mengatakan hak pembebasan bersyarat maupun remisi mesti dicabut. Hal ini bisa dimuai dari Jaksa Penuntut Umum baik Kejaksaan Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya minta cabut hak pengurangan masa tahanan. Jika dikabulkan hakim, maka tidak ada pengurangan apapun bagi narapidana korupsi,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.