Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah seharusnya mengutamakan dialog ketimbang pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah Papua. Pengerahan tentara dan polisi selama setahun terakhir terbukti kurang efektif. Aparat keamanan belum bisa meredam kelompok bersenjata yang mengusik ketenteraman. Sedangkan korban dari masyarakat sipil terus berjatuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus tewasnya Hendrik Lokbere makin menunjukkan buruknya situasi di Papua. Ajudan Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge, itu tewas tertembak secara misterius pada Jumat malam, 20 Desember lalu. Tiga hari kemudian, Wentius menyatakan mundur dari jabatannya. Kejadian ini semestinya merupakan tamparan keras bagi pemerintah pusat karena tidak sanggup menjamin keamanan di kabupaten itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah telah mengerahkan personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI di Nduga sejak akhir tahun lalu untuk memburu kelompok kriminal bersenjata. Kelompok yang menamai diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat itu sebelumnya menyerang pekerja PT Istaka Karya yang membangun jembatan di Distrik Yigi. Belasan pekerja tewas akibat serangan tersebut.
Sebagian pelaku insiden itu sudah ditangkap dan diproses secara hukum. Hanya, situasi keamanan di Kabupaten Nduga tidak kunjung pulih. Bukan cuma Nduga, kabupaten lain seperti Intan Jaya juga masih bergolak. Pertengahan Desember lalu, misalnya, dua prajurit TNI di Distrik Hitadipa tewas diserang kelompok bersenjata. Dua bulan sebelumnya, tiga tukang ojek juga meninggal karena ditembak kelompok yang sama.
Pejabat pusat sepatutnya tidak memperparah keadaan dengan melontarkan pernyataan yang bisa menambah resah masyarakat Papua. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., misalnya, menyatakan pendekatan keamanan makin diperlukan untuk menghadapi gerakan separatis di Papua.
Sikap ngotot pemerintah amat mengherankan karena operasi keamanan jelas kurang berhasil dan malah merusak pranata sipil. Di Kabupaten Nduga, misalnya, 45 ribu penduduk harus mengungsi sejak tahun lalu. Adapun Majelis Rakyat Papua menemukan masih ada 4.000 orang yang mengungsi di Jayawijaya, Lanny Jaya, dan Asmat. Tim kemanusiaan pemerintah lokal mengklaim 182 pengungsi meninggal, sementara Kementerian Sosial menyatakan 53 pengungsi meninggal. Data yang simpang-siur makin menunjukkan fungsi pemerintahan di sana tak berjalan dengan semestinya.
Pemerintah seharusnya mengubah strategi untuk menyelesaikan masalah Papua. Hal itu bisa dimulai dengan menuntaskan sejumlah akar persoalan yang selama ini diabaikan, seperti pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan rasisme. Amnesty International Indonesia mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua pada 2010-2018, dengan korban sebanyak 95 orang. Dari semua korban, 85 orang merupakan penduduk asli Papua.
Tanpa upaya menuntaskan kasus masa lalu dan usaha memahami keinginan orang Papua, pemerintah akan terus mengulang kesalahan yang sama. Pendekatan keamanan akan menciptakan luka baru bagi orang Papua. Pemerintah semestinya mencoba strategi dialog-cara yang terbukti berhasil menyelesaikan kasus Aceh. Jika pemerintah benar-benar serius dan tulus mendengarkan keinginan semua pihak yang mewakili masyarakat Papua, niscaya kedamaian akan tercipta.