Dewi Fortuna Anwar*)
*)Deputi IPSK-LIPI dan Associate Director for Research The Habibie Center
SERANGAN teroris yang meluluhlantakkan World Trade Center di New York dan merobohkan sebagian Gedung Departemen Pertahanan, Pentagon, 11 September lalu, telah menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan meletusnya Perang Dunia Ketiga. Kekhawatiran tersebut terutama disebabkan oleh adanya tuduhan bahwa serangan terorisme tersebut didalangi oleh Osama bin Ladin, seorang keturunan Arab Saudi beraliran Islam garis keras. Walaupun berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah Amerika Serikat maupun pemimpin dan tokoh-tokoh dunia lainnya, telah berusaha menarik garis pemisah yang tegas antara Islam dan para teroris, kekhawatiran bahwa perang melawan terorisme yang di-lancarkan AS dapat berubah menjadi konflik antara AS/Barat dan Islam tetap ada.
Dalam waktu sangat singkat, pemerintah AS telah memutuskan bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas serangan tersebut adalah Osama bin Ladin, yang dulu juga dituding berada di belakang peledakan Kedutaan Besar AS di Tanzania dan Kenya. Osama bin Ladin kini tinggal di Afghanistan, yang dikuasai oleh Taliban, suatu rezim Islam fundamentalis dan radikal yang hanya diakui oleh tiga negara, yaitu Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Tanpa merasa perlu menyodorkan bukti-bukti, AS meminta kepada pemerintah Afghanistan agar menyerahkan Osama bin Ladin atau siap menghadapi gempuran militer mereka.
Walaupun kalangan FBI masih mengumpulkan data atas keter-libatan berbagai tersangka di AS yang tentu masih harus dibuktikan kebenarannya di pengadilan, Presiden Bush secara tegas telah mengatakan bahwa ia akan melancarkan perang, dalam arti harfiah dengan menggunakan kekuatan militer, untuk menghukum para tersangka teroris. Sikap keras Bush ini didukung sepenuhnya oleh Kongres—yang telah menganggarkan US$ 40 miliar untuk persiapan perang dan rehabilitasi bangunan—serta oleh rakyat AS secara keseluruhan. Seorang senator AS bahkan mengatakan bahwa AS bukan menginginkan keadilan, melainkan perang.
Di sini, prinsip praduga tak bersalah jelas sudah tidak berlaku lagi karena telah terkubur oleh amarah untuk membalas dendam. Apabila AS diserang oleh suatu negara, seperti serangan Jepang terhadap Pearl Harbour pada tahun 1941, selayaknya AS membalas secara militer. Masalahnya, sekarang ini pelaku penyerangan adalah teroris yang tidak membawa nama suatu negara atau bangsa. Namun, yang menjadi sasaran ancaman serangan militer AS ialah Afghanistan secara keseluruhan, yang dipastikan akan memakan korban yang besar terutama di kalangan rakyat sipil.
Tentu menjadi tanda tanya besar apakah ancaman perang AS terhadap Afghanistan ini tidak akan menimbulkan masalah baru yang lebih serius, sementara sasaran utamanya untuk menangkap ataupun membunuh Bin Ladin kemungkinan besar justru tidak tercapai. Pengalaman menunjukkan bahwa operasi militer yang dilakukan AS untuk membalas serangan terorisme terhadap berbagai kepentingannya tidak mampu mengakhiri ancaman dan tindakan teror tersebut. Justru sebaliknya, frekuensi dan intensitas ancaman dan serangan teror terhadap Amerika justru meningkat. Bin Ladin, yang telah diburu AS sejak tahun 1998, masih sulit dijangkau walaupun AS telah mengebom Sudan, yang dituding AS terlibat dalam pengeboman Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania, serta Afgha-nistan, tempat Bin Ladin bersembunyi. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh teroris dibalas oleh kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara resmi oleh negara, dalam hal ini Amerika Serikat. Yang juga mengkhawatirkan adalah meluasnya konflik yang dapat dipicu oleh serangan AS terhadap Afghanistan. Pertama, walaupun Bush telah menyatakan bahwa ia bukan memerangi Islam melainkan terorisme, dan meskipun serangan militer AS mendapat dukungan penuh dari beberapa negara Islam terutama Pakistan, kemungkinan adanya reaksi anti-AS dari sebagian masyarakat Islam dunia tampaknya sulit dihindari. Apabila mereka selanjutnya melakukan serangan-serangan terhadap kepentingan AS, dapat diperkirakan bahwa konflik AS-Afghanistan akan menciptakan guncangan politik dan ekonomi di berbagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia. Kedua, perang terhadap terorisme internasional yang dilancarkan AS akan semakin menyudutkan negara-negara yang selama ini dituduh sebagai "rogue states" oleh AS, yang sebagian besar berada di Timur Tengah, dan selanjutnya dapat melahirkan radikalisasi dan perlawanan yang semakin meningkat. Hal ini ditakutkan akan memicu konflik yang lebih mengerikan, apalagi mengingat adanya proliferasi senjata nuklir di kawasan tersebut.
Kita semua sepakat bahwa terorisme adalah ancaman terhadap kemanusiaan yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia. Namun, pendekatan yang semata-mata menonjolkan pembalasan militer tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam menghadapi serangan teroris baru-baru ini, seharusnya AS masih dapat berpikir jernih dan mengedepankan pendekatan hukum. Setelah bukti-bukti dikumpulkan, para tersangka dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya, seperti dilakukan terhadap pelaku pengeboman di Oklahoma.
Seandainya terbukti bahwa Bin Ladin memang terlibat, upaya awal yang perlu dilakukan AS adalah melakukan pendekatan diplomatik untuk mengekstradisi Bin Ladin dari Afghanistan, kalau perlu dengan menawarkan insentif kepada Taliban untuk bekerja sama dan sekaligus ancaman kalau menolak. Setiap jalur hendaknya ditempuh terlebih dahulu untuk sedapat mungkin menghindari opsi militer. Ke depan, AS dan negara-negara lainnya perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman teroris dengan meningkatkan kerja sama dan kemampuan dalam bidang intelijen.
Namun, yang lebih penting lagi adalah upaya nyata untuk men-jawab pertanyaan mendasar kenapa teror itu terjadi. Teror dikatakan sebagai senjata pihak yang lemah melawan yang kuat (meskipun senjata tersebut tidak sah). Dan, selama masalah ini tidak diperhatikan dan dipahami, sulit bagi AS maupun negara-negara lainnya untuk menghilangkan ancaman teror, baik di lingkup domestik maupun internasional. Serangan militer AS ke Afghanistan, apabila betul terjadi, hanya akan memperkokoh kesan tentang the arrogance of power yang selama ini telah ditampilkan AS, yang dengan sendirinya dapat melahirkan perlawanan baru dari pihak- pihak yang merasa dirugikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini