Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fauziah kini mesti terbang bolak balik Aceh-Jakarta. Mengaku sehari-hari hanya buruh kasar di kebun sawit, perempuan berusia 47 tahun itu bertekad menagih keadilan untuk kematian putranya, Imam Masykur. Pemuda berusia 25 tahun yang baru 1,5 tahun merantau ke Jakarta itu menjadi korban penculikan dan pembunuhan komplotan tiga anggota TNI, seorang di antaranya berasal dari satuan elite Paspampres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya ingin para pelaku dihukum mati," kata Fauziah saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat pada Jumat, 22 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih terngiang di telinganya saat Imam Masykur berpamitan ke Jakarta pada April tahun lalu. Saat itu tepat bulan puasa, Imam Masykur minta didoakan mudah rezeki dan panjang umur. Begitu juga dengan komunikasi terakhir sebelum kejadian penculikan, Fauziah senang mendengar tawa anak keduanya dari empat bersaudara itu dari seberang telepon.
Tak disangka dia harus menerima Imam Masykur pulang dalam peti mati pada akhir bulan lalu. Mayatnya ditemukan terapung di sungai di Karawang, Jawa Barat, pada 15 Agustus 2023 atau tiga hari setelah Imam Masykur diculik dari toko kosmetik yang sedang dijagainya di Ciputat, Tangerang Selatan.
Kepada M. Faiz Zaki dan Reza Ar Raafi dari TEMPO, Fauziah mengungkap bagaimana dia mendendam terhadap para pelaku. Termasuk bagaimana dia sudah berusaha mengumpulkan uang tebusan Rp 50 juta yang diminta untuk bisa menyelamatkan anaknya itu dari ancaman, kalau dia tidak kirim uang, 'anak ibu dibunuh buang ke sungai.'
Berikut penuturan Fauziah selengkapnya yang ditemani tim kuasa hukumnya,
Seperti apa Imam Masykur di mata keluarga?
Dia anak baik, rajin, dan tidak bertingkah. Sama tetangga juga sama, di kampung dia hidup bermasyarakat. Masalah ibadah juga dia ada rajin, sembahyang, rajin ngaji-ngaji, dia gak ada rusah-rusuh di kampung. Anaknya bisa kita atur, gak banyak ngomong, etikanya sehari-hari bagus.
Motif anggota Paspampres Praka RM dan dua rekannya yang menculik Imam Masykur di Ciputat adalah pemerasan.
Kenangan apa yang paling Ibu ingat terhadap Imam Masykur?
Ibu kerja buruh kasar di kebun kelapa sawit, sering dia yang antar pagi-pagi, soalnya Ibu gak bisa bawa sepeda motor.
Bagaimana Imam Masykur bisa sampai ke Jakarta?
Dia tamatan SMP sudah sering merantau-rantau. Tapi nggak jauh. Dari dulu emang dia suka dagang, berjiwa dagang. Dari di Aceh jualan sandal, tas, baju. Pernah juga berusaha di kampung bertambak, tambak udang, tambak ikan. Itu usaha dari abang sepupu dia. Habis itu baru merantau ke Jakarta.
Baca halaman berikutnya komunikasi yang terjalin setelah Imam Masykur di Jakarta dan kabar penculikan yang pertama.
Kenapa dia memutuskan ke Jakarta?
Awalnya Ibu juga nggak kasih dia ke Jakarta. Tapi dia anak muda ya, mencari pengalaman, ingin berdiri sendiri gitu, jangan tergantung sama orang tua.
Apakah saat itu sudah bilang akan kerja apa di Jakarta?
Waktu di kampung belum bilang kerja apa, sampai Jakarta baru dia kabarkan jual kosmetik. Usaha orang, bukan punya sendiri, abang sepupunya yang dari kampung di Tangerang Selatan.
Bagaimana komunikasi setelah Imam Masykur sudah di Jakarta?
Dia ada kirim sedikit-sedikit untuk ayahnya, untuk jajan rokok aja. Kami pun gak berharap untuk minta uang ke anak, itu juga baru pertama-tama kerja. Sekarang ada sih kirim-kirim uang, dia bantu keluarga dari buka usaha sendiri.
Apakah Imam banyak bercerita kehidupannya di Jakarta?
Iya, Imam lebih banyak cerita sama pacarnya (Yuni Mauliza). Tiap hari berkomunikasi, siang, malam, tapi saya tidak paham karena pacarnya tidak cerita banyak.
Seperti apa komunikasi terakhir sebelum Imam Masykur diculik?
Terakhir ibu bicara sama dia malah ketawa-ketawa, dia bilang mau simpan uang, dia mau kawin. Dia tanya ‘Ibu sehat?’ Dia sendiri bilang dia sehat, itu aja, nggak ada yang dia bilang masalah ini, masalah itu, tidak ada, biasa-biasa saja.
Suasana Toko Kosmetik milik Imam Masykur yang tutup dan digembok di Jalan Sandratex, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, 30 Agustus 2023. Tiga anggota TNI, salah satunya merupakan Paspampres menculik dan menyiksa Imam dengan motif untuk mendapatkan uang tebusan sebesar Rp. 50 juta. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kemudian penculikan itu terjadi. Apa yang Ibu ketahui saat itu?
Tanggal 12 Agustus, malam minggu, dia (Imam Masykur) yang langsung telepon ke Ibu. Kami tunggu kabar di kampung lebih kurang seminggu lalu Ibu berangkat ke Jakarta. Perasaan dan harapan Ibu dia masih hidup. Gak tahu kejadian sudah begini. Jadi pas ke Jakarta baru kami dapat informasi dia sudah almarhum.
Ada ancaman dari pelaku penculikan ya?
Ada, ini saat telepon terakhir, saat itu mau tanya keadaan anak Ibu, yang jawab telepon adalah tersangka. ‘Ibu kok gak kirim uang? Berarti anak ibu dibunuh buang ke sungai’. Itu percakapan terakhir sama tersangka.
Kenapa mereka menculik Imam dan meminta tebusan?
Tidak tahu.
Imam Masykur ternyata pernah diculik sebelumnya. Apakah Ibu beri uang tebusan juga saat itu?
Waktu kejadian pertama ada (beri tebusan). Tapi bukan Ibu yang kasih. Masalah yang pertama pokoknya Ibu nggak tahulah mau berapa dikasih uang, nggak tahu Ibu. Soalnya (Imam Masykur) nggak pernah bilang ke keluarga. Nah, kejadian yang kedua belum sempat dikirim uang sudah putus komunikasi. Ibu sudah usahakan uang, dan paginya sudah dapat tapi enggak bisa berkomunikasi lagi, putus jaringan.
Baca halaman berikutnya emosi Ibu Imam Masykur saat dipertemukan dengan para tersangka
Keterangan Pomdam Jaya, penculikan menyasar pelaku penjualan obat-obatan ilegal. Apa tanggapan Ibu kalau Imam Masykur berdagang obat ilegal di toko kosmetik yang dijagainya?
Tidak ada bukti. Tanggapan ibu berharap sangat, itu masalah obat-obatan jangan disangkut pautkan dengan almarhum. Dia sudah meninggal, sudah tenang di sana. Itu permohonan ibu, jangan dibangkit-bangkit lagi masalah yang kurang menyenangkan.
Ibu sudah menemui tiga tersangka pelaku yang adalah anggota TNI di tahanan?
Sudah. Lihat orang itu, sudah langsung hancur hati Ibu. Gak tahu bicara apa, pokoknya gak tahu lagi mau bilang apa.
Apa yang mereka sampaikan kepada Ibu?
Gak banyak komentar, cuma minta maaf aja. Ibu jawab, ‘Bagaimana Ibu memaafkan kalian, sedangkan orang yang kalian siksa, bunuh dan meninggal. Siapa yang memaafkan kalian?’.
Jadi, Ibu tidak memaafkan mereka?
Kalau Bahasa Aceh bilang, ‘Hilang nyawa ganti nyawa’. Tak mungkin kita maafkan orang yang sudah membunuh anak kita.
Tiga oknum anggota TNI yang diduga terlibat penculikan dan penganiayaan terhadap Imam Masykur. Istimewa
Bagaimana Ibu melihat pengusutan kasus Imam Masykur ini oleh Pomdam Jaya (untuk tersangka yang anggota TNI) dan Polda Metro Jaya (untuk tersangka warga sipil)?
Masalah itu nanti tanya ke kuasa hukum. Ibu kurang paham masalah hukum.
Apa harapan terbesar Ibu untuk Pomdam Jaya dan Polda Metro Jaya?
Yang ibu tahu sudah dinyatakan oleh Panglima, Danpom Jaya, Pasal 340 KUHP tentang hukuman mati. Ibu berharap kepada semua pihak, yang pertama untuk Pemerintahan Presiden Jokowi dan kepada Panglima TNI, Ibu berharap sangat untuk kasus ini dituntaskan yang seadil-adilnya. Bagaimana yang dia sudah perbuat kepada anak Ibu, keluarga Ibu, hukuman yang setimpal yang sudah dibilang bapak Panglima TNI berarti Pasal 340. Itu ibu sangat berharap sekali, mohon sekali. Sebab anak ibu dibunuh dengan berencana.
Baca berita-berita seputar kasus Imam Masykur, korban penculikan dan pembunuhan oleh komplotan tiga anggota TNI berpangkat Praka serta sama-sama asal Aceh, selengkapnya di sini.